JAKARTA, DICTUM.COM – Praktisi hukum dan Pemerhati Sosial Politik dan Budaya Indonesia, Agus Widjajanto, SH.,MH mengatakan, para petinggi hukum di Indonesia saat ini memerlukan Punakawan dalam memberantas mafia peradilan dan mafia tanah. Hal ini disampaikan Widjajanto saat menjadi pembicara dalam dialog terbuka di Media Center Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) DPR RI, Senayan, Jakarta.
Isu yang dibahas soal pemberantasan mafia tanah dengan tajuk ‘Mengawal Instruksi Jokowi ‘Gebuk Mafia Tanah’. Dalam diskusi tersebut, Widjajanto menegaskan, antara mafia peradilan dengan mafia tanah saling terkait. Dimana mafia tersebut tidak bekerja sendiri tapi bekerja secara kolektif. Bahkan acapkali melibatkan banyak pihak. Dari tingkat RT/RW, Kepala Desa, PPAT, seksi pendaftaran tanah di BPN hingga kalangan pengusaha.
“Akan tetapi, rantai mafia tanah sampai tingkat bawah ini sebenarnya tidak bisa bermain jika pihak BPN tegas dan bersih dalam menjalankan Juklak Standar Operation Pelaksanaan (SOP). Sampai disini, kami berharap persoalan tersebut saat ini menjadi perhatian pada saat Menteri ATR/BPN, Agus Harimurti Yudhoyono,” ujarnya.
Baca juga: Peluncuran Buku Membangun Karakter Anak Bangsa Melalui Pemahaman Falsafah Leluhur dan Nilai Pancasila, Bentuk Keprihatinan sebagai Anak Bangsa
Terkait mafia tanah menurutnya, hal yang harus dilakukan adalah penelitian lapangan. Apakah obyek sengketa telah diduduki pihak lain atau masih kosong. Dimana proses tersebut harus dilalui sebelum diterbitkannya sertifikat oleh BPN dan apakah obyek tanah adat atau status tanah tanah negara yang harus ada pemanfaatan lahan agar tidak terlantar.
Apabila obyek sengketa atau terjadi sengketa dibawa ke ranah hukum maka sesuai aturan pihak BPN tidak diperbolehkan menerbitkan alas hak apapun kepada para pihak. “Dalam konteks gugat-menggugat, peran peradilan dari tingkat pertama, banding hingga kasasi di Mahkamah Agung juga berperan penting dalam melihat persoalan. Berikut tentunya bukti dan saksi yang terungkap di persidangan. Berlaku demikian karena lembaga peradilan oleh banyak pihak juga disebut-sebut turut andil dalam peristiwa terjadinya praktik mafia tanah,” katanya.
Ia menegaskan, saat ini, jika ada pihak yang menyatakan kondisi penegakan hukum di bidang peradilan Indonesia baik baik saja adalah pernyataan bohong. Sebab dalam kenyataannya tidak baik-baik saja. Bahkan oleh sebagian pihak masuk dalam kategori buruk yang pernah ada.
“Contoh konkrit, dalam kasus sengketa lahan, pihak BPN di sebuah kabupaten di Selatan Jakarta ditarik sebagai para pihak dalam perkara. Anehnya lagi, pihak tersebut bisa menerbitkan sertifikat pada masa proses persidangan dengan acara duplik dan replik,” ujarnya.
Baca juga: Pergeseran Nilai Menyangkut Kehidupan Berbagai Aspek dan Pendidikan di Negeri Ini
Pada saat acara pembuktian para pihak, sertifikat yang diterbitkan BPN kabupaten tersebut, diajukan bukti dengan tenggang waktu mingguan sejak diterbitkan sertifikat. Karena bukti tersebut diajukan dan diterbitkan pada masa proses dalam persidangan yudex facty tingkat pertama tidak mempertimbangkan bukti tersebut.
Anehnya lagi, di tingkat Mahkamah Agung justru jadi pertimbangan hukum Hakim Agung menjadi bukti sah. Sedangkan status tanahnya adalah tanah negara yang secara undang – undang yang paling sah mengajukan sertifikat adalah yang menduduki yang menggarap dan mengelola serta yang menguasai lahan, bukan yang mengajukan secara administratif saat proses persidangan berlangsung.
“Dari sinilah kita bisa menilai betapa memprihatinkannya kualitas, kapabilitas dan kredibilitas penegak hukum kita di bidang peradilan. Dengan membuat pertimbangan hukum dalam putusan cuma dua halaman dan tidak menjelaskan secara komprehensif antara kasus yang disengketakan dengan peraturan perundangan yang berlaku serta peraturan pemerintah serta hukum adat setempat,” ujarnya.
