Oleh. : Agus Widjajanto
Sudut pandang hukum dan hak asasi manusia (HAM), bisa disampaikan bahwa, dalam Al-Qur’an dan Hadits, tidak ada dalil yang secara khusus membahas penggunaan pengeras suara atau TOA untuk Adzan
TABLOIDDICTUM.COM – Dalam tulisan tulisan yang lalu yang mengangkat tema, Bhineka Tunggal Ika, berkaitan dengan Tan Hana Dharma Mangrwa, telah dijelaskan bahwa negara ini didirikan oleh pendiri Bangsa dari rasa semangat kebersamaan dalam suatu komunitas besar sebuah wilayah yang dinamakan negara dengan segala perbedaannya, Agama, Suku, Bahasa, dan Ras untuk mencapai tujuan bersama sesuai cita cita Proklamasi .
Tahun berganti tahun, jamanpun semakin berubah hingga abad ke-20 Masehi saat ini, dimana dunia telah semakin maju secara teknologi tranportasi, informasi, komunikasi sampai tehnologi alat utama sistem persenjataan sebagai persiapan apabila terjadi gesekan antar negara (peperangan). Kemajuan tersebut berdampak pada kemajuan jaman, yang diikuti oleh perubahan pola hidup bermasyarakat, termasuk yang seharus nya terjadi menyangkut tata cara menjalankan ibadah dalam beragama. Tentunya tidak bisa disamakan pada jaman modern ini dengan jaman pada awal abad ke-5 Masehi.
Bangsa kita mempunyai sejarah yang panjang dari abad ke abad, masa ke masa. Mengalami pasang surut kejayaan dan kejatuhan yang oleh para leluhur kita disebut masa siklus kejayaan (Tjakra Manggilingan, hitungan sesuai tahun naik turun nya kejayaan sebuah bangsa). Pernah mengalami masa – masa suram, terjadi perang agama terbesar pada abad ke-8 Masehi. Saat masa kejayaan Dinasti Mataram Hindu dan juga pernah terjadi konflik ideologi pada masa tahun 1965.
Ini tentunya membuat kita makin dewasa dalam memandang sebuah kehidupan dalam kontek bermasyarakat dan bernegara. Dari dulu kala, tetap terjadi kondisi kehidupan toleransi dalam menjalankan keyakinan dalam beragama, ditulis dalam kitab Sutasoma dari empu Tantular dan Negara Kertagama oleh Mpu Prapanca dalam Imperium kejayaan Majapahit.
Baca juga:Sejak Reformasi, Bangsa Kehilangan Petunjuk Jalan Arah Tujuan Negara
Pada masa kini dalam tatanan toleransi antar umat beragama, yang mungkin kurang mendapat suatu perhatian yang serius karena dianggap hal yang wajar, adalah menyangkut adzan menggunakan pengeras suara, yang menjangkau dalam radius beberapa ratus meter bahkan lebih, tergantung pengeras suara yang digunakan.
Dalam masa Rosullullah, dulu suara adzan dikumandangkan oleh Bilal dengan suara yang sangat keras untuk memanggil para sahabat dan para tabiin, untuk memberitahu bahwa sudah saatnya waktu untuk sholat. Dengan kondisi rumah – rumah para sahabat dan para tabiin masih berjauhan. Tapi tetap tidak sekeras suara adzan dengan menggunakan sarana elektronik, pengeras suara melalui speaker.
Dalam konteks ini dari sudut pandang hukum dan hak asasi manusia (HAM), bisa disampaikan bahwa, dalam Al-Qur’an dan Hadits, tidak ada dalil yang secara khusus membahas penggunaan pengeras suara atau TOA untuk Adzan. Namun, terdapat beberapa prinsip yang dapat diambil sebagai pedoman terkait hal ini yakni, prinsip keterbukaan dan penyebaran Ajaran Islam, Al-Qur’an menekankan pentingnya menyebarkan ajaran Islam dan memanggil umat untuk shalat. Adzan sendiri merupakan panggilan yang disebarkan agar umat Islam dapat berkumpul untuk melakukan ibadah.
Selain itu, penghormatan terhadap Ketetanggaan dan Kehidupan Bersama, Hadits-hadits Nabi Muhammad SAW menegaskan pentingnya menjaga hubungan baik dengan tetangga dan menghormati hak-hak mereka. Dalam konteks penggunaan pengeras suara atau TOA untuk Adzan, penting untuk memperhatikan kenyamanan dan kebutuhan tetangga sekitar.
Penyesuaian dengan Kemajuan Teknologi, meskipun tidak ada dalil yang secara spesifik mengatur penggunaan teknologi seperti pengeras suara atau TOA untuk Adzan, prinsip kesesuaian dengan perkembangan zaman, disesuaikan cara menyampaikan panggilan shalat dengan menggunakan sarana-sarana teknologi yang tersedia.
