Era Reformasi dan Globalisasi, Perlunya Menghidupkan Eka Prasetya Pancakarsa

by Nano Bethan
133 views

Oleh: Agus Widjajanto

TABLOIDDICTUM.COM – Pada era globalisasi saat ini, dimana batas negara seakan sudah tidak ada lagi, pertukaran budaya antar negara di dunia  sulit dibendung karena pengaruh kemajuan teknologi informasi. Ini tentu akan menimbulkan dampak pada generesi muda milenial, dimana dengan mudah akan terpengaruh budaya luar sehingga berakibat kehilangan jati diri sebagai bangsa yakni ke Indonesian-nya  akan pudar. Rasa nasionalisme juga sangat rendah dan rentan disudupi ideologi lain yang  bisa menggoyahkan stabilitas nasional.

Untuk itu harus dilakukan penguatan dan upaya mefilter pengaruh budaya dan ajaran serta idiologi yang bertentangan dengan nilai – nilai ke-Indonesiaan yakni Pancasila  sebagai pandangan hidup, dan  sumber dari segala sumber hukum  serta falsafah bangsa.

Demikian juga menjelang hajatan besar setiap lima tahun yakni, Pemilihan Umum , baik pemilihan Presiden (Pilpres), Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Pemilihan Leksekutif (Pileg) anggota  DPR RI, DPRD Propinsi, kabupaten dan Kota. Segenap warga negara harus berperan aktif dalam pemilu  dengan tetap menjaga keharmonisan dan persatuan nasional, untuk stabilitas nasional itu sendiri. Jangan sampai terjadi, adanya kampanye Politik Identitas, seperti hal nya pada Pilkada Jakarta yang tentu sangat mencederai demokrasi itu sendiri.

Baca juga : Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa: Pembatalan Akta Perkawinan, Anak Angkat Tidak Memiliki Legal Standing Mengajukan Gugatan

Selain itu, menjelang Hari raya Natal bagi saudara – saudara kita yang beragama Nasrani, baik Protestan maupun Katholik, tentu perlu suasana toleransi dari antar umat beragama , saling asah asih asuh dalam bingkai Kesatuan Negara RI. Jangan ada lagi penghujatan terhadap pemeluk agama lain maupun sesama agama yang dipandang beda aliran. Negara ini berdiri berkat adanya perbedaan untuk mencapai cita – cita bersama, sebagai negara berketuhanan tapi bukan Negara Agama .

Mari kita tengok kebelakang sejarah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia ini dimana setelah Pancasila ditetapkan secara konstitusional pada tanggal 18 Agustus oleh PPKI sebagai dasar negara, maka Pancasila memiliki kedudukan penting dalam tatatanan kehidupan bangsa. Karena maha pentingnya kedudukan  Pancasila, kemudian memberikan kesadaran kepada Bangsa Indonesia untuk menjadikannya rujukan mutlak bagi tatatan kehidupan baik dalam sosial masyarakat, politik, beragama, maupun dalam bidang hukum.

Dalam tatanan hukum kedudukan Pancasila dipertegas sebagai sumber tertib hukum atau dikenal dengan sebutan sumber dari segala sumber hukum melalui Ketetapan MPR Nomor: XX /MPRS/1966 junto Ketetapan MPR Nomor: V/MPR/ 2973 junto Ketetapan MPR Nomor: IX/MPR/1978.

Dalam perkembangannya keberadaan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum ditentukan oleh setiap rezim yang berkuasa. Ketika Orde Baru jaman Presiden Soeharto berkuasa, Pancasila menjadi dogma statis karena dikultuskan menerapkan Pancasila dan Undang undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen. Dimana secara kestabilan nasional, baik dari segi pertahanan dan keamanan, sosial kemasyarakatan,  kehidupan beragama  sangat stabil.

Baca juga: Sejak Reformasi, Bangsa Kehilangan Petunjuk Jalan Arah Tujuan Negara

Pancasila sebagai Dasar Negara ibarat pondasi gedung mercusuar  dan UUD 1945 sebagai tiang utama atau soko guru dari bangunan mercusuar yang bersifat Dwi tunggal, yang tidak bisa dipisahkan, saling isi dan punya hubungan integral satu sama lain. Sudah sejak awal dibuat dan diciptakan para pendiri bangsa sebagai filosofi hidup dan dogma dalam berbangsa dan bernegara.

