Kampung Sayyidan dalam Sejarah Perang Diponegoro dan Peran Kaum Ba’alawi Menurut Sejarawan

by Nano Bethan
95 views
Opini

Oleh : Agus Widjajanto *

DICTUM.COM- Sejarawan Islam Nusantara, KH Agus Sunyoto, dalam ceramahnya menyatakan bahwa, orang orang Jazirah Arab khususnya dari Kota Hijaz yang terletak antara Mekah hingga Madinah, pada tahun 1790 Masehi terjadi pergolakan antar sesama Moeslim di jazirah Arab. Dimana kaum Wahabi telah memburu dan membantai kaum syiah  yang mengkultuskan makam dari Imam Husain dalam ziarahnya dan para keturunan Rosullullah, saat itu, hingga terjadi korban hampir 6000 orang dibantai,  di Kota Hijaz.

Kejadian tersebut terjadi sebelum berdirinya negara Kerajaan Saudi Arabia yang didirikan oleh dua orang tokoh yakni Mohammad bin Abdul Wahab (yang dikenal sebagai pendiri dan tokoh kaum Wahabi) dan Muhammad bin Sa’ ud yang keturunannya hingga saat ini menduduki tahta sebagai penguasa Saudi Arabia.

Para Sayyid dan Syarif dari keturunan Nabi tersebut meninggalkan Kitab Hijaz dan mengembara ke berbagai penjuru dunia. Beberapa diantaranya adalah ke Nusantara dan Jawa pada tahun 1790 dengan menaiki kapal dagang Belanda. Mereka berlayar ke Jawa dan Pulau Sumatera, Kalimantan. Sebagian masuk ke daerah Surakarta dan Jogjakarta.

Baca juga: Four’as Politica Dalam Pembagian Kekuasaan di Era Negara Demokrasi Modern Saat Ini

Saat Pemerintahan Hamengkubuwono ke-2, sebagai Raja Jogja, memberikan tanah untuk pemukiman para Sayyid dan Syarif ini yang dikenal dengan Kampung Sayyidan di wilayah Jogja. Dari kampung Sayyidan inilah para keturunan Rosullullah yang terusir dari jasirah Arab khususnya Kota Hijaz ini berasimilasi, kawin dengan wanita pribumi dan beranak pinak hingga saat ini.

Saat pecah perang Jawa yang dikenal dengan perang Diponegoro, para Sayyid di Kampung Sayyidan ini secara sukarela menjadi pasukan dari pangeran Diponegoro pada tahun 1825 hingga berakhir pada tahun 1830. Setelah perang berakhir dan Pangeran Diponegoro ditangkap para Sayyid dari Kampung Sayyidan ini meninggalkan Jogja dan mengembara berdakwah hingga makamnya dinamakan dengan nama Jawa. Ini ditemukan menyebar di daerah Jawa Tengah bagian utara hingga Jawa Timur bagian selatan dan utara.

Perang Jawa sendiri merupakan perang gerilya yang hampir membuat bangkrut pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia dimana kas negara terkuras untuk perang tersebut, yang kemudian oleh Pemerintah Hindia Belanda , menerapkan politik tanam paksa kepada rakyat bumi putera (pribumi asli) untuk mengembalikan kas negara tersebut.

Dua tahun setelah Perang Diponegoro berakhir, Pemerintah Hindia Belanda atas strategi masukan dan  saran dari ahli politik  Islam dan sosiologi Belanda, Prof. Snouck Hurgronje, yang memang dipersiapkan dan disekolahkan di Mesir dan Arab Saudi untuk mempelajari Islam dan budayanya untuk mengetahui kelemahan dari kaum bumi putera.

Baca juga: L I D A H, Ibarat Mata Uang Koin yang Mempunyai Dua Sisi

Sasarannya adalah mendatangkan kaum Moeslim dari daerah Hadramaut Yaman yang sedang bergolak perang saudara saat itu untuk didatangkan ke Jawa dan Sumatera serta Kalimantan dan pulau-pulau di Nusantara. Tujuannya untuk bisa meredam terjadinya pemberontakan seperti halnya perang Diponegoro di Jawa, kaum Padri di Sumatera Barat dan perang Aceh, yang dalam sejarahnya tercatat hingga diangkat menjadi Mufti Batavia dari keturunan Yaman saat itu yakni Habib Usman bin Yahya.

