Peradaban Bangsa LeMuria, Agama Kapitayan, dan Perspektif Sejarah serta Datangnya Agama Besar di Nusantara

by Nano Bethan
278 views
opini

Oleh : Agus Widjajanto

 DICTUM.COM – Membicarakan agama dan kepercayaan di Nusantara, khusus nya Jawa, yang sudah ada ribuan tahun sebelum datang nya agama – agama besar, baik dari Agama  Samawi maupun dari Hindustan India, tidak bisa dilepaskan akan sejarah dari bangsa ini. Diyakini para ahli disekitar ribuan pulau di Nusantara ini pernah ada benua yang hilang, yang tenggelam karena mencairnya Es di kutub Utara.  Berakibat, dunia mengalami banjir besar, dimana daratan menjadi terpisah dan membentuk pulau – pulau.

Ada pendapat dari peneliti Inggris, Stephen Open Heimer tahun 1998 menyatakan, daratan tersebut  dulu disebut Sunda Land  atau Benua Sunda. Dimana antara Sumatera, Jawa, Bali, Nusa tenggara Barat dan Timur serta  Kalimantan merupakan satu hamparan daratan  yang saat itu kosong karena tenggelamnya Benua yang hilang. Kemudian  terjadi migrasi besar – besaran dari Utara ke Selatan dan mendiami pulau pulau di Nusantara ini.

Apabila dikaitkan dengan Firman Tuhan dalam Kitab Kitab Suci agama Samawi mungkin berkaitan saat banjir Bandang Nabi Nuh. Bahwa sebelum ada Bangsa di Nusantara, telah ada suatu Bangsa yang sangat tinggi peradaban dan budaya serta penguasaan teknologi,  saat itu, disebut Bangsa LeMuria.

Baca juga: Ana Al Haqq dalam Perspektif Jalaluddin Rumi, Syech Siti Jenar dan Ronggo Warsito

Konon merupakan bangsa yang ada sebelum Bangsa Atlantis, yang oleh para ahli, berkaitan dengan wilayah disekitar Gunung Muria di Kudus  Jawa Tengah, yang merupakan pusat peradaban diperkirakan sekitar 75 000. – 11 000 Sebelum Masehi.

Para ahli meyakini, berdasarkan penelitian geologi, ada daratan yang bernama “Argolen”, sebutan atas benua besar yang terpisah dari Australia Barat dan menghilang. Merupakan satu misteri terbesar di Dunia Geologi yang akhirnya sedikit terpecahkan. Argolen,  benua yang hilang yang menjadi kunci untuk menjelaskan asal usul keanekaragaman Fauna di Indonesia.

Artinya, Indonesia dulu bukan merupakan negara kepulauan tapi sebuah daratan Benua besar yang terpecah karena pergeseran lempeng bumi dan adanya banjir besar karena mencairnya Kutub Utara. Ini siklus ribuan tahun yang diyakini akan kembali terjadi karena merupakan hukum alam.

LeMuria sendiri adalah benua hopotetis yang diusulkan oleh ahli Zoologi, Philip Sclaters pada tahun 1864 yang berteori, tenggelamnya sebuah benua dibawah Samudera Hindia. Teori ini kemudian  diambil alih dan dijabarkan oleh ahli Okultis dengan  Teorinya asal usul manusia. Begitulah gambaran yang jelas, tentang kondisi sebelum negeri ini terpecah menjadi ribuan pulau – pulau .

Baca juga: Menelisik Sejarah Sunan Ampel Membangun Peradaban Islam di Jaman Kerajaan Majapahit yang Bercorak Hindu

Terkait  agama dan kepercayaan dari orang – orang Nusantara pada umumnya dan Jawa khususnya, telah disepakati oleh para sejarawan dan para ahli  sosiologi  bahwa pada jaman kuno masyarakat Jawa menganut kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Padahal, yang terjadi sesungguhnya dari kepercayaan ini adalah,  masyarakat Jawa saat itu telah memiliki kepercayaan akan adanya kekuatan yang bersifat tak terlihat (Ghaib) yang sangat besar dan menakjubkan.

Dalam perkembangannya, agama orang Jawa tersebut disebut agama “Kapitayan” yaitu agama kuno yang diyakini oleh orang Jawa sebelum datang atau masuknya agama Hindu dan Budha dari tanah Hindustan India  pada abad ke-2 Masehi. Dengan adanya kerajaan tertua pertama di pulau Syang Yang Sirah ( kepala) Yaitu Kerajaan SalakaNagara.

Diujung kulon lalu bergeser ke timur di Priangan dengan nama Taruma Nagara. Tuhan agama Kapitayan sendiri disebut “Sang Hyang Taya” yang mana Taya sendiri bermakna kosong atau suwung, Awang – awung, kesunyatan. Dalam agama – agama besar dari Samawi disebut Tuhan Allah, yang berdiri sendiri tanpa wujud yang merupakan Dzat yang Esa.

Kekuasaannya meliputi seluruh alam semesta, dimana sesungguhnya mempunyai makna yang hampir sama. Bedanya dari agama besar, Islam, Kristen, ditulis dalam Kitab suci secara Dogmatis  sedang agama Jawa kuno Kapitayan merupakan ajaran leluhur yang turun temurun tanpa dibukukan dalam sebuah Kitab yang dianggap firman Illahi.

