Sejarah Kelam Sistem Khilafah dan Latar Belakang Berdirinya NKRI dari Perspektif Sejarah

by Nano Bethan
103 views
Opini

Oleh: Agus Widjajanto

DICTUM.COM – BANYAK kalangan di tanah air terutama oleh saudara-saudara kita yang berpandangan bahwa khilafah sistem pemerintahan merupakan sistem yang akan memberikan keadilan dan kemakmuran bersama. Tidak terkecuali jika diterapkan di Indonesia, mereka berkeyakinan akan memberikan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Khilafah sendiri adalah sebuah gerakan keagamaan yang dipahami sebagai konsep tentang kenegaraan yang berdasarkan syariat Islam dan pemimpinnya disebut Khalifah. Namun harus diingat, bahwa Negara Indonesia memiliki keragaman latar belakang agama.

Satu hal yang penting pula bahwa telah disepakati bersama bahwa konstitusi kita adalah UUD 1945 dan Pancasila oleh pendiri bangsa. Mendirikan negara khilafah menjadi sesuatu yang tidak realistis dan tidak mungkin dilakukan di Indonesia. Karena apa? Bertentangan dengan konstitusi, UUD 1945 dan Pancasila.

Dalam bahasa sederhana, saya bisa simpulkan bahwa penolakan terhadap paham khilafah merupakan bagian tak terpisahkan dalam upaya menjaga dan merawat seluruh warga negara agar taat konstitusi. Mengingatkan kembali bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah hasil perjanjian luhur kebangsaan di antara anak bangsa pendiri negara ini. NKRI dibentuk guna mewadahi segenap elemen bangsa yang sangat majemuk dalam hal suku, bahasa, budaya dan agama.

Baca juga: Berantas Mafia Peradilan dan Mafia Tanah, Perlu Punakawan Petinggi Hukum Indonesia

Sebab itu sudah menjadi kewajiban semua elemen bangsa untuk mempertahankan dan memperkuat keutuhan NKRI. Setiap jalan dan upaya munculnya gerakan – gerakan yang mengancam keutuhan NKRI wajib ditangkal. Sebab akan menimbulkan kerusakan yang besar dan perpecahan umat bagi negara yang Pluralisme seperti Indonesia.

Pada tahun dimana di era sebelum kemerdekaan, seorang Soekarno sudah memikirkan dan memprediksi bahwa sistem Khilafah akan dikumandangkan oleh sebagian rakyatnya yang mayoritas beragama Islam, dimana pemikiran Bung Karno sangat visioner dan menjangkau melampaui jamannya hingga ratusan tahun kedepan.

Dalam “Surat-Surat Islam dari Ende” yang terbit pada tahun 1936, Presiden RI, Ir. Soekarno pernah menuliskan sebagai berikut; “Islam harus berani mengejar zaman, bukan seratus tahun, tetapi seribu tahun. Islam ketinggalan zaman kalau Islam tidak cukup kemampuan buat mengejar seribu tahun itu, niscaya ia akan tetap hina dan mesum. Bukan kembali pada Islam glory  yang dulu, bukan kembali pada ‘zaman chalifah’, tetapi lari ke muka, lari mengejar zaman”.

“Itulah satu-satunya jalan buat menjadi gilang gemilang kembali. Kenapa toh kita selamanya dapat ajaran, bahwa kita harus mengkopi ‘zaman chalifah’ yang dulu-dulu? Sekarang tahun 1936 dan bukan tahun 700 atau 800 atau 900”

Baca juga: Kakawin Nagara Kertagama, Merupakan Sumber dari Nilai – nilai Pancasila

Apa maksud Soekarno menulis begitu? Sangat jelas, Bung Karno menolak khilafah, karena sebagai Muslim, ia tak mau umat Islam menjadi mundur dan terbelakang. Baginya, khilafah sebagai lembaga politik sudah tidak relevan lagi di zaman modern yang dicirikan dengan sistem demokrasi dan nasionalisme.

Dalam tulisan itu, Soekarno mengkritik pendukung khilafah yang justru tenggelam di masa silam yang mereka anggap sebagai masa kebesaran. Padahal hakekatnya terperosok dalam ketertinggalan. Dan itu bertentangan dengan spirit Islam yang diyakini Bung Karno sebagai spirit kemajuan. jikalau Islam tidak bisa menyesuaikan keadaan Jaman maka, disitulah kita akan terkurung dalam kemunduran.

Marilah kita menengok ke belakang dari sejarah bangsa kita saat dimana  persiapan kemerdekaan Indonesia, baik saat sidang pandangan umum pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia 9 yakni Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Saat itu, atas usulan dari kaum golongan  Islam dalam Piagam Jakarta mengusulkan kata “Ketuhanan Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluknya. Kemudian tokoh dari Indonesia Timur yakni Johanes Latuharhary keberatan atas klausul tersebut dan meminta dihapus.

Johanes Latuharhary mewakili golongan Kristen Protestan dan Katolik saat persiapan kemerdekaan Indonesia. Ada desas-desus saat itu, Indonesia Timur akan mengajukan kemerdekaan jika Piagam Jakarta disahkan. Moh. Hatta selanjutnya meminta rapat darurat dari panitia 9 saat itu dengan mengundang KH Wachid Hasyim, Ki Bagus Kusno, Kasman Singodimedjo dan Teuku Muhammad Hasan.