Datang secara bergelombang, pertama didatangkan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1838 hingga bergelombang datang pada tahun 1900 masehi. Pemerintah Hindia Belanda kemudian melakukan  sensus pada tahun 1859 masehi dan diketahui jumlah orang orang Yaman dari Hadramaut yang telah menetap di Hindia Belanda sebanyak 7.786 jiwa. Mereka mendirikan organisasi keagamaan, pencatatan silsilah orang-orang dari Hadramaut Yaman tersebut dengan nama Rabithah Alawiyah pada tahun 1928 Masehi yang didirikan oleh Alwi bin Thahir Al Hadad .

Jadi dalam catatan sejarah memang yang ikut perang dalam perang Jawa yakni perang Diponegoro adalah kaum golongan Sayyid yang datang dari Kota Hijaz antara Kota  Madinah dan Kota Mekah saat itu, yang berkampung di Kota Sayyidan Jogjakarta. Sedang kaum dari golongan Hadramaut Yaman yang dikenal dengan Habib Ba’alawi baru datang pada tahun 1838 atau dua tiga tahun setelah perang Jawa berakhir dan difasilitasi oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Baca juga: Korupsi Dana PNPM Mandiri Tabanan, Ganti Identitas dan Hilangkan Tanda Lahir,  Tim Tabur Kejati Bali Amankan Sri Candra Yasa di Mataram  

Bendahara Pangeran Haryo Diponegoro (Pangeran Diponegoro) yang memiliki nama asli Raden Mas Ontowiryo merupakan seorang bangsawan Keraton Ngayogjokarto Hadiningrat asli Jawa. Beliau adalah anak dari Sri Sultan Hamengkubuwono ke III dengan istri selir-nya RA Mangkarawati yang lahir pada tahun 1785 pada 11 November, yang mendalami thorikhot Sattariyah.

Setelah perang Jawa seluruh anak keturunanya terusir dari Keraton Jogjakarta dan hidup menyebar di seluruh pelosok Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Lampung, dengan menghilangkan seluruh status dan identitasnya sebagai keturunan Raja Jogja, hidup seperti layaknya masyarakat bawah, dimana saat itu Pemerintahan Hindia Belanda  masih berkuasa.

Dari fenomena yang terjadi saat ini beberapa oknum dari Kaum Ba’ alawi selalu melakukan doktrinisasi terhadap para kaum pribumi atau dulu disebut bumi putera soal keturunan Rosullullah dan surga serta neraka. Menurut Prof. Menachem Ali yang diwawancarai oleh H. Rhoma Irama menyatakan bahwa berdasarkan manuskrip tertulis yang mana selalu dijadikan bahan rujukan Nasab dan manuskrip tertulis tersebut sudah ditemukan pada 3 abad sebelum masehi. Pada abad ke-7 juga sudah dapat dikonfirmasi saat Nabi Muhammad hidup memang sudah ada bukti secara tertulia.

Dalam transkrip manuskrip tertulis, tapi khusus untuk kaum keturunan Ba’ alawi dari Yaman tersebut terputus manuskrip. Tertulis sebagai sumber rujukan keturunan tokoh Sayyid ubaidillah anak dari Sech Ahmad Al Muhajir  selama 500 tahun yakni tidak terkonfirmasi pada abad ke-4 sampai abad ke-8 dan baru ada pada abad ke-9 secara internal mereka.

Baca juga: Kabulkan Praperadilan Tersangka Narkoba WN. Ukraina, Hakim IGA Akhirnyani Aktifkan Timer Bom Waktu

Jadi menurut Prof. Menachem Ali, pada abad ke-2 Masehi ditemukan manuskrip tertulis yang ditulis oleh Claudius Pettolemi dalam buku catatannya yang berjudul “Geografia” sudah menulis tempat di Hadramaut Yaman dengan istilah sebutan Hadramanitay. Diambil dari nama orang yang hidup direntang waktu 100 Masehi dan meninggal pada tahun 1700 Masehi. Berarti pada abad ke-2 Masehi mereka disebut sebagai keturunan suku Kastan yang merupakan keturunan SAM, yang menurunkan orang orang Yaman, yang tidak terkait dengan keturunan Nabi Ibrahim atau Ismail, apalagi Nabi Muhammad.

Prof. Menachem Ali dari Unair  dan KH. Imadudin Ustman Al Bantani cukup menjadi keyakinan kelompoknya dan pribadi – pribadinya saja, tapi jangan dijadikan alat doktrinisasi untuk mempengaruhi kelompok keturunan lain bahwa mereka keturunan Nabi dan berkaitan dengan menjual  Surga dan neraka. Ini tentu akan menjadi masalah tersendiri antar kelompok masyarakat, apalagi jikalau sudah mau memutar balikan sejarah bangsa ini, dan melakukan pemalsuan makam makam leluhur para Raja Jawa.