Dengan kondisi tersebut, maka harus jujur dikatakan bahwa Indonesia mendambakan penegakan hukum seperti saat Orde Baru berkuasa. Dimana tahun 1981 mengangkat pejabat lembaga hukum yang saat itu dikenal dengan punakawan dalam tokoh pewayangan dalam penegakan hukum.
Baca juga: WN Belarus, Korban Rudapaksa dan Penganiayaan Menolak Damai dan Minta Pelaku WN Rusia Dihukum Agar Tidak Ada Korban Lain
Saat itu, Presiden Soeharto mengangkat Mudjono, menjadi Ketua Mahkamah Agung menggantikan Oemar Seno Adji yang pensiun. Mudjono dikenal dengan sebutan Semar. Selain Semar, Ali Said SH yang lama jadi Jaksa Agung diangkat menjadi Menteri Kehakiman dikenal dengan Petruk. Sementara Gareng ‘dilekatkan’ ke Ismail Saleh yang diangkat jadi Jaksa Agung.
Media saat itu menyebut penegakan hukum cukup bersih dan adil. Padahal ketiga tokoh punakawan hukum tersebut bukan alumni hukum dari universitas ternama seperti UI, Unpad, Undip dan Unair. Akan tetapi mereka alumni dari sekolah tinggi hukum militer yang dulu jurusan hukumnya masih dipandang sebelah mata. “Nyatanya, punakawan penegakan hukum bisa dan mampu menunjukan nyali dan kualitasnya sebagai nahkoda lembaga penegak hukum yang kredibilitasnya diakui terbaik hingga saat ini,” ujarnya.
Dalam masa itu, betapa rinci dan runut pertimbangan hakim dari tingkat pertama. Tidak perlu muluk muluk dari pertimbangan hakim di Mahkamah Agung yang bisa mencapai puluhan halaman. Maka tidak heran putusannya dianggap brilian karena mendudukkan keadilan sebagai acuan dan yurisprudensi Mahkamah Agung.
Menurut Widjajanto, ada tiga hal persoalan pada wajah penegakan hukum peradilan. Pertama, terjadinya pergeseran moral dimana dengan gaya hidup dan tuntutan hidup yang pada gilirannya mengubah orientasi hukum menjadi komoditas bisnis.
Kedua, proses perekrutannya harus kembali meniru dan mengadopsi cara Orde Baru, dimana hakim dalam proses penerimaan benar-benar bersih. Sehingga manakala menangani permasalahan, putusan-putusannya berkeyakinan karena meletakkan hukum sebagai mahkota atau panglima-nya. Proses rekrutmen dipantau benar dan jika memenuhi kriteria diangkat jadi hakim tinggi dan terus ke atas.
Baca juga: Restorative Justice dalam Perspektif Hukum Adat dan Hukum Progresif
Demikian juga terhadap Hakim Agung, memilih dari bawah dari hakim karir agar pada jiwa mereka, para hakim di tingkat pertama, ada semangat untuk membuat putusan yang brilian dan terobosan hukum demi keadilan. Karena ada harapan dijadikan barometer agar bisa naik jenjang menjadi Hakim Agung yang merupakan puncak dari karier seorang juris di Indonesia.
Sementara jika proses rekrutmen hakim agung dari kalangan akademisi, secara psikologis kerap memunculkan kecemburuan yang berakibat mematahkan semangat berkarier dari hakim – hakim tingkat bawah untuk membuat putusan sebagai mahkotanya hakim yang terbaik.
Kebijakan merekrut hakim dari luar hakim karier juga menimbulkan sikap apatis asal putus karena harapan untuk mencapai karir tertinggi jadi hakim agung kerap ditentukan berbagai aspek, termasuk salah satunya yang menjadi rahasia publik adalah aspek politis.
Ketiga, menaikan tunjangan dan gaji khusus di lembaga peradilan. Setidaknya sebagai upaya agar tidak terkontaminasi, diiming – imingi sesuatu dalam bentuk materi untuk dirayu membuat sebuah putusan yang jauh dari rasa keadilan. Ini sekaligus agar mereka tenang karena tanggung jawab bukan hanya pada negara, tapi juga pada Tuhan Yang Maha Esa dan masyarakat.
“Semoga pada masa kabinet presiden selanjutnya bisa jadi pertimbangan agar bisa introspeksi diri dan mencontoh pak Harto dalam mengangkat para petinggi lembaga peradilan. Sebab contoh yang paling utama adalah dari perilaku pimpinan kepada bawahan,” pungkas Agus Widjajanto. NAN