Oleh. : Agus Widjajanto
“Indonesia yang baru merdeka adalah berbentuk Republik bukan negara agama tapi negara yang melindungi seluruh umat beragama bagi rakyatnya”
TABLOIDDICTUM.COM – Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, buku autobiografi Soekarno, Proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia halaman 20 menulis, “Aku tidak mengatakan, bahwa aku menciptakan Pancasila. Apa yang dikerjakan hanyalah menggali jauh kedalam bumi kami, tradisi – tradisi kami sendiri dan aku menemukan lima butir mutiara yang indah”.
Dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945, dihadiri seluruh anggauta BPUPKI yang diketuai oleh Dr. Rajiman Widjodiningrat, membahas Dasar Negara.
Mohamad Yamin dalam sidang 29 Mei 1945, mengemukakan sebagai Dasar Negara yakni, 1. Peri kebangsaan, 2. Peri kemanusiaan, 3. Peri Ketuhanan, 4. Peri kerakyatan dan 5. Kesejahteraan rakyat.Dilanjutkan oleh Mr Soepomo pada tanggal 31 mei 1945, yang mengusulkan, 1. Persatuan, 2. Keseimbangan lahir batin, 3. Kekeluargaan, 4. Keadilan rakyat dan 5. Musyawarah.
Sementara Ir. Soekarno pada tanggal, 1 Juni 1945 mengemukakan pandangan tentang Dasar Nagara yakni , 1. Kebangsaan Indonesia, 2. Internasionalisme atau Perikemanusiaan, 3.Mufakat atau Demokrasi, 4. Kesejahteraan sosial dan 5. Ketuhanan.
Baca juga:Mental Para Elit dan Penegak Hukum Bobrok, Berakibat Krisis Multidimensi Tiada Ujung
Tiga tokoh Bangsa ini sepakat ada lima point yang yang menjadi isi dari Dasar Negara yang kemudian disusun oleh Panitia Sembilan, selama masa reses diluar sidang BPUPKI, pada tanggal 22 Juni 1945, yang dikenal dengan “Piagam Jakarta”.
Dasar Negara dalam Piagam Jakarta, 1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk pemeluknya, 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3. Persatuan Indonesia, 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan perwakilan serta 5. Keadilan sosial bagi seluruh Indonesia
Salah satu tokoh pendiri Bangsa utusan dari Indonesia Timur saat itu, Dr. Latuharhary keberatan isi Dasar Negara Piagam Jakarta, khususnya sila Pertama, namun saat itu seluruh peserta sepakat menyetujui dan kemudian dibacakan oleh Ir. Soekarno pada tanggal 10 Juni 194 dalam sidang BPUPKI yang kedua.
Setelah Indonesia merdeka, tanggal 17 Agustus 1945, Wakil Presiden, Moh. Hatta dan anggota Panitia Sembilan, mendengar kabar bahwa Indonesia Timur akan melepaskan diri dari Indonesia apabila Dasar Negara yang dipakai adalah yang ada dalam Piagam Jakarta. Saat itu Moh. Hatta kemudian mengumpulkan tokoh tokoh wakil golongan diantaranya, KH. Wachid Hasyim, Ki Bagoes Hadikusumo, Kasman Sibgodirejo dan Teuku Mohammad Hasan untuk membahas hal tersebut.
Baca juga: Merajut Falsafah Kepemimpinan, Harapan Untuk Presiden Terpilih Menggapai Indonesia Emas
Atas saran para ulama Hasyim Asari Jombang dan Agamawan lainnya, menyatakan bahwa Indonesia yang baru merdeka adalah berbentuk Republik bukan negara agama tapi negara yang melindungi seluruh umat beragama bagi rakyatnya.
Disepakati, dalam Piagam Jakarta alenia satu, atau Sila pertama “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk pemeluknya”, diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ini menegaskan, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang baru terbentuk, melindungi segenap tumpah darah dan rakyat nya dalam menjalankan ibadah sesuai agama dan keyakinannya, tapi bukan negara Agama.