Baca juga: Kakawin Nagara Kertagama, Merupakan Sumber dari Nilai – nilai Pancasila
Sementara Al-Qur’an dan Hadits tidak memberikan petunjuk langsung tentang penggunaan TOA atau pengeras suara untuk Adzan. Prinsip – prinsip umum dalam Islam seperti penyebaran ajaran agama, penghormatan terhadap tetangga dan penyesuaian dengan kemajuan teknologi dapat menjadi pedoman dalam menentukan penggunaan yang tepat dan etis dari sarana-sarana tersebut.
Penggunaan pengeras suara dalam shalat lima waktu begitu juga dalam shalat taraweh tidak dianjurkan, melainkan sekedar di dengarkan orang yang berada dalam masjid tanpa mengeraskan suara ke luar agar tidak mengganggu masjid lainnya dan orang-orang yang berada di dalam rumah serta mempunyai uzur, seperti orang sakit atau lainnya. Syeikhul islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak diperkenankan seorang pun mengeraskan bacaan yang dapat mengganggu jamaah shalat lainnya.” [Majmu Fatawa, 23/61].
Adapun iqamah shalat, sunah yang shahih menunjukkan bahwa pada zaman Nabi sallallahu alaihi wa sallam, terdengar hingga orang yang berada di luar masjid. Terdapat penjelasan dalil akan hal itu dimana kami telah sebutkan di dalamnya perkataan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah bahwa, iqamah shalat adalah untuk orang yang hadir dalam masjid begitu juga untuk orang yang tidak hadir seperti adzan.
Baca juga:Agus Widjajanto : Putusan Ambivalen, MK Tak Konsisten Jaga Konstitusi dan Demokrasi
Maka, kalau yang dimaksud larangan ‘Iqamah shalat’ dengan pengeras suara adalah ‘shalat itu sendiri’, maka keputusan ini benar. Meskipun kita ingatkan kepada pihak yang bertanggungjawab agar larangaan ini tidak khusus kepada pembaca Qur’an dan shalat saja, sedangkan orang-orang jalanan, fasik dan porno dibiarkan mempromosikan kefasikan dan kegilaannya di hadapan orang-orang tanpa ada larangan yang membuat mereka jera.
Dengan kondisi saat ini, dimana jumlah penduduk di pulau Jawa dan kota kota besar di Indonesia, hampir 270 juta jiwa, dengan tanah makin terbatas baik perkotaan dan daerah yang sudah sangat padat dengan kondisi rumah rumah penduduk yang sangat berdekatan, tentu suara speaker masjid saat digunakan mengumandang kan azdan yang begitu keras, pada setiap shalat fardhu ( Wajib ) serta saat taraweh dan tadarus , tentu sangat mengganggu dan membuat tidak nyaman bagi lingkungan dalam wilayah tertentu yang penduduk nya kebetulan beragam.
Hal ini yang harus jadi perhatian Negara yaitu pemerintah yang dinaungi oleh Departemen Agama yang telah menerbitkan surat edaran nomor 5 tahun 2022 tentang penggunaan speakers agar tidak mengganggu lingkungan tempat tinggal bagi penduduk yang beragama lain. Namun kenyataannya , surat edaran tersebut tidak pernah di taati oleh masyarakat.
Sehingga keluhan terpendam dari saudara – saudara kita, umat beragama lain atau bahkan sesama moeslim yang keluarganya sedang sakit tidak berani secara terbuka untuk menghindari masalah yg tidak diinginkan. Apalagi jika ditunggangi masalah politik jadi masalah SARA, dalam mengumandangkan azdan dalam folume tertentu dalam wilayah yang beragam para penduduk nya dalam memeluk agama.
Baca juga: Falsafah Jawa Suro Diro Joyoningrat Lebur Dening Pangastuti dalam Perspektif Politik Nasional
Sesama saudara sebangsa yang mayoritas tentu harus bisa memberikan contoh serta suri tauladan. Handarbeni, memberikan contoh yang baik, Hangayomi, bisa memberikan pengayoman, mayoritas memberikan perlindungan dan pengayoman kepada minoritas dalam toleransi antar umat beragama.
Ini sudah tertulis dalam sila pertama dari Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, yang punya makna dan arti melindungi seluruh tumpah darah dan warga negara Indonesia dalam menjalankan ibadah-nya sebagai hak yang paling asasi. Namun, harus juga ada kewajiban untuk menghargai umat beragama lain, yang telah diatur oleh dasar Negara sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa serta Kontitusi kita.
Dengan hidup penuh harmonisasi, saling menghargai, saling mengayomi dalam naungan negara dan bangsa serta tanah tumpah darah yang sama, untuk mencapai cita cita bersama. Toto tenteram Kerto Raharjo, Gemah Ripah loh Jinawi, Adil Makmur secara bersama, sebagai sebuah bangsa. Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa ****
Penulis adalah Praktisi Hukum di Jakarta. Pemerhati Sosial Budaya dan Sejarah Bangsa