Agama dan  Budaya Jawa Dalam Konsep Mamunggaling Kawulo Gusti

by Nano Bethan
142 views
opini

Oleh: Agus Widjajanto

Bagi orang Jawa, dunia ini mengandung simbolisme dan melalui simbol – simbol inilah manusia Jawa merenungkan kondisi sebagai insan Tuhan dan bagaimana berkomunikasi dengan Tuhannya. Hal ini bisa kita lihat pada serat “Centhini”, jika engkau ingin menembus realitas maka masuklah ke dalam symbol

TABLOIDDICTUM.COM – Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor: 97/PUU-XIV/ 2016 tentang judicial review Undang-Undang Administrasi Kependudukan, membolehkan para penganut aliran kepercayaan untuk mencantumkan keyakinannya pada kolom agama di Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) dan Kartu Keluarga.

Hal ini menjadi  menarik untuk membahas tentang  agama, budaya Jawa, dan kaitan dengan  yang dikenal Islam Kejawen dan Kebatinan, agar tidak terjadi salah pemahaman dalam menginterpretasikan, sehingga tidak buru buru melakukan stigma negatif.

Masyarakat Jawa pada khususnya, tidak bisa dipisahkan dengan budayanya,  yang sebelum agama samawi datang di tanah Jawa, sudah terbiasa dan percaya animisme dan dinamisme dalam konteks pengaruh Hindu Budha. Budaya laku atau tirakhat, dengan cara puasa, mengurangi tidur, merupakan hal yang sudah jadi kehidupan sehari hari untuk mencari hakikat dirinya sebagai hamba Tuhan.

Istilah Manunggaling kawulo lan Gusti, merupakan istilah dalam bahasa Jawa, yang banyak digunakan oleh masyarakat Jawa dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari hubungan antara pemimpin dan rakyatnya, dalam kaitan spiritualitas maupun dalam kebudayaannya.

Baca juga:Tiga Kali Diadili Dalam Kasus Aborsi, Dokter Gigi Arik Wiantara  Divonis Ringan, 4,5 Tahun Penjara

Penggunaan istilah Manunggaling Kawulo lan Gusti dalam kebudayaan dipaparkan dalam buku Dharmaning Satriya yang ditulis oleh Wawan Susetya (2029-2041),  bahwa konsep tersebut digunakan dalam dunia pewayangan dengan menunjukkan suasana kedekatan antara hamba dan Sang Khaliq. Berbicara konsep dan istilah manunggaling Kawulo lan Gusti tidak bisa dipisahkan dengan ajaran tasawuf Jawa. Tasawuf dipulau Jawa dikenal dengan istilah kebatinan, yang orang awam kebanyakan menyebut “kejawen”.

Ajaran kebatinan di Jawa ini pun berbeda-beda namun memiliki tujuan yang hampir sama, yaitu bagaimana seorang hamba Tuhan bisa menemukan Tuhannya melalui laku (upaya spiritual) untuk menemukan jati dirinya, agar bisa mengenal Tuhannya yang pada akhirnya bisa bertajali (menyatu) dengan Tuhannya sebagai puncak dari seluruh upaya spiritual seorang hamba Tuhan, mencapai tingkatan Ma’krifatullah dalam tasawuf Jawa.

Berbicara pada menyatunya sang hamba dengan sang Khalik tidak bisa dipisahkan dengan istilah Manunggaling Kawulo lan Gustine yang pertama kali diketengahkan oleh seorang penyebar agama asal Persia pada jaman wali songo di Jawa, yang bernama syeck Siti Jenar yang bernama asli Raden Abdul Jalil, lahir di Iran Persia tahun 1348 hingga 1439 H / 1426 hingga 1517 Masehi, yang tinggal di Jepara, Jawa tengah. Ajarannya sangat terkenal dengan istilah Manunggaling Kawulo lan Gusti, atau dalam dunia tasawuf disebut ajaran wahdatul wujud yang dijawakan oleh beliau.

Pemikiran tentang konsep Tuhan berkaitan dengan Manunggaling Kawulo lan Gusti, menjelaskan hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan antara manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam semesta (Sunatullah) dalam konsep tersebut dipandang oleh aliran syariat sebagai manifestasi dari Dzat Tuhan.

