Oleh: Agus Widjajanto*
”Sungguh kasihan orang yang sampai ke laut dan merasa puas hanya mendapatkan sedikit botol air sementara didalam lautan itu sendiri ada ribuan mutiara dan benda benda berharga yang seharusnya bisa dikumpulkan”
DICTUM.COM – FENOMENA yang sangat marak di dunia maya, di media sosial akhir – akhir ini adalah terjadinya doktrinisasi dari golongan tertentu. Dokrin yang mengarah kepada pembenaran atas golongannya dan merendahkan serta mengganggap golongan lain atau pemeluk agama lain dikatakan salah, yang selalu dikaitkan dengan keberadaan surga dan neraka serta kafir.
Mereka tidak paham dan tidak mengerti sejarah atas bangsa ini, bagaimana latar belakang dibentuk dan berdiri serta sejarah sebelum Kemerdekaan serta adat istiadat yang ada. Belum lagi terdiri dari berbagai suku bangsa ratusan bahasa dan ras. Dulu disebut Nusantara yang kemudian menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebuah negara yang dibentuk bukan berdasarkan Negara Agama akan tetapi Negara Kesatuan yang melindungi seluruh umat Beragama yang dianut oleh warga negaranya.
Jalaludin Rumi dalam bukunya yang sangat terkenal “Fihi Ma Fihi”, menyatakan bahwa selamanya agama lebih dari satu, dua atau tiga bahkan lebih. Selama agama dipolitisasi maka pertempuran dan peperangan selalu terjadi diantara mereka. Bagaimana engkau mengharapkan agama menjadi satu ? AGAMA tidak akan menjadi satu kecuali di akhirat kelak pada hari kiamat.
Baca juga: Penyebaran Islam oleh Keturunan China di Nusantara dan Peran Raja – Raja Jawa dalam Membangun Peradaban Islam
Itu tidak mungkin terjadi di dunia, sebab di sini di dunia ini setiap orang punya tujuan dan keinginan yang berbeda beda dan penyatuan tidak mungkin terjadi. Hanya mungkin terjadi di hari kiamat dan Allah yang akan jadi hakimnya, yang mana pada saat itu seluruh manusia menjadi satu memandang kearah yang satu memiliki telinga dan lesan yang satu.
Panitia sembilan yang lebih dikenal dengan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang diketuai oleh Ir. Soekarno dalam sidangnya tanggal 22 Juni 1945, melahirkan suatu rumusan yang dikenal dengan Piagam Jakarta yang memberikan gambaran tentang maksud dan tujuan dasar negara saat Hindia Belanda Indonesia) merdeka. Disepakati, salah satu sila dari Dasar Negara yakni Pancasila dengan kalimat ” Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.
Tokoh – tokoh Indonesia Timur saat itu yang diwakili oleh Johanes Latuharhary tidak setuju karena negara ini dibentuk dan didirikan oleh berbagai golongan dan agama serta suku dan Ras, tidak boleh dilakukan dominasi dalam dasar negara oleh salah satu agama. Perwakilan dari Indonesia Timur saat itu akan keluar dan mendirikan negara sendiri dan oleh Moh. Hatta melakukan rapat darurat dengan mengundang tokoh tokoh dari panitia Sembilan. Pada akhirnya isi dari piagam Jakarta tersebut diganti dan menjadi ” Ketuhanan Yang Maha Esa ” menjadi sila pertama dalam Dasar Negara Pancasila.
Baca juga: Kampung Sayyidan dalam Sejarah Perang Diponegoro dan Peran Kaum Ba’alawi Menurut Sejarawan
Tuhan yang Esa mempunyai makna yang sangat dalam, tidak hanya menerangkan kepada dunia dan masyarakat internasional serta seluruh warga negara, bahwa Tuhan itu satu dengan kekuasaanNya memberikan berbagai jalan untuk mengenalNya lewat ajaran – ajaran yang telah diberikan oleh dia.
Selain itu mempunyai makna filosofis yang sangat luas dan dalam, bahwa seluruh alam semesta beserta isinya dan mahluk yang ada dimuka bumi Ini hanyalah hasil ciptanya, dan merupakan perwujudan dari Tuhan yang Esa itu sendiri, yang terdiri dari berbagai Etnis, Suku, Golongan, Ras, dan keyakinan dengan segala perbedaannya. Itulah Aku, yang oleh Jalaludin Rumi disebut dengan tiga kata “Ana Al Haqq”.
Didalam Hindu ada yang disebut jalan Veda, yang mana diterangkan, beda amat luas dan sangat terbatas yang sampai kepada manusia melalui Maha Rsi. Didalam Veda disebut Ananta Vai Vedah yakni Veda tanpa akhir. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa Veda diwahyukan kepada para Rsi, dimana hukum tanpa awal dan tanpa akhir adalah Veda.
Walaupun Kerajaan Tuhan tanpa awal dari waktu ke waktu, Ia mempunyai akhir sementara setelah itu muncul lagi dalam penciptaan, Paramita dalam Hindu adalah Kaisar atau Raja dan Veda adalah hukum – hukum tanpa awal dan tanpa akhir karena milik dia Tuhan yang Esa. Sang Kaisar dan para kawula nya tidak mempunyai awal dari segi waktu, jika ada sebuah kerajaan dan ada kaisar maka harus ada perangkat hukum yang mengatur, yang ketiganya tanpa awak dan tanpa akhir, itulah hukum Vega.
