“Ana Al Haqq” dalam Perspektif Jalaluddin Rumi, Syech Siti Jenar dan Ronggo Warsito

by Nano Bethan
208 views
Opini

Oleh: Agus Widjajanto

Meskipun pengertian sifat bisa dibedakan dengan Dzat,  namun keduanya  tidak bisa dipisahkan.  Ada madu pasti ada rasa manis, demikian juga hubungan sifat dengan asma Tuhan laksana hubungan matahari dengan sinarnya. Keduanya tidak bisa dipisahkan, dimana ada matahari, ada pula sinarnya yang keduanya tidak bisa dibedakan

DICTUM.COM – Dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di era modern saat ini, orang hanya memandang kehidupan dari sudut pandang sesuai ajaran Dogma, yang statis, telah diatur oleh hukum – hukum. Terlalu banyaknya aturan hokum, baik dalam hukum agama maupun dalam hukum negara, sehingga nyaris melupakan kodratnya, bahwa kehidupan ini  merupakan rangkaian hukum alam antara mikrocosmos dan Makrocosmos. Apa yang ada pada diri kita merupakan bagian dari alam semesta di jagad Raya (Sunatullah) yang merupakan hukum alam.

Banyak ajaran – ajaran luhur di Nusantara ini nyaris punah, digerus jaman. Salah satunya adalah datang atau munculnya  ajaran – ajaran baru, baik secara dogma agama maupun ajaran  filsafat modern, yang menjadikan ajaran ajaran luhur. Merupakan peninggalan para leluhur yang penuh dengan nilai – nilai spiritualis luhur, yang kini  nyaris punah.

Bagi orang Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya, hidup sejatinya adalah sebuah pengabdian dan pencarian. Dimana hakekat pencarian diri selaku hamba yang hidup (Urip) dalam spiritualisme Jawa adalah menemukan “Kayu Gung  susuhing angin”, merupakan upaya menemukan jati diri.

Baca juga: Kabur dari Rumah Sakit dan Berencana Balik ke Rusia Menghindari Jerat Hukum, Anton Simutov Ditangkap di Daerah Sawangan, Kuta

Manakala sudah mampu menemukan susuhing angin di kayu Gung, maka akan mengetahui jati dirinya dan Sangkan Paraning, diri kita. Itulah sebabnya dapat dikatakan Teosofi adalah pandangan yang selalu memuja Tuhan berada dalam diri manusia, dimana Dzat Tuhan yang tidak berbentuk yang diidentifikasi sebagai kekuatan Imanent dan Transenden.

Salah satu ajaran kuno Nusantara yang mulai punah antara lain adalah “Tantra”,  dimana merupakan ajaran kuno dan rahasia yang diajarkan secara terbatas oleh seorang guru Tantra. Suatu ajaran yang diwariskan dan dijalankan secara turun temurun dan hingga kini masih dipraktekkan dalam bilik – bilik rahasia.

Ajaran tersebut bukanlah doktrin atau dogma sebagai mana dalam ajaran – ajaran agama Samawi dan Hindustan, yang dituangkan dalam ayat – ayat suci, diyakini sebagai Wahyu illahi oleh pemeluknya. Tantra adalah kitab kehidupan yang membumi dalam wujud praktek – praktek mistik yang sangat dirahasiakan.

Hingga kini belum ada kitab Tantra dalam bentuk buku, layaknya kitab Weda, Injil, dan Alquran. Tantra lebih merupakan jalan spiritual bukan doktrin agama (I Ketut  Sundika, Tantra ilmu kuno Nusantara).   Sedang ajaran Ronggo Warsito dalam konsep  Ketuhanan dalam dimensi spiritual Tasawuf Jawa, dalam beberapa tulisan menjelaskan tentang persoalan keberadaan Allah sebagai Tuhan penguasa alam semesta.

Baca juga: WN Rusia Terduga Pelaku Rudapaksa WN Belarus Ternyata Terlibat Banyak Kasus Pidana

Menurut Ronggo Warsito, Allah merupakan Dzat Yang Maha Suci, yang Qadim Azali serta abadi. Dia tegak sendiri di alam yang masih kosong,  dan ketika menciptakan mahlukNya maka mahluk tersebut merupakan Tajalli nya Dzat yang Maha suci.