Baca juga:Presiden Terpilih dalam Pilpres 2024, Ramalan Jayabaya dan Michael Nostradamus

Wahdatul wujud yang merupakan konsep yang sebelumnya sudah ada sebelum syech Siti Jenar, diajarkan oleh Hamzah Fansuri tentang bersatunya wujud Tuhan dan manusia, yang dikenal dengan nama wujudiyah, yaitu ajaran tentang keberadaan wujud Tuhan dalam konsep mencari hakikat keberadaannya sebagai sang Pencipta.

Hal ini sesuai falsafah wahdatul wujud bahwa tidak ada wujud selain Allah, yang berarti tidak ada perbuatan di alam semesta ini kecuali perbuatan Allah.  Dimana kehendak dan usaha adalah hak milik manusia tapi hanya Tuhan yang bisa memenuhinya. Argumen tersebut dianggap telah menyimpang karena menganggap dirinya sebagai Tuhan.

Meski demikian Syech Siti Jenar tetap teguh pada pendiriannya, dan berkata “biar jauh tetap benar, sementara yang dekat belum tentu benar,” sejatine suwung ora Ono opo opo, seng ono Kuwi Dudu”. Bahwa tataran untuk mencapai puncak spiritual sendiri menurut Syech Siti Jenar adalah kala diri kita suwung atau kosong, dimana diri kita sudah tidak ada lagi keinginan, yang ada adalah gerakan Tuhan.

Disitulah terjadi menyatunya antara sang Khalik dan hamba, yang ada menjadi tiada yang tiada menjadi ada. Dalam konsep tasawuf dikenal dengan istilah “Kasyf”, dimana dalam kitab Fu Sus Al Hikam, Ibnu Araby, juga menyatakan “qalbu” dalam pandangan kaum sufi adalah tempat kedatangan kasyf dan Ilham, ia pun berfungsi sebagai alat untuk ma’Rifat dan menjadi cermin yang memantulkan (Tajjali) makna makna Kegaiban.

Baca juga:Falsafah Jawa Suro Diro Joyoningrat Lebur Dening Pangastuti dalam Perspektif Politik Nasional

Demikian juga oleh Imam Al Ghazali dalam buku Ihya Ulumuddin, dengan kesucian hati hingga mencapai kasyf, maka diri kita seperti mayit yang dimandikan, tiada daya upaya kecuali atas kehendak Allah, yang sebenarnya hakikatnya sama hanya beda penyampaian bahasa, untuk mencapai  dalam tingkatan Ma’krifatullah.

Oleh dewan para Wali Songo saat itu, kesalahan dari Syech Siti Jenar adalah mengajarkan konsep wahdatul wujud yang dijawakan dengan istilah Manunggaling Kawulo lan Gusti kepada masyarakat umum yang belum mencapai tingkat keimanan seperti dirinya. Secara terbuka yang bisa mengajarkan kepada masyarakat yang baru mengenal ajaran baru tidak lagi melalui tingkatan tingkatan, syariat, hakikat, hingga makrifat.

Istilah kejawen sendiri kiranya kurang tepat apabila hanya diberikan label pada kalangan Islam, karena tidak sedikit ahli spiritual Jawa, berlatar belakang dari Romo Pastur. Walau mereka tidak mau mencampur adukkan pendalaman budaya Jawanya, yang disebut kejawen, pada komunitas gereja, yang penulis sebut lebih tepat kebatinan Jawa, apapun dari latar belakang agamanya.

Ibarat pusaka dalam dimensi  keris adalah warangka, sebagai sarung/bungkus  keindahan dan penutup kekuatan jati dirinya yaitu “curiga” dari keris tersebut yang pada medio tahun 1970 salah satunya adalah Romo Diyat atau Romo Soediyat Prawirokoesoemo, di Semarang.

Baca juga:Sejarah Mataram Kuno, Perang Saudara Menyangkut Agama, Renungan dan Refleksi Indonesia ke Depan

Bagi orang Jawa dunia ini mengandung simbolisme dan melalui simbol – simbol inilah manusia Jawa merenungkan kondisi sebagai insan Tuhan dan bagaimana berkomunikasi dengan Tuhannya. Hal ini bisa kita lihat pada serat “Centhini”, jika engkau ingin menembus realitas maka masuklah ke dalam symbol. Ungkapan ini sekaligus menandai agama itu sebuah simbol dan aspek kebatinan Jawa yang disebut kejawen, jelas sebuah keyakinan berdasarkan simbol.

Agama Jawa yang sebetulnya bukan agama tapi sebuah peugeran (petunjuk arah). Memang khas dalam membangun simbol, dimana simbol tersebut perlu dihayati sendiri dengan sungguh sungguh baru akan menemukan kebenaran yang hakiki.