Baca juga: Restorative Justice dalam Perspektif Hukum Adat dan Hukum Progresif

Pembawa dan penyebar Agama Kapitayan menurut keyakinan para penganut nya adalah Dang Hyang Semar, keturunan dari Sang Hyang Ismoyo (Semar), nabinya orang Jawa dari jaman Jawa kuno dan diyakini sampai saat ini,   yang berasal dari bangsa LeMuria yang dulu berdiri dan bersemayam dipusat pemerintahan di Jawa disekitar gunung Muria hingga gunung Lawu di Jawa tengah.

Secara Etimologi, kata Kapitayan merupakan istilah berasal dari Jawa kuno yang memiliki kata dasar “Taya” (Huruf Caraka kuno) yang berarti tak terbayangkan tak terlihat dan mutlak benar. Harus bisa dipahami dan dimengerti, bahwa Bangsa ini mempunyai peradaban yang agung dan besar sebelum datangnya agama – agama besar di dunia modern saat ini.

Hanya saja, karena sifat dari orang – orang Nusantara khususnya Jawa,  selalu bisa menerima hal – hal baru dan dipadukan dengan hal – hal lama, termasuk dalam hal agama dan kepercayaan. Tidak mengherankan mengapa Islam bisa diterima dan berkembang begitu cepat pasca Sunan Ampel Raden Rahmatullah, dianggap keluarga oleh Raja Brawijaya ke-V, ada darah Singosari dari  jalur keturunan ibundanya.

Baca juga: Disergap Saat Berupaya Memeras Pengusaha, Bendesa Adat Berawa, Ketut Riana Terancam 20 Tahun Penjara

Ini karena ajaran agama Samawi tersebut sama dan identik dengan Tuhan dalam agama Kapitayan, Tuhan tidak terlihat dan mempunyai kekuasaan sangat besar. Digambarkan dengan suwung atau kosong penuh kesunyatan sehingga tidak mengherankan bahwa orang orang penganut Kejawen selalu mencari suwung atau susuhing angin (rumah angin) agar bisa mengenal Tuhan yang Esa.

Kemudian  dijabarkan dengan penemuan Manunggaling Kawulo lan Gusti, dalam perspektif tasawuf Jawa oleh Syech Abdul Jalil atau Siti Jenar dan Ronggo Warsito. Merupakan perpaduan antara agama Jawa kuno berdasarkan ajaran Tutur Tinular dari leluhur secara turun temurun dengan ajaran sesuai kitab Suci dalam agama Islam.

Walaupun sesungguhnya kejawen sendiri tidak hanya bagi pemeluk agama Islam saja tapi ada juga Kristen Kejawen, Budha dan Hindu Kejawen. Hanya saja, sudah terlanjur identik dengan Islam Kejawen karena mayoritas dalam masyarakat Jawa saat ini adalah memeluk agama Islam.

Tuhan dari Agama kuno Jawa Kapitayan  adalah Syang Hyang Taya , yang orang Jawa mendefinisikan dalam satu kalimat “Tan Keno Kinoyo Ngopo”,  yang artinya tidak bisa digambarkan seperti apa yang bersifat Ghaib atau tidak terlihat tapi dirasakan setiap kehadirannya. Maka tidak heran karena antara Tuhan Allah dalam Alquranul kharim punya makna yang sama dengan Tuhan menurut Agama Jawa kuno Kapitayan. Dengan demikian, wajar apabila perkembangannya sangat pesat dan cepat di Nusantara ini khusus nya Jawa.

Baca juga: Pasca OTT Bendesa Adat Berawa, Penyidik Kejati Bali Panggil Pejabat Pemda Badung Diperiksa Sebagai Saksi

Apabila dikaitkan dengan gama Kapitayan dengan agama Budi, seperti yang diramalkan dalam Ramalan Jawa baya, akan datangnya Agama Budi bersenjatakan Trisula Weda, akan menagih janji sesuai perjanjian Sabdo Palon Noyogenggong dengan syech Subakir ditanah Jawa.

Bisa dijelaskan disini, yang mempunyai makna, segala tindakan kita dalam ibadah yang bersifat Mu’amallah, harus manunggal atau satu antara hati, ucapan dan tindakan manusia yang harus berbudi luhur sesuai ajaran ajaran luhur. Digambarkan sebagai sebuah pusaka atau senjata Trisula Wedha. Yang bisa menyelamatkan manusia .

Kadang di jaman modern ini, manusia hanya menonjolkan Akidah dan Ritual ibadah seperti Sholat, puasa, zakat, haji,  akan tetapi tidak ditransformasikan akidah –  akidah tersebut dalam tindakan nyata dalam kehidupan sehari – hari dalam masyarakat (Mu’amllah).

Itu yang kerap menjadikan kita sebagai manusia yang gagal paham dalam memahami sebuah ibadah secara utuh. Lebih miris lagi,  terjadi fenomena  bahwa bangsa ini dulu bangsa penyembah berhala, yang apabila tidak datang agama – agama besar samawi maka bangsa ini tetap akan jadi bangsa penyembah animisme dinamisme.

Hal ini karena kekerdilan cara berpikir dan tidak tahu secara utuh sejarah masa lalu bangsa ini . Sebuah bangsa yang mempunyai peradaban yang sangat besar dimana dibelahan dunia lain masih primitif, Bangsa di tanah Nusantara ini sudah berbudaya tinggi dan mempunyai peradapan yang sangat luar biasa ****

Penulis, Pemerhati Sosial Budaya dan Sejarah

Berita Terkait