DENPASAR, DICTUM – Aktivis perempuan dan anak, Siti Sapura atau yang akrab disapa Ipung mengaku kecewa dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang hanya 2 tahun 3 bulan terhadap kejahatan seksual terhadap anak dibawah umur yang dilakukan FS, seorang warna negara Jepang. Tuntutan dan ungkapan kekecewaan Ipung itu disampaikan usai sidang mendengarkan tuntutan jaksa di Pengadilan Negeri Denpasar pada Kamis (8/12/2022).
Ipung mengungkapkan kekecewaannya dan berjanji akan menyurati Kejaksaan Agung dan Komisi Kejaksaan RI terkait tuntutan yang rendah bahkan lebih rendah dari minimal ancaman hukumannya.
“Tuntutan JPU terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak yakni FS hanya 2 tahun 3 bulan. Tuntutan ini menjadi pukulan yang luar biasa buat saya sebagai anak Indonesia, juga pukulan keras juga buat aparat penegak hukum Indonesia, dan pukulan keras juga buat anak-anak yang selama ini menjadi korban kejahatan seksual anak yang dilakukan oleh pelaku,” ujar Ipung.
Ipung bahkan mempertanyakan apakah JPU yang menangani kasus FS pernah berurusan dengan kasus kejahatan seksual terhadap anak Indonesia atau yang pelakunya adalah anak Indonesia juga.
Rentetan pertanyaan demi pertanyaan pun diutarakan Ipung kepada JPU. Kalau pernah menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak, apakah tuntutan JPU juga sama dengan tuntutan yang dilakukan terhadap pelaku FS? Ataukah tuntutan ini hanya dibuat khusus kepada pelaku asal Jepang. Apakah WN Jepang berinisial FS begitu istimewa di mata JPU?
“Saya tidak menuduh ya, tapi ada apa dengan semuanya ini? Tidak ada makan siang yang gratis. Bukankah begitu?. Sekali lagi saya tidak menuduh,” ujarnya.
Sebab, secara UU juga sebenarnya JPU bisa menuntut minimal. Ini normatif, sehingga majelis hakim bisa menjatuhkan vonis minimal setengah dari tuntutan. Faktanya, tuntutan JPU tidak lebih dari setengah masa hukuman minimal. “Lalu majelis hakim mau vonis berapa tahun? Sebab tuntutan tidak lebih dari setengah,” ujarnya.
Ipung mengaku, tindakan yang tidak enak dari JPU sudah dirasakan sejak pelimpahan perkara yang melibatkan warna negara Jepang ini pada tahap kedua. Dalam pelimpahan tahap kedua yang dilakukan secara online, tanpa disertakan dengan pelaku atau terdakwa FS. Pelimpahan hanya menyerahkan berkas dan terdakwa hanya lewat online.
“Alasan pembenaran apa? Pandemi juga tidak. Bukankah pelimpahan tahap kedua harus juga diserahkan terdakwa?” tanya Ipung retoris.
Kejanggalan kedua adalah sidang dilaksanakan secara online dimulai tanggal 6 Desember 2022. . Ini juga anek dan tidak masuk akal karena tidak ada pandemi atau pandemi sudah bisa diatasi.
“Korban, keluarga korban, para saksi disuruh hadir offline di ruang sidang sementara pelaku sendiri disidang secara online,” ujarnya.
Ketiga, kehadiran kuasa hukum korban dipersoalkan oleh kuasa hukum terdakwa. “Sebagai kuasa hukum korban yang diberikan kuasa oleh keluarga korban, saya dilarang atau dianggap oleh pengacara bisa mengganggu jalannya persidangan. Alasannya sudah digantikan posisinya oleh JPU. Kalau memang jaksa dianggap sebagai pengganti kuasa hukum korban bagaimana proses persidangan itu berjalan,” ujarnya.
Bagaimana JPU menuntutnya atau mendakwahnya dengan hukuman 2 tahun, 3 bulan penjara, sementara dalam pasal 81 ayat 2 UU Nomor 17 Tahun 2016 dikatakan hukuman tertinggi sebanyak 10 tahun dan terendah adalah5 tahun.
“Bila JPU menuntut terendah 5 tahun maka hakim bisa saja memutus setengan dari tuntutan JPU, yakni 2,5 tahun. Faktanya tuntutan pun tidak lebih dari tuntutan minimal,” ujar Ipung. Karena itu Ipung berjanji akan melaporkan kasus ini ke Kejagung dan ke Komisi Kejaksaan RI.***