Sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi, Akal Sehat dan Watak Kenegarawan

by Nano Bethan
115 views
Opini

Oleh: Agus Widjajanto

Prof Dr Mahfud MD sendiri pernah menyatakan bahwa bagi yang kalah dalam Pilpres pasti akan menuduh KPU tidak netral, KPU melakukan kecurangan, hal itu biasa bagi kubu yang kalah. Ironisnya, justru sekarang melakukan hal sama dalam pilpres kali ini

TABLOIDDICTUM.COM – Hasil rekapitulasi penghitungan suara nasional Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden dan Wakil Presiden 2024, pasangan Prabowo Subianto  dan Gibran Rakabuming Raka, Nomor  urut 02 memperoleh 58,59 persen suara. Sementara pasangan nomor urut 01, Anis Baswedan -Muhaimin Iskandar memperoleh 24,95 persen  suara dan pasangan nomor urut 03,  Ganjar Pranowo – Mahfud MD  dengan  16,47 persen  suara.

Menyikapi hasil rekapitulasi hasil Pemilu  ini, pasangan yang kalah kemudian mengajukan gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PH PU) Pemilu Presiden (Pilpres) ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena merasa dicurangi.

Dalam gugatan PHPU dan sudah disidangkan, menghadirkan beberapa saksi termasuk saksi ahli. Gugatan PHPU pasangan, Ganjar Pranowo – Mahfud MD, terdaftar dalam perkara Nomor 02/PHPU/PRES XXII/2024 dan pasangan Anis Baswedan – Muhaimin Iskandar terdaftar dalam perkara Nomor 01/PHPU/PRES.XXII/2024.

Dalam petitum gugatan pasangan, Ganjar Pranowo – Mahfud MD, tim kuasa hukum meminta MK untuk membatalkan keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 tentang Hasil Penetapan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, mendiskualifikasi pasangan Prabowo Subianto -Gibran Rakabuming Raka, sebagai pasangan calon peserta Pilpres tahun 2024 serta memerintahkan KPU untuk melakukan pemungutan suara ulang dalam Pemilu secara nasional.

Baca juga: Mental Para Elit dan Penegak Hukum Bobrok, Berakibat Krisis Multidimensi Tiada Ujung

Diketahui, kewenangan MK sesuai Pasal 24C ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,  kewenangan MK dinyatakan dalam frasa memutuskan perselisihan tentang sengketa hasil pemilihan umum, termasuk hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Ahli yang dihadirkan dalam sidang MK dalam sengketa Pilpres, Charles Sambuaga, Ahli Tata Negara  menyatakan, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan ketiga atas Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Kontitusi dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Frasa soal kewenangan Mahkamah kontitusi terhadap perselisihan hasil pemilu (PHPU) itu hilang dan maknanya menjadi lebih luas dan komprehensif.  MK bisa memutus perselisihan antar peserta Pemilu dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengenai proses perolehan suara dalam Pilpres yang tujuannya untuk menyelamatkan demokrasi konstitusional Indonesia.

Menurut pendapat penulis, ahli tersebut berupaya mengambil aliran hukum progresif, tapi ada yang terlupakan dari kata “Untuk menyelamatkan Demokrasi Konstitusional Indonesia”, tidak sesederhana itu untuk melakukan penghitungan suara ulang melalui Pemilu ulang. Pertama, cost yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan pemilu tahun 2024  ini saja sebesar Rp71,3 triliun.

Baca juga: Pancasila Sumber dari Segala Sumber Hukum Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan

Selain itu, pendapat ahli tersebut tidak menjawab beberapa pertanyaan yang muncul antara lain, apakah sudah terbukti adanya pelanggaran secara TSM (Terstruktur, Sistematis, dan Masif) hingga terjadi kecurangan Pemilu ? Perolehan suara pemenang Pilpres dari pasangan 02, Prabowo – Gibran, 58,59 persen, selisih yang sangat jauh  dengan perolehan suara pemohon, 16,47 persen suara secara nasional, dengan kondisi setiap TPS ada saksi – saksi dari partai pengusung pasangan Presiden dan Wakil Presiden, Bawaslu, masyarakat yang turut berpartisipasi serta  ada aparat keamanan, apa mungkin terjadi kecurangan secara TSM?

Pertanyaan lainnya yang mungkin tidak pernah diperhitungkan oleh pihak –  pihak yang berperkara maupun ahli hukum Tata Negara adalah, dengan perolehan suara 58,59 persen  secara nasional, bagaimana situasi psikologis dari pemilih yang telah menggunakan haknya secara konstitusional dalam Pilpres tersebut ?

Belum lagi sesuai hasil penelitian dari Lembaga Survei, ada lebih dari 5 persen suara diam atau silent majority,  yang dalam Pemilu sebelumnya selalu pasif bahkan mungkin tidak pernah menggunakan hak konstitusionalnya untuk memilih alias Golput, tetapi dalam Pilpres kali ini aktif menggunakan hak pilihnya demi kelangsungan demokrasi negara ini.

