Reformasi Telah Merubah Desain Besar Ketatanegaraan yang Dibangun Pendiri Bangsa

by Nano Bethan
233 views

Oleh. : Agus Widjajanto

Memahami dan mengetahui sistem Ketatanegaraan sebuah Bangsa maka harus mempelajari sejarah dan latar belakang terbentuk nya Negara , dari perspektif  kultur budaya , sosial politik yang berurat berakar dari Bangsa tersebut secara sosiologis.

Yang harus dipahami oleh generasi muda , bahwa sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945, pimpinan tertinggi militer Jepang di Asia Tenggara telah membentuk BPUPKI pada tgl 1 Maret 1945  dan diresmikan oleh penguasa Jepang di Hindia Belanda , pada tgl  29 April 1945. Tugas BPUPKI adalah mempelajari dan menyelidiki hal hal penting menyangkut politik, tata pemerintahan, ekonomi dan lainnya yang diperlukan untuk persiapan Kemerdekaan Hindia Belanda jadi sebuah Negara. Ketika Soekarno dan M. Hatta memproklamirkan kemerdekaan, adalah  dengan  memanfaatkan kekosongan kekuasaan saat itu, dimana terjadi perubahan geo politik kawasan dan dunia, setelah Pemerintahan Jepang Menyerah pada Sekutu Amerika Serikat.

BPUPKI ( Badan Penyelidik Usaha Persiapan  Kemerdekaan Indonesia ) atau Docuritsu Junbi Cosakai, yang melaksanakan sidang dua kali,  sidang pertama pada tgl 29 mei hingga 1 Juni  1945 dengan menghasilkan  rumusan Dasar Negara yang berupa pandangan Umum, dimana falsafah Negara diusulkan oleh Moh Yamin ( 29 mei 1945 ), Soepomo ( 31 Mei 1945 ) dan Soekarno ( 1 Juni 1945 ).

Dalam pidato tentang Falsafah negara, Soekarno menjabarkan nilai –  nilai luhur dari Bangsa Ini sejak ratusan tahun yang merupakan Bangsa yang berbudaya, yang diambil dari Kitab Negara Kertahama dan Sutasoma serta Ajaran leluhur yg tidak tertulis dari budaya bangsa yang di kenal dengan Sila Sila Pancasila, yang dikemudian hari Setelah kemerdekaan Dibuat sebagai Dasar Negara yaitu Pancasila.

Sidang kedua BPUPKI pada tgl 10 juli 1945 hingga 17 Juli 1945  membahas  tentang Rancangan Undang Undang Dasar ( UUD ) termasuk pembukaan nya yang memuat Dasar Negara dan arah politik Indonesia. Dalam membentuk rancangan UUD tersebut dibentuk  panitia perancang UUD yang diketuai oleh Soekarno.

Belajar dari sejarah diatas maka , dikatakan, antara Pancasila sebagai Dasar Negara dan UUD sebagai Hukum Dasar dan kontitusi tertulis adalah satu. Keduanya tidak bisa dipisahkan dan merupakan hubungan integral saling terkait dan saling  isi seperti Suami istri dalam Rumah Tangga .

Negara ini sejak awal di desain dan diilhami dari pemerintahan desa adat atau desa – desa pada jaman itu yang otonom, yang punya perangkat pemerintahan, pemilihan pemimpin berdasarkan Keputusan Bersama yang dikenal dengan Rembuk Desa ( Musyawarah tokoh tokoh perwakilan  Desa ). Kemudian dijabarkan dalam UUD yang disahkan pada tgl 18 Agustus 1945 sehari setelah Proklamasi. Majelis Permusyawaratan Rakyat ( MPR ) yang merupakan Pengejawantahan dari suara rakyat seluruh Negara. Dalam paham Demokrasi disebut Suara Rakyat adalah Suara Tuhan ( Vox Populi Vox Dei ).

Para Pendiri Bangsa , dalam UUD 1945 menempatkan MPR ditempat paling terhormat yaitu pada pasal 1 ayat 2 yang berbunyi : Kedaulatan adalah di tangan Rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR ”  dan pasal 1 ayat 2 dari UUD 1945 yang asli tersebut sejalan dan selaras dengan Sila ke 4 dari Pancasila sebagai Dasar Negara yang berbunyi :  ” Kerakyatan yang Dipimpin oleh hikmah  kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan ”

Mantan Presiden  Soeharto selalu menyebut bahwa Implementasi dari Pancasila yaitu Eka Prasetya Panca Karsa. Ini  sesungguhnya digali di ilhami dari falsafah huruf Honocoroko. Ini  merupakan ajaran luhur dari leluhur, untuk bisa memahami dan menemukan jati diri kita, yang akhirnya bisa memahami karakter Bangsa. Oleh sebab itu, Pancasila bukan hanya sebagai Dasar Negara saja tapi juga falsafah dan pandangan Hidup Bangsa , serta sumber hukum dari segala hukum Bangsa ini.

Apabila ternyata dalam Implementasi pelaksanaan katakanlah saat Orde Baru berkuasa dimana organ dari MPR disamping seluruh Anggota DPR adalah dari unsur Utusan Daerah dan Utusan Golongan, saat itu utusan Daerah diisi oleh Gubernur, Bupati dan Walikota yang diangkat langsung. Kebanyakan dari kalangan Militer sebagai konsekuensi adanya Dwi Fungsi ABRI dalam politik saat itu. Memang kurang Demokratis, akan tetapi pada masa Reformasi, Majelis Permusyawaratan Rakyat ( MPR ) di kebiri dan dihilangkan peran dan fungsi nya.

Meminjam istilah dari Prof. I Gede Panca Astawa Romo Begawan Guru tata Negara,  ibarat duduk dikursi digigit tengu kok kursi nya yang dibakar dan dihancurkan.   Harusnya implementasi kebijakan nya yang di bangun kembali dalam struktur organ MPR nya bukan Lembaga Tertinggi nya. Dari situlah Sebenarnya Masalah demi masalah bergulir yang berakibat Multi Dimensi dari pada kondisi politik terjadi , yang mana bisa kita rasakan sendiri.

Jangan sekali –  kali  kita melupakan Sejarah Bangsa ini, kita harus sadar telah melakukan kesalahan dengan merubah desain besar awal yg dibangun oleh para pendiri Bangsa. Justru mendesain ulang, sadar maupun tidak,  kita  berkiblat pada desain Bangsa lain, bukan dari Budaya Bangsa sendiri ***

Berita Terkait