Dimana dalam kesendiriannya diibaratkan Allah sebagai huruf Alif yang disifati dengan wajib Wujud yang maksudnya, keberadaannya tanpa ada yang menciptakan, yang terdapat kaitan yang sangat erat antara Dzat, Sifat, dan Af’,Al (perbuatan). Tuhan, dimana oleh Prof Simuh (1988: 285) memberikan catatan bahwa hubungan antara Dzat dan sifat ditamsilkan laksana hubungan antara madu dan rasa manisnya.

Meskipun pengertian sifat bisa dibedakan dengan Dzat,  namun keduanya  tidak bisa dipisahkan.  Ada madu pasti ada rasa manis, demikian juga hubungan sifat dengan asma Tuhan laksana hubungan matahari dengan sinarnya. Keduanya tidak bisa dipisahkan, dimana ada matahari, ada pula sinarnya yang keduanya tidak bisa dibedakan.

Sedangkan hubungan Asma dengan Af’ Al (perbuatan) ditamsilkan seperti hubungan benda dimuka cermin dengan bayang – bayang yang ada di cermin, gerak bayang – bayang menandakan gerak benda dimuka cermin. Hubungan antara Af’al dengan Dzat diumpamakan oleh Ronggo Warsito, laksana hubungan antara ombak dilautan dengan samuderanya.

Baca juga: Restorative Justice dalam Perspektif Hukum Adat dan Hukum Progresif

Gerak ombak hanyalah mengikuti gerak samudera yang dihempas angin yang merupakan hukum satu kesatuan.   Ronggo Warsito, menyebutnya Manunggaling Kawulo lan  Gusti, yang sebetulnya merupakan manifestasi dari tauhid itu sendiri.

Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti adalah cara orang Jawa mempraktekan ilmu tauhid melalui laku atau tirakat dengan menjalani puasa, menahan tidur, menahan diri dari amarah, menahan bicara dan bukan hanya puasa yang bersifat lapar, tapi puasa terintegrasi dalam istilah modern saat ini, untuk menguatkan Ruh pada diri kita, seperti orang orang sebelum kita.

Sementara dari sudut pandang Sufi dan  filsuf serta pemikir Islam terbesar, Jallaluddin Rumi  dalam bukunya Fihi Ma Fihi, menulis soal menyatunya antara mahluk hamba dengan sang Khaliq (Tuhan). Ucapan yang sangat terkenal oleh Syeck Lemah Abang atau Siti Jenar, “Ana Al Haqq” yang secara harfiah artinya aku adalah Tuhan yang maha benar.

Sebagian orang mengira itu adalah klaim kehebatan diri,  padahal sebaliknya itu adalah ungkapan kerendahan hati yang luar biasa, saat orang menyatakan ” Ana ‘ Abd Al Haqq (aku adalah hamba Tuhan yang maha benar). Ia memastikan adanya dua wujud, yaitu dirinya dan Allah dan mengklaim dia hamba yang paling suci dan benar,

Baca juga: Amicus Curiae, Terobosan Hukum dalam Jagad Peradilan Ditinjau dari Sistem Hukum Peradilan di Indonesia

Sedangkan saat seseorang menyatakan “Ana Al Haqq” ( Aku adalah Tuhan yang Maha benar) maka ia telah meniadakan dirinya dan menyerahkan dirinya kepada angin dan alam semesta, alias kosong (suwung). Ketika Orang yang menyatakan “Ana Al Haqq” berarti menyatakan aku tidak ada, yang ada serta  segalanya adalah Allah, tidak ada wujud kecuali Allah. Aku beserta keseluruhan diriku adalah tiada, dimana aku bukan apa apa.

Disinilah  ada nuansa  kerendahan yang  luar biasa dan ini yang tidak  dipahami banyak orang hingga kini. Dimana ketika seseorang mempersembahkan ibadahnya hanya untuk Allah maka ibadahnya selalu ada (Maujud) masih bisa melihat dirinya, melihat tindakannya , dan melihat Allah, dimana ia belum bisa dan mampu tenggelam dalam Nur Cahaya Allah  secara total.

