Mencintai Bangsa dan Negara Merupakan Tanda Keimanan, Hubbul Waton Minal Iman

by Nano Bethan
44 views
Opini

Oleh.   : Agus Widjajanto*

PENDIRI Bangsa atau Founding Father, dalam membentuk konsep dan tatanan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, sangat luar biasa, dimana mempunyai Visi Misi kedepan yang melampaui jamannya. Dalam pasal pasal dan bunyi pembukaan (Preambule) UUD 1945, telah mengadopsi beberapa kosa kata dari bahasa yang berasal dari Kitab Suci kaum Moeslim Yakni Alquran.

Pendiri Bangsa, salah satunya adalah H. Agus Salim, memasukan dalam bahasa ketatanegaraan kita yang hingga kini menjadi bahasa sehari – hari dalam kaitan berbangsa dan bernegara. Seperti, Rakyat, Musyawarah, Wakil, adil dan bahkan menurut tafsir Al Qurtubhi kata Nusantara kosa kata tersebut diadopsi dan diabadikan dalam Alquran. Para Founding Father kita memahami sebagai Negara baru yang penduduknya mayoritas Moeslim, harus dibentuk dengan dasar – dasar kekuatan ajaran Moeslim, walau Negara Kesatuan Yang didirikan bukan Negara Agama.

Pada saat diproklamasikan kemerdekaan Oleh Soekarno dan Moh. Hatta di Pegangsaan Timur, pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan kemerdekaan Bangsa. Sehari setelah kemerdekaan kemudian disahkan Dasar Negara Pancasila dan Hukum Dasar atau  Kontitusi tertulis baru diakui berdirinya Negara secara De Jure.

Fenomena akhir –  akhir ini, para kaum milenial sudah tergerus akan nilai – nilai budaya asing, baik dari budaya barat  maupun budaya Timur Tengah, yang menganggap budaya – budaya tersebut adalah budaya agama dan lebih baik dari budaya sendiri. Ini sangat mengkhawatirkan serta memprihatinkan karena minim-nya akan pelajaran dan pengetahuan sejarah bangsa sendiri.  Bahkan salah satu ustad yang besar di media sosial , menyatakan cinta tanah air tidak ada dalilnya dalam Agama .

Baca Juga : Penyebaran Islam oleh Keturunan China di Nusantara  dan Peran Raja – Raja Jawa dalam Membangun Peradaban Islam

Hubbul Waton Minal Iman:  Berkaitan dengan cinta tanah air ada pesan dari Rosullullah Nabi Muhammad SAW, yang hal ini berkaitan dengan sebuah hadist yakni “Hubbul Waton Minal Iman” yang artinya mencintai Bangsa merupakan tanda keimanan, berdasarkan suatu riwayat, saat perang Uhud di saat Rosullullah menetap di kota Madinah, dimana kota tersebut tidak hanya didiami kaum Moeslim akan tetapi ada Nasrani/Kristani dan kaum Yahudi, diserang oleh orang orang suku kurais.

Rosullullah mengajak seluruh masyarakat baik Moeslim maupun Nasrani dan kaum Yahudi untuk mempertahankan kota Madinah dari serangan tersebut. Saat itu, gugurlah  salah seorang dari kaum Yahudi yang bernama Mukhoirik, yang sebelum berangkat perang telah mewakafkan seluruh hartanya kepada Nabi Muhammad. Setelah Mukhoirik gugur , harta yang ditinggalkan nya dijadikan modal awal terbentuknya Baitul Mall.

Sehingga  harus diakui, modal awal Baitul Mal justru dari kaum Bangsa Yahudi (Sumber: tausiyah Gus Islah Bahrawi pemikir intelektual muda NU). Demikian juga saat mencetuskan Piagam Madinah yang merupakan piagam perdamaian agar bisa hidup berdampingan, saling menghargai, bertoleransi dalam kehidupan yang majemuk,  justru dimulai dan dipraktekkan oleh Rosullullah.

