Mengapa Konstitusi Mensyaratkan Presiden Harus Orang Indonesia Asli ?  Ini Pendapat Praktisi Hukum dan Pemerhati Sospol, Agus Widjajanto  

by Nano Bethan
130 views
Opini

TABLOIDDICTUM.COM – Bangsa kita merupakan bangsa berbudaya yang  memegang teguh toleransi, sebagai bagian dari karakter bangsa. Ketika dijajah dan dikuasi Belanda,  dianggap kaum pribumi, disebut “Inlanders”,   sebutan yang digunakan orang Belanda untuk mengejek bangsa pribumi atau penduduk asli Indonesia saat itu. Saat itu, bangsa Eropa, khususnya Belanda menganggap mereka sebagai bangsa yang derajatnya lebih tinggi dari bangsa kita.

Atas dasar penghinaan itulah, para pendiri bangsa saat revolusi, dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik usaha Persiapan Kemerdekaaan Indonesia) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaaan Indonesia)  membentuk tim kecil yang diketuai, Ir. Soekarno. Tim ini  merumuskan pasal – pasal dalam sebuah Kontitusi sebagai hukum dasar dan syarat berdirinya sebuah negara yang berdaulat.

Para pendiri bangsa paham betul, Indonesia setelah merdeka, sebutan Inlanders akan tetap terulang dalam kontek dan waktu yang berbeda. Disepakati saat itu dalam hukum dasar kita, bahwa syarat sebagai Presiden adalah harus orang Indonesia Asli (Pasal 6 ayat (1) UUD 1945, sebelum amandement. Untuk menjamin melindungi Rasa Nasionalis dan Menjaga Karakter bangsa, sebagai bangsa yang tetap berjiwa Ke-Indonesiaan.

Pertimbangannya,  situasi global saat dimana  terjadi persaingan Fasisme, Sosialisme, Lineralisme ketika Sekutu beserta negara Eropa menjadi pemenang perang dunia ke II. Sebagai bangsa yang baru berdiri, disadari harus berpegang teguh pada adat, tata cara dan martabat sebagai bangsa timur dan itu hanya bisa dipertahankan jikalau Presiden-nya tetap orang Indonesia asli.

Baca juga: Agus Widjajanto : Putusan Ambivalen, MK Tak Konsisten Jaga Konstitusi dan Demokrasi

Pijakan sejarah sebelum Indonesia merdeka menjadi pemikiran para pendiri bangsa. Dalam Undang – undang Regrerings Reglement Pada tahun 1854 oleh kolonial Hindia Belanda, masyarakat dibagi beberapa golongan yakni golongan Eropa yang kedudukannya paling tinggi setelah itu Jepang, kemudian Timur jauh (Tionghoa dan Arab) baru  Bumi Putra (pribumi) yang golongan kasta-nya paling rendah.

Dalam buku mencari identitas Arab Hadramaut di Indonesia karangan Huub deJonge, masyarakat Arab yang datang ke Hindia Belanda kebanyakan dari Hadramaut Yaman karena adanya peralihan kekuasaan dari Turki Usmani ke Inggris. Sedangkan orang China yang datang kebanyakan dari Fujian, yang saat itu menguasai bidang ekonomi dan politik  dan diberikan oleh kolonial Belanda untuk memecah kekuatan untuk menekan orang Bumi putera.

Sejarawan Peter Carrey dalam bukunya, Orang China, Bandar Tol, Candu, dan Perang Jawa, mengungkap, peran keturunan golongan  Timur jauh merupakan kepanjangan dari kolonial saat itu. Diberikan hak mengurus Haji, dan menagih hutang bank serta memberikan hutang dengan bunga tinggi, yang berakibat timbul nya kebencian dari orang pribumi yang bermuara kepada perang Jawa, perang Diponegoro tahun 1825- 1830 di Jawa. Perang ini menguras kas Hindia Belanda hampir bangkrut. Sehingga setelah perang diterapkan tanam paksa kepada para petani.

Dari sejarah Itulah pertimbangan dan pemikiran para pendiri bangsa, menetapkan dalam kontitusi bahwa Presiden harus orang Indonesia Asli, yang pada masa Reformasi justru dihapus yang menimbulkan masalah baru yang bisa kita lihat saat ini.

Baca juga: Refleksi Sejarah Bangsa, Hindari Politik Identitas untuk Mencederai Demokrasi

Prof. Hendro Priyono dalam opini-nya di detikNews tanggal 10 Januari 2024, menulis, fenomena Inlanders terjadi saat ini,  dimana sudah merdeka hampir 80 tahun  dengan segala hiruk – pikuknya. Menurutnya, Undang Undang nomor 40 Tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi,  ras dan etnis, telah disalah gunakan oleh beberapa oknum keturunan Arab untuk melakukan tindakan tindakan rasis terhadap kaum pribumi bangsa Indonesia, diantara nya fenomena tersebut adalah pernyataan terbuka dari seorang habib bahwa belajar dari habib lebih baik dari pada belajar agama dari para kyai pribumi .

