Oleh: Agus Widjajanto
Jangan sekali kali melupakan sejarah Bangsamu (Jas Merah), agar kita semua bisa belajar dan bangga atas sejarah nenek moyang kita, sebagai bangsa yang agung dan berbudaya tinggi
DICTUM.COM – Tanpa disadari, kadang kita dininabobokan dengan suatu kisah atau sejarah yang sebetulnya telah dibelokan dan dimanipulasi oleh bangsa lain atau golongan tertentu demi kepentingan politiknya untuk merebut kekuasaaan.
Sejarah diputarbalikkan, dihancurkan agar generasi penerus bangsa tidak lagi mengerti atau memahami sejarah leluhurnya. Ini sudah menjadi fenomena dan terkini yang lagi ramai adalah soal keturunan Ba’alawi, yang dituntut untuk menunjuan nazab melalui kitab nazab dan tes DNA. Hal ini menunjukan fenomena sejarah selalu ditulis oleh sebuah kepentingan yang dalam ilmu sosiologi hukum disebut politik hukum.
Untuk memberikan gambaran yang jelas dan mendudukan sejarah yang sebenarnya, generasi muda harus paham, mengapa seorang Sunan Ampel, Raden Rahmat, di Ampel Denta Surabaya, bisa membangun peradaban baru bercorak Islam ditanah Jawa dalam kekuasaan Sebuah Negara atau Kerajaan Besar yang bernama Majapahit yang bercorak Hindu Budha,
Dimana sejak abad ke-7 M, ke-9M sampai Abad ke-12 M, mengalami kegagalan tidak mampu masuk dan berkembang di tanah Jawa. Saat itu, di tanah Jawa sudah kampium kebudayaannya, adi luhung sangat maju. Sunan sendiri berasal dari kata sesuhunan dalam bahasa Jawa yang artinya ketua agama atau raja merangkap kepala agama.
Baca juga: Ana Al Haqq dalam Perspektif Jalaluddin Rumi, Syech Siti Jenar dan Ronggo Warsito
Untuk bisa melihat berbagai sudut pandang, atas pertanyaan diatas, maka harus ditelusuri dari sejarah lahir dan berasal dari mana serta keturunan siapa Sunan Ampel. Raden Rahmat atau sunan Ampel lahir di Campha, sebuah wilayah kerajaan di Vietnam bagian selatan yang berbatasan dengan Kamboja, pada tahun 1401 Masehi.
Bersama kakek dan kedua orang tuanya, Raden Rahmat berlayar dari Champa ke Jawa, untuk mencari silsilah keturunan nenek buyutnya yang berasal dari Jawa. Sekaligus ingin menyebarkan agama diwilayah yang menurut catatan sejarah dikaruniai tanah yang subur dan makmur.
Setelah tujuh tahun mendaratnya Panglima angkatan laut Tiongkok yaitu Laksamana Cheng Ho dari dinasti Ming di Semarang pada tahun 1405 M, rombongan Raden Rahmat Sunan Ampel mendarat di Lasem, Jawa Tengah. Ibundanya meninggal karena sakit dan dimakamkan di atas bukit yang dikenal dengan nama Putri Campa.
Dari keturunan Rosullullah Nabi Muhammad SAW, Raden Rahmat adalah putra dari Sayyid Ibrahim Asmaraqondi, yang meninggal karena sakit di Desa Palang, Tuban, Jawa Timur. Sedangkan Ibrahim Asmaraqondi anak dari Sayyid Jumadil Kubro, apabila dirunut lagi keatas, Syech Jumadil Kubro anak dari Sayyid Mahmud, yang punya ayah Sayyid Zainul Ichshan.
Baca juga: Kabur dari Rumah Sakit dan Berencana Balik ke Rusia Menghindari Jerat Hukum, Anton Simutov Ditangkap di Daerah Sawangan, Kuta
Sayyid Zainul Ichshan adalah anak dari Sayyid Zainul Abidin yang merupakan satu – satunya keturunan Rosullullah. Saat itu sedang sakit dan masih berumur 7 tahun, ketika peristiwa pembunuhan di kota Karbala Irak, yang dikenal dan diperingati sebagai hari Azzura (yang oleh orang Jawa karena lidahnya beda lafal menjadi bulan Suro).
Diselamatkan oleh salah seorang pengawal bapaknya, ke jalan jalur sutera, dari Irak hingga India, tiba menetap di Kota Sanarkhan di Uzbekistan dan Sayyid Zainul Abidin ini adalah putra dari Sayidina Husain , yang mempunyai ibu Fatimah Az-Zahra, yang merupakan putri dari Rosullullah, Nabi Muhammad SAW. Sedangkan dari jalur ibu , sunan Ampel Raden Rahmat adalah keturunan dari Raja Kerajaan Champa, yaitu raja Che Bong Nga, yang memeluk Islam yang memerintah pada tahun 1360 hingga 1390.