Sekali lagi ditekankan simbol Kejawen bukan agama tapi sebuah “paugeran” atau petunjuk arah dari nilai-nilai tradisi. Kejawen tidak sekadar kultur, melainkan lebih ke arah keyakinan yang intinya pada kebatinan Jawa yang didalam nya sarat akan nilai nilai Jawa, tapi bukan sebuah agama (Prof. Dr. Suwardi Endraswara, agama Jawa, ajaran amalan dan asal usul kejawen).

Bahwa poros dari kejawen adalah mistik, dimana keterkaitan antara kejawen, kebatinan Jawa, mistik tidak bisa dipisahkan yang tujuannya bagaimana ajaran syariat yang berbasis dogma dibuat lebih lentur dengan cara dipadukan dengan budaya Jawa. Manunggaling Kawulo lan Gusti dalam perspektif dari sudut pandang Raden Ngabehi Ronggo Warsito, dimana beliau adalah bergelar  pujangga penutup dari keraton Kasunanan Surakarta.

Bacajuga:Tim Penasihat Hukum Ungkap Fakta, Dana Yasa Otak Investasi Bodong PT DOK

Dalam serat wirid Hidayat jati, yang diteliti oleh Prof. Dr. Simuh, Guru Besar filsafat Universitas Indonesia, diungkapkan bahwa ungkapan-ungkapan dari Ronggo Warsito yang menerangkan kesatuan manusia dengan Tuhan dalam serat wirid Hidayat jati dan penjelasan karya-karya lain dari Ronggo Warsito menunjukkan bahwa konsep Roro Ning tunggal tetap dipertahankan. Dimana dengan konsep ini digambarkan bahwa manusia dan Tuhan merupakan dua hal yang berbeda, tetapi bersatu dalam diri insan Kamil yang telah mencapai Ma’krifatullah.

Keduanya tidak bisa dipisahkan, karena Tuhan adalah dzat yang tidak berwujud, maka rupaku Yo rupamu yang digambarkan pada sedulur tuwo kakang kawah Adi Ari Ari sedulur papat limo pancer. Bahwa konsep tentang Tuhan dalam serat wirid Hidayat jati berbeda dengan ajaran dalam Syariat yang bersumber pada Alquranul Kharim.

Qur’an secara tegas mengajarkan Tuhan sebagai Dzat yang “Transenden” (Berada di luar dan mengatasi dan mengatur alam semesta) sebaliknya dalam serat wirid Hidayat jati mengetengahkan konsepsi tentang Tuhan yang bersifat Imanen, Tuhan digambarkan pada diri manusia. Di samping itu, Qur’an mengajarkan paham tanzih, yang mensucikan Tuhan dari keserupaan dengan makhluknya. Sedangkan Ronggo Warsito dalam seratnya cenderung ke arah paham Tasybih yaitu pembauran antara manusia dan Tuhan.

Bahwa sinkretisasi menjadi ciri menonjol dalam kebatinan Jawa karena pengaruh ajaran Hindu Budha dan bersumber dari para sastrawan serta para Bangsawan dan Raja – Raja Jawa masa lalu. Dengan demikian   konsep Manunggaling Kawulo lan Gusti merupakan suatu peugeran (keyakinan dan petunjuk) bagi para pemerhati penganut  kebatinan Jawa dalam perspektif budaya Jawa, bukan Agama Jawa.

Baca juga:Mental Para Elit dan Penegak Hukum Bobrok, Berakibat Krisis Multidimensi Tiada Ujung

Sebenarnya ajaran Manunggal Kawuloning Gusti adalah cara orang Jawa mempraktekan ilmu tauhid.  Selama ini setiap kali kita membicarakan Manunggaling Kawulo Gusti selalu dihubungkan dengan wahdatul wujud dan hulul, yang kemudian muncul perdebatan panjang yang justru terfokus pada tuduhan bahwa hal itu merupakan doktrin ekstrem yang berkaitan dengan keimanan, yang dianggap murtad dan bid’ah.

Maka ajaran tersebut selalu dilakukan secara diam dan uniknya, gagasan yang diusung oleh Ronggowarsito justru banyak diterima oleh masyarakat Jawa dan jauh dari perdebatan serius karena menyangkut Sirullah (Rahasia Allah) kebenaran mutlak hanyalah milik Allah.

Penulis: Pemerhati Budaya dan Sejarah, tinggal di Jakarta

Berita Terkait