Habib adalah istilah ras Arab yang mengaku derajatnya lebih tinggi dari pada bangsa pribumi, karena adanya nazab keturunan langsung ke Rosullullullah SAW, padahal saat Islam masuk ke Jawa dari Wali Songo , menggunakan pendekatan budaya, yang berurat akar pada masyarakat saat itu.

Sejarawan Islam dari universitas Padjajaran Bandung , Tiar Anwar Bachtiar menjelaskan bahwa “Habib” memang menjadi sebutan antropologis untuk orang orang Hadramaut yang merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW  dari jalur Husain bin Ali. Dimana keturunan Arab dari Hadramaut Yaman tersebut diawali imigrasi ke Indonesia  dan keturunan cucu Husain dari kawasan Yaman hadramaut bernama Alawi, di Indonesia disebut Alawiyin . Biasanya, keturunan Alawiyin inilah yang disebut Habib. Dimana habib sendiri hanyalah sebutan, sedangkan gelar resminya adalah Sayyid dan perempuan sayyidah . Di Indonesia keturunan Alawiyin membentuk sebuah organisasi yang salah satu tugasnya adalah pencatatan silsilah keturunan Nabi.

Organisasi ini bernama Rabithah Alawiyah yang berdiri sejak tahun 1928, yang pada umum nya masyarakat keturunan Arab secara tradisi sangat mementingkan silsilah. Ini yang mungkin menjadi pemicu kadang merasa derajat nasab nya lebih tinggi dari orang asli pribumi, yang menimbulkan dan berakibat timbul masalah diatas yang memang hanya dilakukan oleh oknum habib, bukan secara organisatoris. Dalam masa fase tahun politik selalu digunakan untuk menarik massa dengan basis keagamaan. Sedangkan  Indonesia adalah bukan negara Agama tapi negara yang melindungi seluruh umat beragama .

Baca juga: Penjabaran Pancasila Dalam Pemahaman Membangun Karakter Anak Bangsa

Mengambil hasil penelitian KH Dr Imadudin Ustman Al Bantanie dalam buku nya “Menakar Nazab Habib di Indonesia” dan buku kedua “Nasab Habib kepada Nabi Muhammad SAW ” dijabarkan secara komprehensif, dan dengan melakukan penelitian dengan pendekatan metode Library Research dengan mengumpulkan data data ilmiah berupa kitab kitab nasab dan kitab lainnya dari masa ke masa. Data tersebut diolah secara sistematis , rasional  dan valid, yang dapat disimpulkan,

Para habib di Indonesia datang pada sekitar tahun 1880 Masehi dari Yaman sampai tahun 1942 sebelum kedatangan Jepang ( Historiografi Etnis arab di indonesia , Mifthahul Tawbah , journal multy cultur of islamic Education vol6 hal 132). Mereka para habib mengaku keturunan Nabi Besar Muhammad SAW, yang menurut mereka berasal dari keturunan Ba Alawi. Dimana  Ba Alawi sendiri adalah rumpun keluarga di Yaman dari datuk mereka bernama Alawi bin Ubaidilah.

Sayangnya,  nasab seperti diatas tersebut tidak terkonfirmasi dalam kitab – kitab nasab primer yang Mu’ tabar. Dalam kitab – kitab nasab yang tertulis berdekatan masanya, tidak mencatat nama Alawi bin Ubaidilah sebagai anak Ahmad bin Isa dan tidak terkonfirmasi sebagai anak Ahmad. Selain itu, tidak terkonfirmasi kitab – kitab nasab  sejak abad sejaman nya, dimana sampai akhir abad ke sembilan , tidak tercatat Ahmad bin Isa mempunyai anak bernama Ubaidillah.

Menurut pendapat KH. Dr. Imaduddin Utsman Al Bantanie, penisbatan keluarga Habib Ba Alawi telah terputus selama 550 tahun sejak wafatnya,  Ahmad bin Isa yang mana disebutkan dalam nasab Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa.

Sangat sukar sekali menurut takaran ilmiah untuk menyebut bahwa para Habib Ba Alawi adalah sahih sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW dan dari sisi riwayat nasab para Habib ini adalah “Mungati”, (terputus) dari sisi nasab. Dimana nasab itu dalam kategori ” Mardud al Nasab ( Nasab yang tertolak ) kata penulis buku, menakar kesahihan nasab para habib di Indonesia.

Baca juga: Mental Para Elit dan Penegak Hukum Bobrok, Berakibat Krisis Multidimensi Tiada Ujung

Dengan demikian Yuriyah Nabi  yakni Syarif dan Syarifah berbeda dengan para Wali Songo penyebar Islam di tanah Jawa yang datang pada medio Abad ke-14  Masehi. Saat itu menyebarkan agama dengan pendekatan sosiologis atau  budaya setempat , yang warisan-nya hingga saat ini bisa kita jumpai di masyarakat Kudus. Dimana saat itu sayyid Ja,’ Far Sodig Sunan Kudus memfatwakan dilarang menyembelih sapi, untuk menghormati sesama masyarakat bagi saudara kita yang saat itu memeluk agama Hindu yang mengkeramatkan hewan sapi.