Pendapat Jalaluddin Rumi tersebut juga  merupakan ungkapan dan pendapat dari syech Siti Jenar, (Syech Abdul Jalil, di Keling Kecamatan Keling Kabupaten Jepara jaman itu   pada medio Abad ke 15) yang saat itu menyatakan “Ana Al Haqq”  yang lalu dipolitisasi dalam sejarah seolah Siti Jenar dihukum mati dengan cara di pancung.

Mustahil bagi para wali untuk membunuh sesama wali Allah, yang ada adalah dimatikan pengaruh ajaran tasawuf-nya dari perspektif Syech Siti Jenar menyangkut Manunggaling Kawulo lan Gusti (menyatunya Hamba dan Tuhan) yang pada jaman itu dipandang masyarakat kita belum siap menerima yang mana ajaran Islam baru masuk dan perlu adanya pengajaran yang sistematis agar tidak timbul masalah baru menyangkut akidah.

Bahwa pemikiran Syech Siti Jenar   juga merupakan  intisari dari perspektif sudut pandang dari  Pujangga besar Sang Ngabehi  Ronggo Warsito menyangkut Manunggaling Kawulo lan Gusti. Syech Siti Jenar (Syech Abdul Jalil)  terdapat beberapa versi terkait asal usulnya. Ada para ahli yang menyebut beliau lahir di Persia pada tahun 1346 H atau 1426 Masehi.

Baca juga: Mental Para Elit dan Penegak Hukum Bobrok, Berakibat Krisis Multidimensi Tiada Ujung

Sementara sumber dari Negara Kertabhumi, Syech Siti Jenar ditulis lahir di Semenanjung Malaka dan ayahnya bernama Syech Datuk Saleh. Sementara literasi lain mengungkap bahwa Syech Siti Jenar merupakan keturunan Cirebon dengan nama Ali  Hasan atau Syech Abdul Jalil, ayahnya bernama Resi Bungsu .

Ia memiliki nama kecil Abdul Hasan bin Abdul Ibrahim dan nama aslinya adalah Sayyid  Hasan Ali Al Husaini, yang mana beliau belajar pada guru tasawuf di Kota Baghdad Irak  yaitu pada Syech Ahmad Al Baghdadi yang mendalami Thorikhot Akmaliyah. Seperti gurunya, dari Bagdad, Irak menuju ke Malaka untuk mengajar, lalu menuju Jawa dan tinggal di desa Keling Jepara.

Ajaran Syech Siti Jenar dianggap kontroversi karena memiliki perbedaan pendapat dengan sejumlah para wali dan tokoh Islam pada saat itu di medio Abad ke 15. Dimana dalam satu pertemuan di istana Argapura, Gresik Jawa timur, Syech Siti Jenar mengemukakan pendapatnya yang sangat terkenal yaitu “Ana Al Haqq”.

Bahwa pemahaman dalam suatu masalah tergantung sudut pandang dari si pemilik. Sebenarnya hampir sama antara sudut pandang Jalaluddin Rumi, Syech Siti Jenar, Syech Abdul Karim Al Jilli  serta Ibnu Taimiyah yang berperan mempopulerkan istilah Wahdatul Wujud yang lalu dikembangkan oleh Hamzah Fansuri yang dikenal kemudian dengan paham Wujudiyah  dan pendapat  pujangga penutup  Ronggo Warsito sendiri.

Dzat, Sifat, Wujud, Makrifat dimana Dzat adalah Kekal tidak berwujud, Sifat yang mempunyai sifat sesuai Asmaul Husna. Wujud yang berarti mewujud pada seluruh Alam semesta pada seluruh Ciptaan nya sesuai hukum alam dan  Makrifat yang arti makna nya kemantapan atau kebenaran atas sesuatu dimana Tuhan Allah tidak pernah salah, dan  hanya yang sudah mengenal pada dirinya yang bisa mengenal Tuhannya ****

Penulis adalah Pemerhati Sosial Budaya dan Sejarah Bangsa-nya

Berita Terkait