Ide pandangan dan pencerahan dari pendiri Bangsa, bukan hanya Soekarno tapi juga Mohamad Yamin, Mr Soepomo dan para Founding Father dan Founding mother terinspirasi dari penggalian budaya dan peninggalan literatur dari nenek moyang serta adat istiadat serta pemerintahan Desa Adat saat itu sehingga bisa dikonsepkan menjadi Dasar Negara dan Hukum Dasar. Dipakai sampai saat ini walau sudah empat kali di amandemen. Harus diakui, pemikiran dan sifat negarawan dari para sesepuh pendiri bangsa dimana memiliki dimensi jauh kedepan, melampaui jamannya.
Dalam kitab Kakawin Nagara Kertagama, berbahasa Jawa kuno, ditemukan pertama kali di pulau lombok oleh peneliti Belanda pada tahun 1894 Masehi. Kitab tersebut ditulis oleh Mpu Prapantja, diakui oleh UNESCO bahwa ” Nagara Kertagama memberikan kesaksian pemerintahan seorang Raja pada abad ke-14 Masehi di Indonesia, dimana ide – ide modern, Keadilan Sosial, Kebebasan Beragama, Keamanan Pribadi dan kesejahteraan rakyat sangat dijunjung tinggi”. Naskah Kakawin Nagara Kertagama telah diakui oleh kalangan Internasional dan secara resmi masuk dalam daftar Memory of the World UNESCO.
Baca juga:Tiga Kali Diadili Dalam Kasus Aborsi, Dokter Gigi Arik Wiantara Divonis Ringan, 4,5 Tahun Penjara
Perjalanan sejarah Bangsa Indonesia yang dulu disebut Nusantara, berjalan begitu runtut dari abad ke abad. Sebelum manusia penjelajah Eropa menemukan benua Amerika dan benua lain, pada milenial abad 0 sampai abad 1, sebenarnya nenek moyang bangsa ini sudah mengarungi samudera dengan kapal – kapal penjelajah dari kayu jati sampai ke Taiwan, Afrika Timur, Selandia Baru dan Madagaskar.
Jauh sebelum Imperium Majapahit maupun Sriwijaya, dan Mataram Hindu ada, sudah melakukan penjelajahan untuk berhubungan niaga dengan manusia di seberang lautan samudera. Bangsa yang mendiami kepulauan Nusantara adalah bangsa yang silih berganti datang dan melakukan hubungan .
Pada awalnya bangsa Nusantara ini mendapat gelombang imigrasi dari Yunnan, China bagian selatan (Teory Open Heymar, Mencairnya Es, Tenggelamnya Benua Sunda/ Sunda land). Bangsa yang datang dari Yunnan ini kemudian berakulturasi dan saling bertukar budaya dengan penduduk lokal yang lama mendiami Nusantara. Sejarah bangsa ini semakin berkembang cepat setelah mereka belajar sistem tulisan dari bangsa India yang menyebut dirinya bangsa Bharata, karena letak India disebelah barat Nusantara.
Hal ini berakibat adanya tulisan tulisan dari peninggalan leluhur bangsa kita, berupa temuan temuan prasasti dari masa kerajaan Kutai, Taruma Negara di Jawa barat, Sriwijaya di Jambi dan Palembang, serta Mataram Hindu dan Kalingga Jepara yang mempengaruhi corak kerajaan di Sulawesi dan Kalimantan serta Philippines .
Dari uraian teks Kakawin Nagara Kertagama , para ahli dapat merekonstruksi keadaan sosial, politik, kebudayaan dan keagamaan pada saat itu, yang penuh toleransi, berdampingan penuh kekeluargaan. Majapahit saat itu betapa maju dan luas serta tingginya kebudayaan dan peradaban yang dicapai, sistem sosial dan sistem kekuasaan yang demikian luas wilayah geografinya menunjukan bahwa Majapahit mengalami masa keemasan dan kegemilangan. Bangsa Nusantara ini mengenal siklus kegemilangan dan keemasan yang gemilang setiap 700 tahun .
Baca juga: Tim Penasihat Hukum Ungkap Fakta, Dana Yasa Otak Investasi Bodong PT Dana Oil Konsorsium
Nilai – nilai dari Pancasila sendiri tertulis dalam Kakawin Nagara Kertagama, pada Pupuh ke 43 ayat 2 yang berbunyi, ” Nahan hetu Narendra Bhakti RI padha Sri Sakya sinhasthiti, yatnagegawhani Pantjasila kerta sansekerta rabishe kakrama, lumra nama jinabhiseka nira San Sri jnana bajres’ wara, tarkka wyakarana dhisastran inaji Sri Natha wijnanulus”.
