Antara Anyer – Panarukan, Tragedi dan Solusi  

by Nano Bethan
98 views
Oppini

Oleh: Agus Widjajanto*

JALAN Pantai Utara Jawa (Pantura) yang membentang dari Anyer hingga Panarukan, antara Banten hingga ujung Jawa Timur,  wilayah tapak kuda, merupakan jalur utama perekonomian. Penunjang utama tranportasi dalam urat nadi ekomoni ratusan tahun, dari sebelum Indonesia ada yang masih bernama Hindia Belanda hingga merdeka yang bernama Indonesia.

Tumbuh menjadi kota – kota yang makmur disepanjang pantai, dari Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Pati, Juwana, Rembang, Tuban, Bangil, Probolinggo, hingga Banyuwangi . Tapi apakah generasi sekarang tahu sejarah proses  pembuatan jalan antara Anyer hingga Panarukan ?

Pada saat Gubernur Jenderal Pemerintahan Hindia Belanda, dijabat Herman Williem Daendels pada tahun 1808 hingga 1811 Masehi, dicanangkan pembuatan jalan sepanjang 1100 Km sebagai jalan pos jaga kepentingan militer Belanda untuk mengamankan pulau Jawa di pantai Utara dari serangan Inggris dan kelancaran dalam menyampaikan informasi melalui dinas pos. Pengerjaan dilakukan dengan cara kerja rodi atau kerja paksa oleh penduduk bumi, di Pulau Jawa, saat itu di lokasi  antara Anyer hingga Panarukan.

Baca juga: Kampung Sayyidan dalam Sejarah Perang Diponegoro dan Peran Kaum Ba’alawi Menurut Sejarawan

Banyak sekali korban penduduk pribumi atau yang saat itu disebut Golongan Bumi Putera, baik orang Sunda Banten, Sunda kerawang, hingga Cirebon, Jawa baik Jawa tengah hingga Jawa timur sampai ujung wilayah tapal kuda saat ini  meninggal dunia karena tidak digaji dan tidak  diberikan makan.

Ribuan orang jadi korban  dan itu adalah para pahlawan Kusuma Bangsa tanpa tanda jasa yang tidak dilabeli dan mendapat bintang pahlawan nasional.  Disamping sebagai jalan untuk pos jaga dan informasi cepat melalui darat untuk kepentingan informasi inteljen lewat  pos, jalan Pantura saat itu juga untuk membangun pabrik persenjataan militer di Semarang dan Surabaya.

Dikemudian hari setelah jalan tersebut jadi dan setelah Pemerintahan Hindia Belanda berhasil memadamkan Perang Jawa oleh Pangeran Diponegoro pada tahun 1830,  maka untuk mengembalikan perekonomian Belanda saat itu yang bangkrut karena pembiayaan perang,  diterapkan politik  tanam paksa kepada masyarakat di Jawa untuk menanam komoditas tertentu yang bisa dijadikan eksport keluar negeri untuk menutup kas Pemerintahan Hindia Belanda. Itu berlangsung hingga kedatangan Jepang yang  mendarat di Pulau Jawa dan Sumatra, pada tahun 1942.

Pada tahun 1890, politikus dalam parlemen Belanda, C .Th. Van Deventer mengemukakan politik Etis, untuk menyelamatkan rakyat bumi putera  atau Kaum Pribumi agar pemerintah kolonial Hindia Belanda melakukan politik balas Budi atas ekploitasi baik alam maupun sumberdaya rakyat di wilayah kolonial Hindia Belanda.

Baca juga: Four’as Politica Dalam Pembagian Kekuasaan di Era Negara Demokrasi Modern Saat Ini

Politik balas budi dilakukan  dengan membangun irigasi, bendungan  untuk pertanian rakyat  dan mendirikan sekolah – sekolah dan mengirim para anak – anak bangsawan Jawa ke Belanda untuk bisa menjadi sarjana. Hal itu adalah berkat jasa dari C. Th Van Deventer, seorang ahli hukum dan sosiologi serta politikus muda Belanda yang melihat secara langsung kondisi masyarakat di kolonialisasi Hindia  Belanda saat itu.

Dari sini lah mulai para pemuda bumi putera, baik Jawa, Sumatera, Kalimantan, Ambon Maluku, Ende Nusa Tenggara Timur, sedikit demi sedikit bersekolah dan menjadi sarjana. Nantinya  merupakan cikal bakal penggerak Indonesia dalam sumpah Pemuda 1928 yang diwakili oleh Jong Jawa, Jong Ambon Maluku, Jong Sumatera, Jong Sulawesi.

Tidak ada tercatat satu pun perwakilan dari golongan timur asing yang saat itu merupakan golongan kedua setelah Eropa yang diciptakan oleh Penguasa Hindia Belanda di Indonesia. Dari kaum terpelajar inilah baik yang sekolah di Batavia hingga Bandung serta lulusan negeri Belanda sebagai motor dinamisator penggerak  hingga Indonesia merdeka pada tahun 1945.

Penderitaan rakyat belum berakhir, dimana pada tahun 1942, masuknya militer Jepang ke Hindia Belanda, rakyat masih juga dipaksa kerja paksa untuk membangun jalan  dan jalur pangan untuk kepentingan pertahanan militer Jepang, yang dikenal dengan Romusha. Korbannya mencapai puluhan ribu orang karena kelaparan, dimana tragedi kemanusiaan.

Saat itu belum lahir Komisi Hak Asasi Manusia lewat PBB maupun LSM swasta yang kerap dibiayai asing untuk menyuarakan Demokrasi dan HAM, belum ada istilah Hak Asasi Manusia ( HAM) yang  baru dimuncul setelah berakhirnya Perang Dunia ke-II, yang dimenangkan oleh sekutu Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Setelah itu dibentuk badan baru yang disebut Perserikatan Bangsa – Bangsa ( PBB ) menggantikan Liga Bangsa – Bangsa, yang dirasa tidak bisa memberikan kontribusi yang memadai untuk mencegah terjadinya Perang Dunia saat itu.