Baca juga: Four’as Politica Dalam Pembagian Kekuasaan di Era Negara Demokrasi Modern Saat Ini
Demikian juga dalam Islam diatur melalui kalam Allah atau Wahyu Tuhan yang disampaikan oleh malaikat Jibril kepada Muhammad. Adalah perangkat hukum untuk mengatur dalam hubungan antara Kaisar dengan Kawulo-nya dan kawulo dengan kawulonya. Agar terjadi keselarasan yang disebut Al Qur’an, yang dalam Kristani disebut injil baik dalam perjanjian Baru maupun perjanjian lama yang disampaikan Kristus Isa Al-Masih kepada murid murid nya yang lalu menjadi hukum bagi pemeluknya .
Bahkan Jalaludin Rumi menulis dalam kitabnya saat ditanya oleh sahabatnya, apakah ada cara lain untuk mendekatkan diri kita kepada Tuhan Allah yang Esa dibanding kan dengan Shalat ? Dijawab oleh Beliau, “Ada yakni Shalat itu sendiri”. Tetapi, bukan semata mata shalat yang hanya berdasarkan gerakan fisik sesuai aturan seremonial beribadah. Dimana gerakan fisik hanya kemasan, shalat memiliki permulaan dan akhir.
Semua yang memiliki permulaan dan akhir adalah kemasan. Takbir adalah permulaan shalat dan salam adalah akhir. Begitu juga dengan kalimat syahadat, bukan hanya ucapan lisan syahadat memiliki permulaan dan akhir, bahkan mempunyai bentuk dan kemasan . Sementara Ruh dari kalimat itu tidak dibatasi apapun dan tidak termaknai tidak memiliki permulaan dan akhir.
Jelas kata Jalaludin Rumi bahwa Ruh shalat dan syahadat bukan bentuk lahiriah saja. Ruh shalat adalah tenggelamnya jiwa secara utuh dan ketidakhadiran tubuh, yang mana meninggalkan seluruh bentuk lahiriyah diluar Ruh tak tersisa ruang sedikitpun bahkan untuk para malaikat sekalipun.
Itulah esensi sholat, hubungan langsung antara Kawulo dengan Kaisar. Hingga beliau menulis “Sungguh kasihan orang yang sampai ke laut dan merasa puas hanya mendapatkan sedikit botol air sementara didalam lautan itu sendiri ada ribuan mutiara dan benda benda berharga yang seharusnya bisa dikumpulkan”.
Baca juga: Sejarah Kelam Sistem Khilafah dan Latar Belakang Berdirinya NKRI dari Perspektif Sejarah
Hal ini sangat dalam filosofi nya , apabila dikaitkan dengan fenomena jaman saat ini, banyak sekali orang yang hanya mendapat kan sebotol air dari lautan yang maha luas seakan tiada bertepi tapi seolah olah sudah melebur seluruh air dalam samudera raya hingga berani memvonis salah benar, kafir dan kedudukan surga neraka hanya bagi kaum dan golongan tertentu.
Lalu Ke mana semua sungai bermuara ? Semua SUNGAI (panjang atau pendek, luas, lebar atau tidak) pada akhirnya bermuara ke SAMUDERA. Jikalau kesadaran, pemahaman kita dan tingkat kerohanian kita (siapapun dan memeluk agama apapun dia) sudah pada pemahaman Samudera (Nilai KeTuhanan), maka niscaya tidak akan lagi bicara “Sungai” Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan sebagainya.
Dengan kata lain, kalau kita sudah bicara Samudera, maka kita tidak lagi akan bicara soal “Sungai” karena semua agama tujuan dan muara adalah Samudra keimanan. Demikian juga Sungainya Kristen, Katholik, Hindu, dan Budha juga menuju dan bermuara ke samudera juga”.
Faunding Fathers sudah menegaskan Negara Indonesia adalah “Nation State” dengan Dasar Negara Pancasila yang mengakui keberadaan semua agama . Sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah manifestasi dari Samudera Keilahian bagi semua agama – agama di dunia yang dianut oleh seluruh rakyat Indonesia yang homogen .
Den ajembar , den momot, lawan den wengku , Den Koyo Segoro, filosofi ilmu padi, semakin dalam dan berisi maka akan semakin merunduk karena batang nya tidak lagi mampu untuk menopang buahnya yang telah matang tadi. Mari menjadikan diri kita sebagai kawulo – kawulo dari sang Kaisar, Tuhan yang Esa, yang perwujudannya sesungguhnya adakah seluruh alam semesta ini beserta isinya dengan semua mahluk dan beserta kalam – kalam hukum, yang telah ditaburkan kepada wakil – wakilNya, bukan hanya satu, dua, tiga tapi beragam.
Itulah esensi dari manusia yang memang diciptakan untuk bagaimana bisa mempunyai rasa kemanusiaan untuk diabdikan pada seluruh umat dan alam semesta. Berbuat baik kepada Sesama dan berbuat baik kepada semesta alam****
Penulis: Praktisi Hukum dan Pemerhati Sosial Budaya, Politik dan Hukum tinggal di Jakarta