Oleh: Agus Widjajanto*
“Jikalau jadi Moeslim jangan jadi orang arab, jikalau Kristen jangan jadi orang yahudi, jikalau Hindu dan Budha jangan jadi orang India, tapi jadilah orang Beragama Indonesia yang menghargai adat istiadat leluhur Indonesia. Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Budha NUSANTARA, yang membumi di dalam khasanah budaya, bertumbuh kembang di bumi Nusantara”
DICTUM.COM – Peradaban Islam di Nusantara selain dibangun oleh Wali Songo dan keturunannya, juga ada peran dari dari Laksamana angkatan laut Panglima Ceng Ho, yang melakukan ekspedisi perdamaian budaya, dan penyebaran agama di Jawa pada abad ke-15 Masehi.
Keturunan Wali Songo berasimilasi dengan penduduk pribumi, dalam hal ini oleh Sunan Ampel Raden Rahmat yang diberikan tanah peradilan oleh Raja Brawijaya Ke V (Kertabumi) dengan nama Ampel Denta melalui anak – anaknya, Raden Makdum Ibrahim yang dikenal dengan sebutan Sunan Bonang di Tuban dan Sunan Drajat di Lamongan Utara.
Selain itu, peradaban Islam Nusantara juga tidak lepas dari andil murid – murid Wali Songo yakni Raden Ainul Yaqin (Sunan Giri) serta Raden Fatah yang dikenal dengan sebutan Pangeran Jim Bun, anak kandung dari Brawijaya Kertabumi ke V dengan Siu Ban Chi, cucu dari Sech Kuro kerawang.
Sementara Laksamana Cheng Hwa (Cheng Ho) memiliki jasa besar dalam penyebaran agama Islam di Jawa, baik di Jawa Barat, Jawa Timur sampai Jawa Tengah. Dimana sang legenda, Laksamana Cheng Ho membawa dua mubalik besar dalam ekspedisinya ke Jawa saat itu yaitu Syech Quro dan Syech Nurjati ke Jawa Barat, lewat pelabuhan Cirebon. Kedua mubalig tersebut kemudian menetap di daerah kerawang.
Baca juga: Kampung Sayyidan dalam Sejarah Perang Diponegoro dan Peran Kaum Ba’alawi Menurut Sejarawan
Dari kedua mubalig inilah sejarah terukir, dimana cucu dari syech Quro, yakni Shio Ban Chi dikawini oleh Prabu Brawijaya Kertabumi ke-V dan melahirkan Raden Fatah yang nama kecilnya tertulis Pangeran Jim Bun, yang dititipkan oleh Adipati bawahan Majapahit di Palembang Raden Aryo Damar. Kemudian menjadi murid santri-nya Raden Rahmat Sunan Ampel dan kelak mendirikan kerajaan Islam Pertama di Jawa di daerah pesisir Utara Jawa Tengah dengan nama Demak Bintoro.
Menurut Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Pajajaran Bandung, Nina Herlina, Laksamana Cheng Ho melaksanakan ekspedisi ke sejumlah wilayah Nusantara dalam rentang waktu antara tahun 1405 – 1433 Masehi.Ekspedisi itu dilakukan dengan membawa misi perdamaian, budaya dan penyebaran Islam di seberang laut China Utara.
Jejak dari budaya China hingga saat ini masih bisa kita lihat pada bentuk ornamen arsitektur, baik di Masjid Demak peninggalan Wali Songo (Wali sembilan) maupun di masjid dan makam Mantingan Jepara, makam Pangeran Hadliri, suami dari Ratu Kali nyamat.
Saat ini, warisan budaya China masih bisa ditemukan yakni ukiran khas kayu jati dari Jepara. Ukiran yang sangat familiar dan legendaris di Indonesia adalah hasil dari peninggalan ahli ahli arsitektur dan budaya China yang masuk ke Jawa.
Baca juga: Four’as Politica Dalam Pembagian Kekuasaan di Era Negara Demokrasi Modern Saat Ini
Panglima Cheng Ho saat mendarat di di pelabuhan Muara Jati, Cirebon membawa paling sedikit 73 kapal berukuran Panjang 120 meter dan lebar 50 Meter. Saat abad ke-14 saat itu kota Cirebon dalam kekuasaan kerajaan Galuh yakni Kadipaten Singapura.
Didalam catatan dan manuskrip tertulis dari dinasti Ming, Panglima Cheng Ho mendarat selama tujuh hari tujuh malam untuk mengisi perbekalan dan mendarat kan dua mubalik China beragama Islam, yakni Syech Quro yang mendirikan pesantren tertua di Jawa Barat yakni pesantren Syech Quro. Sedang kan Syech Nurjati menetap di Cirebon dengan menerima murid Raden Walang Sungsang, putra dari Prabu Siliwangi Pajajaran.
