Sejak Reformasi, Bangsa Kehilangan Petunjuk Jalan Arah Tujuan Negara

by Nano Bethan
273 views
opini

JAKARTA, TABLOIDDICTUM.COM – Kewenangan MPR menetapkan GBHN dihilangkan, menurut pemerhati Sosial Politik, Agus Widjajanto, SH.MH, Bangsa tidak mempuyai “Blue Print” dalam membangun sekaligus kehilangan “Kompas”. “Sejak reformasi sampai saat ini, kita kehilangan  petunjuk jalan arah tujuan Negara. Sesuai alenia IV Pembukaan UUD 1945,” ungkap Agus Widjajanto.

Menurutnya, MPR tidak lagi berwenang memilih presiden dan wakilnya karena dipilih langsung oleh Rakyat sehingga menimbulkan Cost yang begitu besar. Sementara disisi lain, masih banyak rakyat hidup menderita. “Hanya ingin mendapat pujian bahwa Indonesia adalah Campion Demokrasi, walau nyatanya Demokrasi ala liberal. Apa memang begitu cita cita proklamasi?”  sentilnya.

Dikatakan, dirinya mengamini pernyataan Guru Besar Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Kaelan, bahwa Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 tahun 2002 tidak lagi berdasar pada Pancasila. Sebab amandemen yang dilakukan mengubah sekitar 97 persen UUD 1945.

“Sudah tidak ada lagi (UUD 1945, red) begitu dilakukan amandemen hingga beberapa kali. Telah merubah pasal-pasal krusial dalam UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis,” tegas Penulis Buku ‘Membangun Karakter Anak Bangsa Melalui Ajaran Luhur (2023) itu ketika dihubungi,  Kamis 15-11- 2023 di Jakarta.

Baca juga: Mental Para Elit dan Penegak Hukum Bobrok, Berakibat Krisis Multidimensi Tiada Ujung

Menurut Agus, UUD 1945 telah kehilangan ruh-nya sebagai Negara yang berdasar Pancasila. Padahal, sebelum UUD 1945 diamandemen, Pancasila merupakan Dasar Negara dan Falsafah Hidup Bangsa, Philosofische Grondslag,dan Pandangan Hidup Bangsa, Weltanschauung.

Selain itu, Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum di Indonesia sesuai Tap MPRS/1966 Nomor XX.”Sejatinya terbentuknya negara ini diilhami Pemerintahan Desa jaman dulu,” kata pemerhati  sejarah politik dan budaya tersebut.

Diungkapkan, contoh praktisnya adalah dalam pemerintahan desa, ada Rembug Desa. Dimana dalam musyawarah tertinggi desa itu dihadiri perwakilan dari tokoh agama, tokoh adat, sesepuh desa, tokoh pemuda. Dan tentunya kepala desa, carik atau sekretaris desa hingga hulu balang desa.

Dalam musyawarah itu, semua dalam posisi yang sama kedudukannya. Seluruh peserta Rembug Desa kemudian diberikan kesempatan untuk menyampaikan aspirasi dari masyarakat dan seluruh masukan kemudian dibahas bersama untuk kemudian disimpulkan dan diambil keputusan.

Baca juga: Penjabaran Pancasila Dalam Pemahaman Membangun Karakter Anak Bangsa

Proses pengambilan keputusan inilah hakekat sebenarnya dari permusyawaratan rakyat.  “Itulah sejatinya kedudukan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dimana kedudukan MPR adalah lembaga tertinggi negara sesuai sila ke empat dalam Pancasila, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”  jelas Agus Widjajanto.

Ditambahkan, Pancasila dan UUD 1945 adalah Dwi Tunggal yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya adakah soko guru yaitu pondasi dan tiang pancang utama dalam sebuah bangunan ketatanegaraan. “Sangat memprihatinkan karena keduanya saat ini tidak lagi sinkron. Apakah tetap dinamakan UUD 1945 lagi? Menurut saya UUD 1945 sudah tidak ada, yang ada adalah UUD 2002. Ini masalah serius dalam sistem ketatanegaraan kita,” ungkapnya.

“Jangan dilihat kita tidak ada masalah, kita punya masalah besar karena menyangkut sistem, menyangkut soko guru terbentuknya Negara yang sudah bergeser pada Negara kekuasaan  imperium Liberal,” lanjut Agus Widjajanto.

Sebelumnya, Guru Besar Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Kaelan, mengatakan bahwa Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 tahun 2002 tidak lagi berdasar pada Pancasila. Sebab setelah diteliti dengan seksama, ada sekitar 97 persen pasal yang diubah dalam amandemen tersebut.

Baca juga: Indonesia Bukan Negara Agama, Tapi Negara Yang Melindungi Seluruh Umat Beragama

“Setelah saya teliti, ini dari hasil penelitian, penelitian hukum normatif dan filosofis, jadi tidak berhenti normatif tapi filosofis, bahwa ternyata konstitusi amandemen 2002 itu sudah bukan lagi amandemen. Yang diubah bukan satu pasal atau dua pasal, saya hitung hampir 97 persen. Masya Allah itu sudah bukan lagi amandemen, tetapi ganti. Jadi kita ini sudah tidak berdasarkan Pancasila,” jelasnya.

Dipaparkan, dalam Seminar Nasional yang diadakan Majelis Dewan Guru Besar Perguruan Perguruan Tinggi Negeri (MDGB PTNBH), Jumat, 17-6-2023 lalu, Prof. Kaelan mencontohkan pasal yang mengatur tentang HAM hanya mencomot dari HAM Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Sementara HAM menurut UUD 1945 hasil amandemem tahun 2002 tidak lagi mencerminkan Pancasila.

“Karena HAM yang ada di dunia itu kan liberal, tidak memperhitungkan realisasi bahwa negara kita memandang HAM dengan nilai nilai luhur yang bertanggung jawab yang tentu untuk juga berketuhanan,” kata pengacara dan praktisi hukum yang berkantor di Kawasan Cikini, Jakarta itu.

Lebih lanjut Agus Widjajanto menjabarkan, perubahan terhadap UUD 1945 yang dilakukan secara emosional seiring dengan Euforia Reformasi sehingga banyak sekali buah pikir dan karya dari Founding Fathers yang menciptakan pilar pilar penyangga bangunan Ketata negaraan terbentuk nya Negara RI, diubah dan dihilangkan tanpa memahami latar belakang sejarah. Pemikiran Founding Fathers tersebut terutama terkait dengan lembaga tertinggi negara yang merupakan penjelmaan seluruh Rakyat yaitu MPR .

Baca juga: Indonesia Bebas Korupsi, Belajar dari Negara Inggris dan Denmark

Agus widjajanto, mendorong agar dilakukan perubahan terbatas dari UUD terutama mengembalikan pasal pasal krusial yang berkaitan dengan soko guru ketata negaraan. Dari awal diciptakan oleh para pendiri bangsa agar antara Pancasila sebagai Dasar Negara dan pandangan hidup bangsa dengan UUD 1945 bisa sinkron dan Dwi Tunggal yang tidak bisa dipisahkan karena Soko Guru dari Bangunan dari Nercusuar Nusantara yaitu NKRI,” pungkas Agus Widjajanto.  NAN

Berita Terkait