Vox Populi Vox Dei, Suara Rakyat  adalah Suara Tuhan, Apakah Parpol Mewakili Suara Rakyat ?

by Nano Bethan
233 views
Opini

Oleh : Agus Widjajanto, SH.MH.  Paktisi hukum tinggal di Jakarta

Saat nya kita bangun kembali Kontitusi kita, bukan hanya Kontitusi yang terkodifikasi tertulis yaitu UUD sebagai hukum dasar , tapi juga membangun kembali , Hukum aturan tidak tertulis sesuai nilai nilai Pancasila sebagai Sumber dari segala Sumber hukum dan pandangan hidup Bangsa

Pendapat Filsuf Yunani Kuno dalam bahasa latin Vox Populi Vox Dei yang apabila  diterjemahkan dalam bahasa Kita yang artinya Suara Rakyat Adalah Suara Tuhan, yang awalnya hanya dikenal dalam dunia peradilan diseluruh Dunia yang menganut Demokrasi , dimana posisi Hakim sebagai pemutus perkara diibaratkan Suara Tuhan yang harus menjaga Marwah keadilan atas nama Rakyat.

Dalam perkembangannya istilah Suara Rakyat adalah Suara Tuhan sangat erat kaitannya dengan Dunia Politik yang diadopsi oleh negara – negara seluruh Dunia untuk kepentingan Politiknya , termasuk Indonesia .

Proses politik yang melibatkan Rakyat secara langsung seperti Pemilihan Presiden dan wakilnya, pemilihan kepala daerah dan anggota DPR RI, DPRD Propinsi dan DPRD Kota madya atau kabupaten, dianggap paling ideal, dibandingkan melalui sistem perwakilan yang sering terjadi  transaksional , yang dianggap tidak sesuai aspirasi rakyat.

Sesuai pasal 6A ayat 2 ” Pasangan Calon Presiden (Capres)  dan Wakil Presiden (Cawapres) diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik , peserta Pemilu.  Pertanyaan besar kita adalah, apakah pasangan Capres dan Cawapres yang diajukan oleh Partai Politik atau Gabungan dari Partai Politik (koalisi), merupakan aspirasi Rakyat atau aspirasi dari yang diwakili partai ? Apakah memang sudah kehendak rakyat , dimana Suara Rakyat adalah Suara Tuhan ?

Belajar dari Pemilu tahun tahun  yang sudah berlalu  , partai besar pun harus berpikir  realistis apakah tetap mendorong seorang  tokoh yang ternyata kurang dikehendaki Rakyat . Kkenyataannya, keputusan politik ada ditangan partai , tergantung kebijakan partai , bahkan ada yang terus terang bilang tergantung dari ketua umum partai. Ini fenomena yang terjadi , yang tidak bisa kita pungkiri. Mekanisme pencalonan yang terjadi saat ini membuat rakyat seolah dipaksa untuk memilih calon yang sudah ditentukan oleh Partai Politik atau gabungan partai politik.

Apabila mengacu ke Sila keempat dari Pancasila yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” dalam sila tersebut sejatinya tidak ada kata-kata yang butuh penafsiran, selain  bahwa rakyat memberikan mandat kepada permusyawaratan perwakilan melalui sebuah Majelis, yang merupakan lembaga tertinggi selaku wakil rakyat, selaras prinsip Vox populi vox Dei (suara rakyat adalah suara Tuhan) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Sistem perwakilan , dimana negara ini dibentuk dari awal oleh para pendiri bangsa, dan kondisi sistem ketatanegaraan kita saat ini khususnya dalam  kaitan pemilu langsung dan kedudukan MPR yang tidak jelas,  merupakan pengingkaran dari Soko guru yg telah dibangun dari awal oleh pendiri bangsa

William J. Chambliss dan Robert B. Seidman dalam sebuah penelitiannya , menemukan sebuah dalil, The Law Of Non Transferability of Law  yang artinya hukum suatu bangsa tidak bisa dialihkan begitu saja kepada bangsa lain. Sejalan dengan itu, Cicero menyatakan Ubi societas ibi ius, dimana ada masyarakat, disitu ada hukum, sehingga masyarakat suatu bangsa memiliki karakteristik yang berbeda. Maka, Indonesia sebagai bangsa, juga mempunyai karakteristik sendiri dalam hukum walaupun diakui bahwa Indonesia merupakan laboratorium hukum yang kaya, bertalian dengan adanya kesenjangan antara das Sollen dengan das Sein.

Indonesia mempunyai karakter sendiri yang mengacu pada budaya bangsanya, sebagai pengejawantahan seluruh nilai yang dikandung sila-sila Pancasila, termasuk di dalamnya budaya musyawarah dan mufakat, budaya gotong-royong, budaya guyub. Namun sayangnya budaya tersebut tidak lagi tampak dari isi pasal dalam UUD kita yang telah diamandemen. Melalui pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung oleh rakyat, yang diajukan oleh partai politik peserta Pemilu  mengajarkan masyarakat akan budaya kebebasan menyerupai sistem Demokrasi  liberal, dengan alasan partisipasi langsung oleh rakyat , sebagai pengejawantahan Suara Rakyat adalah Suara Tuhan .

Berbicara Demokrasi yang sesungguhnya dari Rakyat oleh Rakyat dan kembali untuk Rakyat,  mendekati ideal dari sisten tersebut  justru tata cara dari Pemilihan Anggauta DPD ( Dewan Perwakilan Daerah ) yang sejak  dari pengumpulan KTP , lalu diferivikasi KPU dan dikembalikan lagi kepada masyarakat untuk memilih , dilakukan secara Independen tanpa mewakili Partai Tertentu, dipandang sebagai tata cara murni proses Demokrasi , tapi nyata nya justru ruang yang diberikan anggota DPD sangat terbatas .

Pertanyaan selanjut nya apabila ternyata rakyat sebagai pemilik suara berkehendak kembali pada sistem perwakilan dengan mengembalikan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai Lembaga Tertinggi Negara , yang mana Presiden dan wakil Presiden dipilih oleh MPR sebagai mandataris nya, dan menghidupkan lagi GBHN agar arah tujuan Negara diketahui dengan jelas dan sistematis , apakah Partai Partai Politik dengan Multi Partai yang saat ini mencapai Zona Aman , dengan tinggi nya biaya Politik dalam Pemilu , yang mana  Para Konglomerat dan pemodal besar juga turut berpolik dengan dukung  mendukung yang para ahli menyebut   Oligarki.

Inilah saatnya kita bangun kembali Kontitusi kita, bukan hanya Kontitusi yg terkodifikasi tertulis yaitu UUD sebagai hukum dasar , tapi juga membangun kembali , Hukum aturan tidak tertulis sesuai nilai nilai Pancasila sebagai Sumber dari segala Sumber hukum dan pandangan hidup Bangsa , yang memang sejak awal berdiri nya negara ini dibentuk didesain seperti hubungan Suami Istri atau dua sisi  mata uang yang tidak bisa dipisahkan antara Pancasila sebagai Dasar Negara  Dan UUD 1945 sebagai Hukum Dasar.

Benar apa yang pernah diramalkan oleh Prabu Jayabaya dalam jangka yang disadur oleh Pujangga penutup Ronggo Warsito , bahwa jaman ini jaman Kolo Bendu, jaman ketidak aturan  dan jaman edan yang hanya berpegang pada kepentingan politis dalam semua lini, layaknya sistem Liberal ***

 

Berita Terkait