Baca juga: Peluncuran Buku Membangun Karakter Anak Bangsa Melalui Pemahaman Falsafah Leluhur

Dari keputusan Panitia 9 tersebut, dengan pertimbangan keutuhan NKRI yang memang negara ini dibentuk atas dasar segala perbedaan baik suku, agama, adat istiadat, bahasa, menyepakati bersama. Yakni sepakat untuk mencoret kalimat “Menjalankan. Syariat Islam bagi pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” sesuai sila pertama dari Pancasila hingga saat ini dikenal. Belajar dari sejarah singkat di atas, maka tidak masuk akal jika ada saudara-saudara sebangsa dan setanah air kita masih ingin bercita cita membentuk negara khilafah di tanah dan bumi Nusantara ini.

Sementara di Jazirah Arab sendiri sudah tidak ada lagi kekhalifahan. Dan dari sejarah masa lalu seperti yang tertulis diatas, menjadi pembelajaran sejarah untuk bisa menjadi pertimbangan pengambilan keputusan, bahwa tidak pada tempatnya menggunakan agama untuk kepentingan politik praktis untuk jalan mencapai kekuasaan. Sejarah Pemilu Kepala Daerah yang lima tahun lalu menggunakan politik Identitas keagamaan, jangan sampai terulang lagi yang bisa memecah belah umat Islam, dimana agama dijadikan komoditas politik.

Bahwa Negara kita bukan Negara Berdasarkan Agama akan tetapi Negara yang melindungi seluruh Umat Beragama bagi rakyatnya yang  Pluralisme dari bersatunya berbagai suku, ras, agama, budaya daerah, adat, serta bahasa daerah. Untuk mencapai tujuan bersama dan melindungi Warga Negara nya untuk memeluk agama yang diyakininya.

Dalam sejarah Khalifah sendiri pernah terjadi sejarah kelam, dimana dalam sejarah dikenal dengan peristiwa Karbala yang diperingati oleh umat Islam baik Sunni maupun Syi’ah dengan nama hari Asyura yakni terbunuhnya Sayidina Husain cucu dari Rosullullah, yang dibunuh di kota Karbala karena konflik politik. Oleh orang Jawa karena perbedaan bahasa dan lidah menyebut bulan “Suro” yang tepat diperingati tanggal 10 Muharom.

Baca juga: Ana Al Haqq dalam Perspektif Jalaluddin Rumi, Syech Siti Jenar dan Ronggo Warsito

Sejak Mataram Islam jaman Raja Sultan Agung Hanyokro Kusumo hingga saat ini di era kemerdekaan oleh orang Jawa diperingati  sebagai bulan suci. Peringatan sejarah kelam dari peristiwa politik tersebut dalam perebutan kekuasaan dalam khilafah sebagai Khalifah saat itu oleh Bani Muawiyah yaitu Yazid bin Muawiyah. Pemikir intelektual muda NU dan sekaligus Direktur Eksekutif Jaringan Moderat (JMI) Gus Islah Bahrawi, menyebutnya dalam ceramah sebelum.

Peristiwa Karbala telah terjadi pembantaian di Kota Madinah sebelah Timur terhadap kaum Huroh, oleh Khalifah Yazid Muawiyah, yang mengakibatkan ratusan sahabat nabi terbunuh saat itu. Ini adalah sejarah kelam Kalifah di jazirah Arab sendiri, dimana Khalifah terakhir di dunia ini setelah runtuhnya sistem  Khilafah Usmaniyah Turki pada tahun 1926 dengan Khalifah nya Sultan Mehmet VI Vahideddin (Turki Ottoman).

Bagaimana kita mau kembali kepada masa lalu yang dianggap lebih baik untuk masa kini?  Sementara di jazirah Arab sendiri sudah tidak ada lagi sistem khilafah dalam pemerintahan di negara negara arab, baik Turki, Mesir, Irak, Iran, Arab Saudi dan lain lain, yang lebih berorientasi kepada sistem Moderat.

Negara kita dibentuk dan didirikan oleh para Pendiri bangsa (Founding Father) sebagai hasil perenungan, pemikiran dan  kerja keras yang mengakomodir dan mengadopsi dari nilai – nilai budaya leluhur bangsa kita, dalam membentuk suatu sistem pemerintahan yang berdaulat.

Baca juga: Amicus Curiae, Terobosan Hukum dalam Jagad Peradilan Ditinjau dari Sistem Hukum Peradilan di Indonesia

Diilhami oleh kitab Kakawin  Negara Kertagama, sistem pemerintahan Desa Adat dari Versi Mr. Soepomo dan Pancasila dari pemikiran Soekarno, maka oleh sebab itu mengapa  negara kita berslogan Bhineka Tunggal Ika? Yang artinya walaupun berbeda beda baik agama, suku, budaya, bahasa tapi tetap satu dalam ke Indonesiaan dan Tan Hana Dharma Mangrwa yang makna artinya  tiada Pengabdian yang abadi kecuali kepada Tuhan Yang Esa, sebagai Diversitas (keragaman) dimana tiada Kebenaran yang mendua, kebenaran Ke-Esaan Tuhan yang satu.

Walau berbeda dalam penyebutan, oleh saudara kita yang Moeslim menyebut Allah, yang Kristiani menyebut Tuhan Yesus, yang Hindu Menyebut Sang Hyang Widi Wasa  yang Budha menyebut Sidarta Gauthama, yang aliran kepercayaan menyebut Gusti Kang moho Agung, yang semuanya berlaku  sebagai  Rohmattan Lil Alamin.  Semoga bisa memberikan  pencerahan bagi segenap anak bangsa ****

Penulis adalah praktisi hukum di Jakarta, pemerhati Sosial Politik, Budaya dan Sejarah Bangsanya.

Berita Terkait