Kedepannya, jikalau tidak mengalami kesadaran akan fenomena terstruktur  terjadinya penjajahan budaya dan sejarah ini akan merubah wajah sejarah bangsa ini, bukan lagi tokoh-tokoh  kemerdekaan seperti yang sekarang dalam sejarah dan raja-raja Jawa dulu.  “Bukan lagi orang Jawa Nusantara sesuai Sumpah Pemuda pada tahun 1928  lagi, pada sejarah 50 tahun kedepan dan ini harus diwaspadai,” kata KH Imaduddin Usman Al Bantani.

Baca juga: PN Denpasar Lepas Tersangka Narkoba WN Ukraina, Begini Kronologi Penangkapan yang Dinyatakan Tidak Sah Oleh Hakim

Tidak semua habib punya pemikiran seperti yang yang telah kita saksikan di media sosial yang menghujat dan merendahkan orang dan ulama asli Indonesia dengan menyatakan sebagai keturunan Rasul. Ujung-ujungnya juga demi kepentingan politik dan ekonomi mereka  juga, yang hanya demi duniawi. Ada  seorang ulama besar yakni  Habib Ali Al Jufri, yang sangat terkenal dengan perkataannya, yaitu, jangan bicara soal agama jikalau kalian belum mengenal arti dan makna kemanusiaan.

Artinya menempatkan Islam sebagai Agama Rohmatan Lil Alamina  dan tidak jumawa, dimana menempatkan diri kita sebagai sosok yang memberikan tauladan kasih sayang secara universal terhadap siapapun secara nilai – nilai kemanusian. Para ulama, para pendeta, para ahli agama saat ini hanya disibukan dengan pertengkaran soal dalil – dalil siapa yang paling benar, bahkan aku yang paling benar, orang lain salah  dan hal ini akan selama-nya menempatkan Tuhan sebagai obyek sengketa.

Kalau masih belum  saling menyadari satu sama lain bahwa kita semua adalah Hamba Tuhan, kita beragama karena  dilahirkan oleh warisan ibu bapak kita, maka sangat disayangkan di dunia barat orang sudah mampu ke luar angkasa kita masih disibukan dengan politik dan masalah dalil dan keyakinan yang sempit  tadi. Sebenarnya ilmu pengetahuan di dalam dunia Islam sangat luar biasa tapi kita tidak pernah mengakses dan memperdalam serta  mempelajarinya. Karena kita selalu sibuk dengan hal-hal yang kerdil.

Rektor pertama Universitas  Zaitunah di Tunisia, yakni Syech Muhamnad Thahir bin Nasir, menulis soal teori terjadinyaya alam semesta berdasarkan dari dalil Al Quran. Beliau menyatakan bahwa alam semesta ini tercipta akibat terjadinya ledakan dan  gesekan antara petir dengan air yang menimbulkan elektro magnit yang sangat besar lalu tercipta gelombang eletromagnit dan perlahan tercipta alam semesta ini.

Baca juga: Kabulkan Permohonan Praperadilan WN Ukraina, Tersangka kasus Narkoba, Hakim Menepis Isu Putusan Bernilai 40 ribu Dollar

Teori ini sama dengan yang ditemukan oleh para ilmuwan barat yang meneliti soal awal terjadinya alam semesta ini, akibat hukum fisika. (Sumber : Gus Islah Bahrawi tokoh pemikir muda NU). Apakah ada para ulama dan tokoh agama yang berfokus mengajarkan kepada muridnya perihal ini? Saya kira sangat jarang kalaupun ada.

Jangan sekali kali melupakan sejarah bangsa ini, dimana para pahlawan kusuma bangsa telah mengorbankan jiwa raga dan harta demi menjaga martabat sebagai sebuah Bangsa, yang bernama Indonesia, yang pernah mengalami tragedi berdarah tahun 1948 dan 1965 dalam peristiwa pemberontakan dan harus menjadi pembelajaran kita agar selalu waspada.

Ini tanah air kita, tumpah darah dan ibu pertiwi kita sejak lahir hingga mati nanti yang harus kita cintai, yang dulu diperjuangkan oleh  leluhur keluhur kita dan generasi sebelumnya, dan  harus kita pertahankan karena ini rumah kita****

* Penulis adalah Praktisi Hukum di Jakarta, Pemerhati Sosial Budaya, Hukum dan Sejarah Bangsanya.

Berita Terkait