Alasan Arti Pupuh ini, Sang Raja mantap berbakti pada kaki Sri Singha Sakya, karena berusaha memegang teguh pada Pancasila, lima kaidah tingkah laku utama, diresmikan dalam tata upacara penobatan. Nama gelar menurut pentahbisan adalah Sri Jnana Bajreswara, kebijaksanaan , hingga ilmu kesempurnaan/ Ketuhanan tinggi karena memegang teguh tata cara adat, kitab suci agama dan kepercayaan luhur.
Dalam Kitab Kakawin Nagara Kertagama juga menulis, bunyi dari Sumpah Amukti Palapa dari Maha Patih Gajahmada yang bercita cita akan menyatukan Nusantara, agar bisa terjaga kehidupan yang tentram dan damai mencapai kesejahteraan bersama dalam satu naungan, Panji – panji Majapahit.
“Lamun huwus kalah Nusantara Isun Amukti Palapa, Lamun huwus kalah ring gurun, ring seran, ring tanjung pura, ring Haru, ring Pahang, ring Dompo, Bali ,Tumasik , Sunda, Palembang, Samana ingsun Amukti Palapa”. Kepulauan Nusantara selalu disertai matahari sepanjang hari, yang diungkapkan penuh kata hati yang menunjuk pada hati, jiwa, Sukma, Atma, rohani kita.
Kakawin Nagara Kertagama ditulis begitu indah dan hening dimasa kejayaan Majapahit, dimasa Raja Hayamwuruk dari seorang maestro pujangga yaitu Mpu Tantular. Beliau sendiri adalah penganut agama Bhuda Mahayana, akan tetapi menulis kisah para Raja dan negara yang agama resminya, Hindu Siwa dengan politik hukum bercorak Hindu Siwa.
Disinilah kehebatan seorang Mpu Prapantja, dimana karya pujangganya bisa memberikan dan meninggalkan catatan sejarah serta karya sastra tinggi yang dapat menjadi sumber inspirasi bagi generasi berikutnya. Salah satunya yaitu lahir nya nilai – nilai Pancasila yang pada tanggal 18 Agustus 1945 dijadikan sebagai Dasar Negara. Yang merupakan Falsafah hidup serta jati diri bangsa Indonesia .
Baca juga:Kakawin Nagara Kertagama, Merupakan Sumber dari Nilai – nilai Pancasila
Bentuk toleransi dari Mpu Prapanca, seorang penganut Budha tapi berkarya secara hening, rame ing gawe sepi ing pamprih, berkarya untuk sebuah kerajaan besar Majapahit yang diidentikan dengan Kerajaan Hindu. Bentuk toleransi ini menjadi sangat luar biasa, senapas dengan semboyan dalam kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular, yang menyatakan, Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa, Walaupun berbeda beda namun satu jua, tidak ada darma, kebaikan dan kebenaran yang mendua.
Jangan ajari kami anak cucu dan generasi dari Majapahit ini sebagai Bangsa Nusantara dengan budaya yang baru yang bagi kami. Sebelum bangsa lain berbudaya, nenek moyang Bangsa kami sudah lebih dahulu punya peradaban dan budaya yang Adi luhung, terbiasa hidup rukun damai, berdasar musyawarah dan mufakat dalam menyelesaikan perbedaan dan masalah yang di hadapi.
Jangan ajari kami cara berdemokrasi, yang selalu dengan slogan hak asasi manusia, karena UNESCO sendiri telah mengakui kitab Warisan dari nenek moyang kami, Kakawin Nagara Kertagama merupakan warisan dunia, yang mengajarkan ide – ide modern yakni, keadilan sosial, kebebasan beragama, keamanan pribadi, dan kesejahteraan rakyat, yang dijunjung tinggi dalam konstitusinya sejak jaman dahulu kala hingga lahir Indonesia sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia ****
Penulis adalah Praktisi Hukum di Jakarta, Pemerhati Sosial Budaya,Hukum dan Politik