Bahkan Pure Hindu yang sudah tidak terpakai digunakan oleh sunan Kudus untuk dijadikan menara (Mannaroh) hingga saat ini menjadi Masjid Menara Kudus yang legendaris. Para wali berasimilasi kawin dengan pribumi  dan menjunjung harkat martabat orang pribumi,. Seharusnya, kita belajar dari beliau – beliau yang pola pikirnya menjangkau waktu masa hingga ratusan tahun kedepan.

Adanya fenomena yang selalu mengaku sebagai keturunan Nabi , yang mengganggap derajat nya lebih tinggi  tersebut, berimbas pada politik praktis saat pilkada secara langsung. Pada masa lalu terjadi fenomena politik identitas yang menjurus pada pemecah belah umat dan masyarakat. Bahkan ada tim salah satu  pemenangan Pilpres yang menyatakan kalau tidak milih si anu, maka ke-Islamannya akan dipertanyakan. Ini adalah suatu penyesatan umat , dalam politik . Hal seperti ini sudah diprediksi para pendiri Bangsa melampau jaman ratusan tahun kedepan. Sehingga dalam membentuk pasal – pasal Kontitusi sebagai dasar negara kita,  mensyaratkan Presiden harus orang Indonesia asli.

Setelah dilakukan amandemen hingga empat kali, yang lalu merubah format dari UUD 1945, dari Presiden harus orang Indonesia asli  menjadi calon presiden dan wakil presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya  dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain (Pasal 6 UUD 1945 hasil amandemen). Hal ini berimplikasi, bisa saja calon presiden dan wakil nya dari keturunan  Eropa, Yahudi, Afrika, China  atau Arab yang penting lahir di Indonesia dan telah menjadi warga negara Indonesia.

Menapak tilas kembali awal kemerdekaan Indonesia sebagai negara kebangsaan (Nation State), Soekarno sebagai Presiden I Republik Indonesia  dengan sadar dan didorong spirit Nasionalisme mencanangkan dan menggelorakan pembangunan karakter bangsa  dan watak bangsa ( Nation Characters Building ). Dimana Reasoning-nya jelas bahwa untuk mengisi kemerdekaan harus dilandasi watak dan karakter bangsa yang kuat tangguh dan mandiri dalam arti bukan watak bangsa terjajah tapi watak bangsa merdeka,  (Prof. Dr. I Gede Pantja Astawa SH. MH.,  dalam kata sambutan buku Membangun Karakter Anak Bangsa melalui Ajaran Leluhur).

Dalam kontek ini menjadi sangat relevan dengan mengutip isi pidato Presiden Soekarno yang antara lain menyatakan,  “Saudara – saudara sebangsa dan setanah air, kalau jadi Hindu, janganlah jadi orang India, kalau jadi Islam (Moeslim)  janganlah jadi orang Arab, kalau jadi Kristen , janganlah jadi orang Yahudi, tetaplah jadi orang Nusantara , dengan adat istiadat yang kaya raya ini dari leluhur kita.

Ingatlah saudara saudara, musuh yang paling berat adalah rakyat kita sendiri yang mabuk budaya luar yang kecanduan agama  dan tega membunuh bangsa sendiri demi budaya luar  dan agama yang diyakini-nya. Maka, janganlah mau diperbudak oleh semua itu, jadi lah bangsa dan orang Indonesia”.

Baca juga: Sejak Reformasi, Bangsa Kehilangan Petunjuk Jalan Arah Tujuan Negara

Pidato Proklamator, Presiden pertama RI ini masih relevan untuk di gelorakan hingga saat ini, terlebih menjelang pemilihan Presiden dan wakil presiden. Harus mengutamakan persatuan dan kesatuan anak bangsa, jangan sampai terbelah  demi politik praktis dan selalu waspada atas intervensi asing yang ingin mencampuri dan mencari keuntungan atas pesta demokrasi ini. Harus tetap ditekankan pengabdian yang total terhadap  bangsa dan negara serta  cinta tanah air. Jangan sampai kita jadi bangsa inlanders yang dianggap rendah oleh bangsa lain.  Jangan lagi ada anggapan dari sesama anak bangsa bahwa keturunan tertentu lebih bagus karena nazab hingga terkesan meng-inlenders kan sesama anak bangsa yang lain.
Kita hidup di bumi dan negara Kesatuan RI, harus saling asah asih asuh, berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Tunjukan kepada semua bangsa di dunia, bahwa  Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang Merdeka dan Bermartabat.

Euforia semangat Reformasi telah membuat kita terlena, hingga mabuk kebebasan yang berakibat keblablasan. Tidak sadar,  kita telah  menghilangkan tatanan aturan dalam hukum dasar kita yang merupakan soko guru tiang utama dari berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Saatnya kita bangun dari tidur dan mimpi di siang hari.

Agus Widjajanto: Praktisi hukum, Penulis dan  Pemerihati  Budaya dan Sosial Politik

Berita Terkait