Dua WN Amerika Serikat Pukul Pecalang, Ni Luh Jelantik Tegaskan, Walaupun Ada Perdamaian Proses Hukum Tetap Jalan

by Nano Bethan
142 views
DPD Bali

DENPASAR, DICTUM.COM  – Sudah sebulan kasus pemukulan terhadap, I Made Suarsadana,   seorang pecalang di Kuta, Badung, oleh dua Warga Negara (WN) Amerika Serikat, Aabed Attia dan Seyad Ahmed Attia, belum ada kejelasannya.

Sejak dilaporkan di Polsek Kuta, laporan LP/B/ 55 /IV/ 2024.SPKT/POLSEK KUTA/ POLRESTA DENPASAR/POLDA BALI, Tanggal 22 April 2024, sampai hari ini perkembangan kasus ini baru sebatas pengiriman Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari penyidik Polsek Kuta  kepada Kejaksaan Negeri (Kejari) Badung.

Informasi yang diperoleh, pihak pelaku saat ini berupaya menawarkan perdamaian dengan memberikan kompensasi  kepada  korban.    Terkait dengan upaya damai ini,  anggota DPD terpilih periode 2024-2029 Ni Luh Jelantik berharap, proses hukum tetap dilanjutkan walaupun ada perdamaian. Salah satu tokoh perempuan Bali ini mengatakan, kasus ini sudah banyak mendapat perhatian publik Bali.

Baca juga: Dua WN Amerika Serikat Pukul Pecalang, Damai Harus Berdampak Positif Kepada Desa Adat

Menurutnya, masyarakat Bali bersimpati kepada pecalang atau korban penganiayaan.  “Kalau sampai ada luka, sampai robek dan segala macam, masyarakat Bali atensinya sangat besar dan mendorong korban untuk menempuh jalur hukum. Jadi, misalnya si Bapak (korban, red) atau manajer memaafkan, tapi kasusnya harus   dilanjutkan, apalagi sudah ada SPDP yang dikirim ke kejaksaan,” ungkap Ni Luh Jelantik.

Menurutnya, proses hukum harus tetap berlanjut untuk menunjukan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan dari pihak penegak hukum. “Jadi, yang saya lihat ada semeton kita luka parah dan kita semua minta pertanggungjawaban dari pelaku,” lanjut Ni Luh Jelantik yang  diawal menegaskan  agar Bali jangan menerima turis sampah, kelas sandal jepit karena hanya membuat Bali rusak. Dia juga mengecam aksi brutal kedua WN Amerika Serikat terhadap seorang pecalang  dengan mengatakan, aksi tersebut sangat kejam dan tidak berperi kemanusiaan.

Sebelumnya, upaya damai dan dihentikan proses hukum atas dua WN Amerika tersebut, Petajuh Bendesa Agung Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali, Made Wena menyatakan jika kasus tersebut diakhiri dengan perdamaian tanpa efek jera, tanpa efek positif kepada publik dan tanpa efek positif kepada adat Bali.

Baca juga: WN Belarus, Korban Rudapaksa dan Penganiayaan Menolak Damai dan Minta Pelaku WN Rusia Dihukum Agar Tidak Ada Korban Lain

Menurutnya, Perdamaian itu tidak sekedar meterai, salaman dan sejumlah hal lainnya. Tetapi harus menimbulkan dampak positif kepada publik. Dampak positif kepada desa adat di Bali. Ini berlaku untuk seluruh Bali, jangan sampai kalau hanya dengan damai akan terjadi kepada pihak lain lagi.

Dikatakan, kalau mau damai maka sejumlah syarat harus dipenuhi, bukan hanya sekedar ganti rugi, biaya rumah sakit dan sebagainya. Ada banyak persyaratan yang harus dipenuhi diantaranya adalah sejauh mana pelaku bertanggung jawab atas kesalahannya, bukan hanya kepada korban yang sakit dan sampai masuk rumah sakit tetapi kepada seluruh warga masyarakat yang ada di Bali. Lebih spesifik kepada desa adat, tempat dimana kasus itu terjadi, masyarakat yang merasa terganggu dengan ulah pelaku. MDA Bali tidak ingin jika hal yang sama terjadi lagi di Bali, terulang kepada korban lainnya.

Selain itu menurut Made Wena,  perdamaian itu harus berdampak positif bagi semua orang, berdampak positif secara adat Bali. Kalau tidak bisa memenuhi syarat ini untuk apa kita harus berdamai. Jangan sampai diproses hukum secara diam diam, penjara satu atau dua bulan hilang kasusnya.

Baca juga: WN Rusia Terduga Pelaku Rudapaksa WN Belarus Ternyata Terlibat Banyak Kasus Pidana

Dikatakan, seorang pecalang itu bukan hanya menjadi pengaman upacara adat. Dia juga sudah menjadi mitra kepolisian di tengah masyarakat, di Bali dikenal dengan Bakamda. Bila tidak sedang ada upacara maka seorang pecalang akan bertindak sebagai Bakamda. Korban adalah bagian dari pengamanan urusan penertiban, bagian dari desa adat, yang dalam konteks Desa Adat Seminyak bisa disebut dengan Panrepi.

Korban adalah Bakamda Desa Adat Seminyak. Bakamda ini sudah dikukuhkan oleh Kapolri sebagai mitra kepolisian di tengah masyarakat. Korban bertindak di samping sebagai warga adat, juga sebagai mitra kepolisian, untuk melakukan tugas-tugas preventif kepolisian di masyarakat adat. Dia memiliki kewenangan terbatas dari tugas kepolisian. Jadi, dalam konteks ini, ketika bule pukul pecalang maka dia sama dengan pukul kepolisian di Bali.  NAN

Berita Terkait