Keponakan dari Raden Walang Sungsang kemudian menjadi salah satu dari Wali Songo, penyebar agama Islam yakni sunan Gunung Jati. Guru Besar Ilmu sejarah UNPAD , Prof. Dr. Nina Herlina menyatakan bahwa fakta sejarah, Islam masuk ke Jawa Barat oleh orang dari Tiongkok China yang dibawa oleh Panglima Cheng Ho.
Sejarawan Nahdarul Ulama , KH Agus Sunyoto, bahkan menyatakan jauh sebelum Laksamana Cheng Ho melakukan ekspedisi kebudayaan ke Nusantara, sudah ada orang orang China Moeslim yang menetap di pesisir pantai Utara Jawa, yakni di Tuban dan Lasem ( Rembang ) serta Gresik pada jaman Singosari. Saat itu, Singosari sebagai penguasa Nusantara yang membawahi negara -negara atau kerajaan di Asia Tenggara, salah satunya kerajaan Champa.
Baca juga: L I D A H, Ibarat Mata Uang Koin yang Mempunyai Dua Sisi
Dimana dalam ekspansi politiknya, Raja Kerta Negara memberikan adik kandungnya yakni Ratu Pakasi dikawinkan dengan Raja Champa. Keturunan dari darah Singosari dan Champa yang bersambung dengan nasab keturunan Ali Zainal Abidin di Samarkhan Ukbekistan yang merupakan satu – satunya orang yang selamat dari peristiwa tragedi berdarah di kota Karbala. Merupakan cicit dari Nabi Muhammad yang kemudian mendarat di Jawa lewat pelabuhan Lasem Rembang, dikenal sebagai Raden Rahmat Sunan Ampel, yang membangun peradaban baru dalam agama Islam di Jawa setelah runtuh nya kerajaan Majapahit .
Itu adalah sejarah dan bisa dibuktikan melalui catatan manuskrip tertulis, baik dalam manuskrip yang ditulis oleh pengembara – pengembara penulis China pada abad ke-14. Selain itu, ada bukti tulisan manuskrip yang tersimpan di kelenteng Sam Po Kong yang dirampas oleh residen Belanda yakni residen Poortman.
Ketika tu residen Poortman merampas tiga gerobak catatan manuskrip sejarah tentang penyebaran agama Islam di Jawa dan awal mula berdirinya kerajaan Islam di Jawa (Benny G Setiono, “Tionghoa dalam pusaran politik 2003”). Dengan latar belakang dan sesuai catatan sejarah dan pendapat para ahli sejarah dan peneliti, serta bukti – bukti kebudayaan yang hingga kini masih ada serta bukti peninggalan bangunan etnik China hal ini tidak bisa dibantah.
Apabila dikaitkan dengan fenomena yang saat ini lagi viral di media sosial, klaim dari salah satu keturunan orang asing yang pada jaman Belanda dulu digolongkan dengan sebutan Golongan Timur asing, yakni kaum Ba’alawi dari Hadramaut, yang mengklaim bahwa kakek dan keturunan mereka lah yang melakukan penyebaran agama dan membangun peradaban hingga tercipta Masyarakat mayoritas Moeslim, adalah tidak disertai bukti – bukti sejarah baik secara tertulis maupun dari peninggalan – peninggalan sejarah secara fisik.
Baca juga: Sejarah Kelam Sistem Khilafah dan Latar Belakang Berdirinya NKRI dari Perspektif Sejarah
Menurut sejarawan NU, KH. Agus Sunyoto maupun Pemikir intelektual muda NU, Gus Islah Bahrawi justru dari catatan dan bukti sejarah tertulis sebalik nya dimana baru masuk ke nusantara pada tahun 1833 atau dua tahun setelah padam nya perang Jawa yang dikenal dengan perang Diponegoro, yang didatangkan oleh Pemerintah kolonial Belanda, agar tidak terjadi lagi pecah pemberontakan yang dilatar belakangi agama di Hindia Belanda saat itu.
Hal ini menjadi penting untuk dipaparkan agar segenap anak bangsa bisa belajar dari sejarah untuk memandang permasalahan secara utuh dan jernih dalam mengambil kebijakan tentang sejarah demi sejarah bangsa ini kedepan yang akan diwariskan kepada anak cucu kita.
Jangan sekali kali melupakan sejarah, Negara kita bukan Negara Agama akan tetapi Negara yang melindungi seluruh umat beragama. Sesuai pidato Bung Karno, jikalau jadi Moeslim jangan jadi orang arab, jikalau Kristen jangan jadi orang yahudi, jikalau Hindu dan Budha jangan jadi orang India, tapi jadilah orang Beragama Indonesia yang menghargai adat istiadat leluhur Indonesia. Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Budha NUSANTARA, yang membumi di dalam khasanah budaya, bertumbuh kembang di bumi Nusantara ****
*Penulis, Praktisi Hukum, Pemerhati masalah Sosial Politik, Hukum dan Sejarah Bangsa-nya