Suara silent majority, adalah masyarakat yang bebas dari pengaruh asing dan umumnya berpendidikan tinggi serta ekonomi mapan dari kelas menengah ke atas. Bagaimana kelompok ini akan menyikapi apabila dalam putusan MK benar – benar membatalkan hasil rekapitulasi perolehan suara, dan mendiskualifikasi pasangan Prabowo Gibran dan melakukan pemungutan suara ulang?  Ini akan terjadi masalah yang lebih besar dari pada slogan ingin menyelamatkan Demokrasi Konstitusional Indonesia.

Baca juga: Mengapa Konstitusi Mensyaratkan Presiden Harus Orang Indonesia Asli ?

Dalam sengketa di MK disebutkan juga pendaftaran Gibran di KPU pada tanggal 19 Oktober –  25 Oktober 2024, dimana peraturan KPU belum diubah atas putusan MK yang memperbolehkan Gibran untuk mendaftar sebagai Calon Wakil presiden.

Seharusnya dari awal masalah tersebut diselesaikan di Bawaslu atau melalui gugatan di PTUN, bukan setelah hasil rekapitulasi perolehan suara diumumkan secara final dalam real count oleh KPU. Bukankah pada saat  acara debat, bahkan sampai lima kali, dua pasangan lain tidak ada yg keberatan?

Belum lagi jika dikaitkan dengan Bansos dari pemerintah yang membuat pasangan yang menang bisa mencapai suara besar, hal ini adalah pelecehan terhadap partisipasi rakyat, bahwa suara mereka hanya seharga bansos. Inilah sebetulnya mencederai hati nurani rakyat pemilih, seolah-olah begitu melaratnya hingga bisa dibeli hanya lewat bansos.

Hal ini sejatinya justru  merupakan preseden buruk bagi demokrasi mendatang, dimana ternyata tidak ada sifat kenegarawan dari para elit politik  untuk memikirkan kepentingan yang lebih besar yakni demi bangsa dan negara  ini. Yang ada hanya memikirkan bagaimana bisa berkuasa dan tidak bisa menerima suatu kekalahan, jauh dari sifat sesuai ajaran luhur dari para pendiri bangsa, dari para leluhur moyang kita, yang berani berkorban demi tegaknya bangsa ini, tanpa lagi memikirkan jabatan dan pangkat, hingga melahirkan para pahlawan bangsa tanpa tanda jasa.

Baca juga: Agama dan  Budaya Jawa Dalam Konsep Mamunggaling Kawulo Gusti

Prof Dr Mahfud MD sendiri pernah menyatakan bahwa bagi yang kalah dalam Pilpres pasti akan menuduh KPU tidak netral, KPU melakukan kecurangan, hal itu biasa bagi kubu yang kalah. Ironisnya, justru sekarang melakukan hal sama dalam pilpres kali ini tahun 2024.

Sejarah kadang selalu berulang , pada saat Menkopolhukam, Susilo Bambang Yudhoyono dikatakan sebagai Jenderal kecil, oleh Alm. Taufik Kiemas, justru masyarakat kita memilih dia jadi presiden dan mencapai kemenangan. Artinya, begitulah karakteristik budaya masyarakat kita. Semakin seorang di perlakukan menurut pandangan umum tidak pada tempatnya maka  justru semakin didukung untuk naik.

Demikian juga saat debat calon Presiden dan Wakil Presiden, dimana salah satu  pasangan diserang secara personal dan diberi nilai yang tidak lazim, maka justru rakyat akan mendukung penuh karena merasa tidak pada tempatnya bagi budaya kita sebagai masyarakat  Indonesia. Itulah salah satu faktor sebenarnya kekalahan dari pasangan 01 dan 03, yang harus nya bisa jadi bahan introspeksi diri untuk perbaikan bangsa ini kedepan .

Kita semua berharap masih ada akal sehat dari para hakim – hakim yang mulia  di MK, apapun dugaan, tuduhan dan statement yang disampaikan oleh pemohon dalam gugatan sengketa Pilpres saat ini, berikut data, bukti – bukti serta keterangan saksi, baik saksi fakta maupun saksi ahli yang disampaikan oleh para pemohon, demikian juga yang disampaikan oleh pihak termohon intervensi ( Paslon 02) dan segenap bukti tandingan dan keterangan saksi fakta dan saksi ahli yang dihadirkan, pada akhirnya kembali bermuara pada putusan MK untuk memutus sengketa/gugatan PHPU secara Impartial, Obyektif, Holistik dan adil secara hukum. Disinilah watak kenegarawan para hakim Mahkamah Kontitusi di uji.

Mudah mudahan  masih ada watak  kenegarawanan sebagai  hakim dan ahli Tata Negara yang punya visi mendatang yakni demi bangsa, demi demokrasi yang sehat, den Ajembar den Momot, lawan den wengku, den koyo Segoro. Semoga Tuhan selalu beserta kita semua dan selalu melindungi Bangsa ini ****

Penulis adalah Pemerhati Sosial Politik dan Budaya Bangsa

Berita Terkait