Terlepas dari itu semua memang ada kekurangan dalam masa pemerintahan Orde Baru, dimana Pancasila dijadikan alat legitimasi yang shahih bagi kekuasaan. Terkait hal ini, Mahfud MD menulis bahwa pengkultusan Pancasila merupakan puncak penggalangan yang dilakukan secara terus menerus sejak tahun 1966/1967dalam rangka integrasi nasional sebagai mana diputuskan dalam Seminar II Angkatan Darat tahun 1966 yang menghasilkan mandat akan membayar berapapun untuk terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa,  menjamin stabilitas politik sebagai prasyarat untuk membangun bangsa. Pemikiran ini sangat wajar menurut penulis,  untuk melakukan penggalangan dalam suatu masyarakat yang pluralisme seperti Indonesia,  setelah melihat situasi dan kondisi pada masa reformasi saat ini.

Pada masa reformasi, keberadaan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum dilegitimasi melalui TAP MPR Nomor: III/MPR/2000, tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundangan. Akan tetapi dalam TAP MPR ini tidak lagi ditegaskan secara eksplisit tentang Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dalam sistem hukum nasional.

Jadi walaupun Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, memiliki legitimasi yuridis baik melalui TAP MPR maupun Undang Undang, tetap saja tidak memberikan jaminan kepastian hukum dalam tata urutan peraturan perundang – undangan. Berakibat, Pancasila tidak lagi mempunyai sifat daya mengikat dalam hirarki perundang – undangan. Hal inilah yang menjadi persoalan yang harus dikembalikan lagi kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum termasuk dalam hirarki perundang –  undangan. Apabila tidak maka akan timbul disharmonisasi antar peraturan perundang –  undangan.

Presiden kedua Soeharto, memandang bahwa Pancasila sejatinya digali dan diciptakan dari nilai –  nilai luhur ajaran para leluhur kita, seperti yang terdapat dalam aksara Jawa yang lahir pada satu saja, yaitu dalam huruf Honocoroko. Aksara Jawa tidak sekedar digunakan media menulis oleh orang Jawa pada jaman dulu. Aksara Jawa juga sebagai media untuk bisa memahami konsep ketuhanan, dimana setiap abjad aksara Jawa mempunyai makna yang berkaitan dengan konsep ketuhanan.

Baca juga: Aneh, Anak Angkat Gugat Pembatalan Akta Perkawinan Ayah Angkat, Dikabulkan Majelis Hakim PTUN

Dimana terdapat tiga unsur yaitu Tuhan, manusia  dan kewajiban manusia sebagai mahluk hamba yang diciptakan.  Huruf Ha diartikan Hurip atau Urip yaitu hidup, sifat Dzat Yang Maha Esa atau Tuhan. Sedang NA  adalah Hana artinya ada yaitu adanya kita manusia dan adanya alam semesta (selaku sunatullah). Huruf Caraka  yang artinya utusan  dari kata Ca: cipta, pikir, nalar, akal,  Ra:  adalah Rasa budi kita olah rasa kita, sedang Ka adalah kehendak atau Karsa. kehendak dari yang Maha Esa, atas kehidupan kita bagian dari alam semesta.

Dengan memahami konsep aksara Jawa Honocoroko , kita bisa menjadi manusia berbudi luhur. Awalnya kita dari mana (sang kan paraming dumadi), setelah dilahirkan di dunia harus bagaimana dan setelah tiada kita mau kemana.

Dengan memahami diri kita maka kita bisa tahu jati diri kita. Dengan demikian, kita bisa memahami bagian dari alam semesta diluar diri kita.Itu semua harus harmonisasi, itulah nilai nilai dari Pancasila, yang diaktualkan melalui Eka Prasetya Panca Karsa.

Bahwa konsep Pancasila dari pak Harto juga sama, menggali dari ajaran luhur para leluhur bangsa ini sebelum lahir-nya  Indonesia Merdeka, kita adalah bangsa yang besar dan berbudaya adiluhung. Ini yang harus dimengerti para generasi muda, bahwa bangsa kita adalah bangsa yang sangat beradab dan berketuhanan. Bukan negara agama, tapi negara yang melindungi segenap tumpah darah rakyat-nya terhadap agama yang dipeluk masyarakatnya ***

Penulis adalah Praktisi hukum di Jakarta, pemerhati  Politik, Hukum dan sosial budaya

Berita Terkait