Baca juga: Dasar Negara, Lahirnya Pancasila Diilhami Kakawin Nagara Kertagama dan Pergulatan Bathin Pendiri Bangsa

Janda mendiang Presiden Amerika Serikat Franklin Delano Roosevelt yakni  Eleanor Roosevelt, yang dipilih menjadi ketua bersama dari komisi PBB tentang Hak Asasi Manusia (United Nations Commission On Human Rights) yang menemukan frasa the Rights of Man tersebut. Walaupun begitu, tidak bisa berlaku surut  mengadili pelanggaran HAM di Indonesia, baik kejahatan kemanusiaan saat tanam paksa maupun saat pembuatan jalan Anyer – Penarukan  dan tragedi pembantaian westerling.  Hal itu bisa  terjadi apabila pemenang dari Perang Dunia ke-II saat itu, adalah pihak yang satu kelompok kepentingan politik dalam komunitas negara  sekutu Amerika Serikat.

Pada saat ini, justru isu Hak Asasi Manusia, Demokrasi serta Terorisme dijadikan komoditas politik kekuasaan  dari negara – negara Barat (Eropa dan Amerika Serikat) terhadap negara berkembang sebagai alat penekan kebijakan, yang ujung – ujung nya juga suatu bentuk Penjajahan versi baru dalam dunia  modern saat ini.

Bahwa pada tahun 1820 hingga pada tahun 1900, di Wilayah Hindia Belanda, bagian dari Nusantara, disebut masa kegelapan dalam sejarah bangsa, dalam perputaran Tjokro Manggilingan (Perputaran kejayaan dan proses sebuah bangsa melalui siklus waktu). Pada akhirnya,  mentari terbit juga dari timur saat menjelang bulan Juni 1945 hingga Indonesia merdeka, setelah menyerahnya Jepang kepada Sekutu.

Baca juga: Penyebaran Islam oleh Keturunan China di Nusantara  dan Peran Raja – Raja Jawa dalam Membangun Peradaban Islam

Setelah Indonesia merdeka, jalan raya antara Anyer hingga Panarukan menjadi jalan paling menentukan dalam memberikan kontribusi pertumbuhan perekonomian di Jawa, hingga dibangun nya jalan tol trans Jawa oleh pemerintahan Jokowi. Peran jalan Anyer – Panarukan tetap paling dominan di pulau Jawa , baik dari aspek pariwisata maupun dari aspek ekonomi dan keamanan Negara.

Indah saat ini, merupakan hasil pengorbanan dari rakyat dan pahlawan Kusuma Bangsa yang tidak pernah dilabeli dan diberikan Status Pahlawan atas pengorbanan mereka dalam membangun jalan tersebut. Hal ini agar bisa menjadi pembelajaran generasi muda agar Jangan Sekali – kali Melupakan Sejarah ( Jas Merah ). Agar sejarah bangsa tidak dimanipulasi oleh keturunan dari  bangsa lain sebagai upaya melakukan penjajahan secara modern (Neo Kolonialisme) baru, baik melalui budaya  maupun Agama  dengan cara menghilangkan jejak sejarah nenek moyang dimasa lalu.

Neo kolonialisme agar tidak ada lagi rasa kebanggaan terhadap leluhur, itu cara lama tapi gaya baru , hingga banyak saudara saudara kita yang mabuk hingga hilang percaya diri, karena kebodohan dari diri kita sendiri. Janganlah mengalami kemunduran dalam pola pikir dan kecerdasan. Sebagai anak bangsa harus punya visi misi pola pikir lebih baik dari generasi pendobrak 1945 saat Merdeka. Seharus nya lebih cerdas dan lebih baik dari generasi Wali Songo pada abad ke-14 Masehi saat membangun peradaban baru di Nusantara, melalui budaya asli Nusantara, dengan tata cara adat maupun pakaian yang berciri khas Nusantara.

Baca juga: : Berdirinya Negara Kesatuan, Politik Agama dan Tuhan Yang Esa

Oh indahnya, inilah trade mark Indnesia, bukan mengadopsi pakaian yang berciri khas  dari budaya bangsa lain, sangat menyedihkan. Ismail Marjuki menciptakan lagu – lagu yang menggugah rasa Nasionalisme, dengan ciri khas Indonesia, wanita – wanitanya cantik – cantik dengan gaya khas Nusantara. Memberi kesan, inilah wanita Indonesia, sangat luar biasa, kecantikannya memancar keluar, bukannya justru ditutupi hingga hilang ke-Indonesiaan-nya.

Itulah sebabnya para founding father kita dulu saat mengkonsep membentuk berdirinya negara kesatuan RI, dalam satu pasal menyangkut pemilihan pemimpin bangsa baik sebagai kepala Negara dan pemerintahan mensyaratkan “Harus Orang Indonesia Asli ” yang nota bene orang Bumiputera, bukan golongan Timur asing maupun turunan asing lainnya. Para pendiri bangsa belajar dari sejarah kondisi bangsa ini  sebelum Indonesia Merdeka.

Mari kita isi kemerdekaan ini dengan keadilan kemakmuran  dan tidak pernah kehilangan jati diri sebagai bangsa, yang punya Ruh ke-Indonesiaan, untuk mencapai masyarakat adil makmur, Gemah Ripah Loh Jinawi, toti tentrem Kerto Raharjo****

Anyer,  Medio juli 2024

*Penulis adalah Pemerhati Sosial, Budaya, Hukum dan Politik, tinggal  di Jakarta.

Berita Terkait