Sebelum Islam datang dari wilayah Usbekhistan, Kerajaan Champa adalah kerajaan yang bercorak dan beragama resmi Hindu Budha. Saat masih bercorak Hindu Budha, kerajaan Champa adalah bawahan dan masih dalam pengaruh kekuasaan Kerajaan Singosari dengan Raja yang bernama Kertanegara.
Dalam ambisinya melakukan ekspansi kekuasaan untuk menyatukan Nusantara saat itu, disamping melakukan ekspedisi Pamalayu, di Semenanjung Malaka, Raja Kertanegara mengirim adik kandung nya untuk dijadikan istri dari Raja Singawarman ke-III, yaitu Ratu Tapasi yang merupakan Ratu dari Kerajaan Singosari. Dari keturunan Raja Singawarman dan Ratu Tapasi ini melahirkan keturunan sampai pada ibundanya Sunan Ampel atau Raden Rahmat.
Baca juga: Restorative Justice dalam Perspektif Hukum Adat dan Hukum Progresif
Pada saat Raden Rahmat Sunan Ampel datang ke Majapahit yang kebetulan, istri permaisuri dari Raja Brawijaya Kertabumi ke-V, Ratu Dwarawati adalahb tantenya. Ratu Dwarawati adalah putri persembahan dari kerajaan Campha, oleh Raja Brawijaya Kertabumi ke-V dianggap bahwa Raden Rahmat adalah masih keluarga kerajaan Majapahit, disamping keponakan Ratu Dwarawati, juga masih keturunan dan darah dari Kerajaan Singosari yaitu dari Ratu Tapasi, adik kandung dari Raja Kertanegara (KH Agus Sunyoto).
Disinilah sebetul nya adanya keputusan politik hukum dari Brawijaya Kertabumi, Raja Majapahit, memberikan Raden Rahmat tanah di Ampel Denta (sekarang di masjid Agung Ampel Surabaya) untuk mendirikan pondok pesantren dan masjid, diijinkan melakukan penyebaran agama pada saat itu. Ini karena faktor kedekatan yang dianggap keluarga Raja dari kerajaan Majapahit.
Tidak heran apabila dalam literatur sejarah berdirinya masjid Demak dan penyerbuan pada keraton Majapahit saat itu oleh Demak, posisi Sunan Ampel Raden Rahmat sudah tiada atau wafat, karena memang masih kerabat Raja brawijaya Kertabumi, keponakan dari permaisuri Ratu Dwarawati.
Dari sinilah Islam bisa masuk ke pusat pemerintahan dan daerah pinggiran Surabaya dan Gresik saat itu untuk membentuk sebuah peradaban baru dan dilanjutkan oleh anak – anak dan muridnya, yaitu Sunan Bonang dan Sunan Drajat serta Sunan Giri, yang masih keturunan kerajaan Belambangan di Banyuwangi, yang juga merupakan keturunan dan darah dari Ratu Tapasi adil dari Raja Kertanegara.
Baca juga: WN Rusia Terduga Pelaku Rudapaksa WN Belarus Ternyata Terlibat Banyak Kasus Pidana
Peradaban ini terus berkembang melalui generasi ketiga yaitu, Sunan Kali Jaga, Raden Sahid anak dari Adipati Tuban Wilatikta dan berlanjut pada generasi ke empat dan kelima. Sebagai bagian yang tidak terpisahkan antara wali pada generasi pertama yaitu Sunan Ampel hingga genersi kedua, anak anak beliau sampai generasi kelima, selalu dengan cara membumi. Mengandeng adat istiadat setempat dalam melakukan dakwah dan tata cara seremonial keagamaan, hingga melakukan pengajaran tasawuf yang tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Hindu Budha.
Dimana cara berdakwah menggunakan media tembang mocopat, kisah pewayangan digunakan sebagai versi akidah dalam Islam, menjadikan menara masjid berasal dari Pure Hindu. Disinilah sebenarnya kehebatan pola pikir para Wali jaman itu, yang wawasannya bisa menjangkau jaman hingga ke generasi milenial pada abad ke-21 ini.
Kita seharusnya malu dan belajar dari sifat kenegarawanan dan sifat Ke Brahmanawan dari para wali wali tersebut yang dikenal dengan nama Wali Songo atau Wali Sembilan walau sebetulnya terdiri dari lintas generasi. Keturunan dari para Wali Songo tersebut berasimilasi dan berbaur dengan masyarakat yang turun temurunnya mendirikan pondok pondok pesantren di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Jangan sekali kali melupakan sejarah Bangsamu (Jas Merah), agar kita semua bisa belajar dan bangga atas sejarah nenek moyang kita, sebagai bangsa yang agung dan berbudaya tinggi ****
Penulis adalah Praktisi hukum, Pemerhati Politik , Budaya dan Sejarah