Baca juga: Four’as Politica Dalam Pembagian Kekuasaan di Era Negara Demokrasi Modern Saat Ini

Kejadian kedua sejarah Islam tersebut menjadi salah satu acuan dan pertimbangan para ulama yang masuk dalam team 9 yang diketuai oleh Soekarno dalam PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) menyusun Dasar Negara dan Hukum Dasar dari Negara Kesatuan yang baru berdiri. Sifat keberanian dan kecerdikan serta wawasan yang menjangkau melampaui jamannya, tidak lepas dari upaya  dan kehendak Yang Kuasa atas sejarah bangsa ini.

Orang bisa beribadah menjalankan sesuai ajaran Agamanya, baik Moeslim, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha, aliran kepercayaan lainnya adalah adanya sebuah negara yang stabil baik secara politik dan keamanannya. Tanpa hal itu maka masyarakat mustahil bisa menjalankan ibadah dengan tenang. Untuk bisa terciptanya Kestabilan politik dan keamanan, karena adanya pertahanan yang kuat, adanya pertahanan yang kuat dari sebuah Negara karena adanya rasa cinta tanah air dan bangsanya, yang secara otomatis ikut bertanggung jawab  atas kondisi bangsa tersebut .

Kembali kepada jiwa korsa dari para pendiri bangsa saat itu, begitu ikhlas berjuang tanpa memikirkan dirinya dan apa yang akan didapat dari perjuangan tersebut. Dikarenakan para pendiri bangsa sanggup mereduksi bahwa bangsa Eropa yang besar dan baik itu persenjataan militer.

Menjadi sebuah semangat bahwa hal itu adalah sebuah perjuangan hidup mati agar bisa mengalahkan dan menghancurkan Bangsa Eropa, menjadi obyek yang harus dimusnahkan. Itulah semangat 1945, dimana para pendiri bangsa telah menjadi Singa – Singa di Negerinya sendiri untuk mengusir penjajahan kolonialisme dari kelompok besar dengan  persenjataan kuat, tetapi menjadi kecil dan lemah dimata para pejuang pendiri bangsa.

Baca juga: Kampung Sayyidan dalam Sejarah Perang Diponegoro dan Peran Kaum Ba’alawi Menurut Sejarawan

Bahwa untuk menjadi singa – singa, kuncinya adalah Mentalistas/Keberanian yang luar biasa, untuk bisa dan mampu mereduksi sebuah kekuatan besar menjadi kekuatan kecil. Merupakan perpaduan antara 60 persen keberanian dan 40 persen kecerdasan baik kecerdasan Poltak berupa olah pikir maupun kecerdasan olah hati atau iman keyakinan kita. Tanpa mengurangi rasa hormat ada Guru Besar yang saat pidato pengukuhannya dihadapan mahasiswa menyatakan, kesuksesan  dipengaruhi dan ditentukan oleh 80 persen keberanian atau mentalitas dan 20 persen adalah kecerdasan pikiran.

Secara presentasi penulis tidak sependapat, dimana secara logika, prosentasinya adalah 60 nyali/keberanian dalam mengambil keputusan dan 20 persen Kecerdasan. Itulah jiwa dan semangat dari singa – singa penguasa Nusantara ini, agar negeri ini senantiasa diberikan kekuatan dan para generasi milenial bisa mempelajari sejarah bangsanya, menumbuhkan Rasa Cinta Tanah Air dan semangat berjuang demi Bangsa dan Negaranya.

Situasi Geo Politik dan strategis Global, maupun Regional, harus menjadi pemikiran bersama anak bangsa dari masyarakat umum, pengambil keputusan dalam hal ini Pemimpin Bangsa baik level tertinggi maupun dalam institusi pertahanan keamanan.

Perang Rusia Ukraina yang sudah bertahun – tahun, perang bersenjata Israel dan Hamas, dan imbasnya ke Palestina dan negara – negara sekitar, pemblokadean Laut Merah oleh Houty Yaman, sengketa Nine Dast Line antara China dengan negara negara ASEAN termasuk Indonesia, Malaysia, philipines, Vietnam. Belum lagi wilayah kita yang sebenarnya telah dikepung oleh pangkalan militer milik Negara Adidaya Amerika Serikat, yang mempunyai pangkalan di philipines, singapura, Darwin, Pulau Crismast, benar benar harus diwaspadai sebagai negara kepulauan.

Baca juga: Peradaban Bangsa LeMuria, Agama Kapitayan, dan Perspektif Sejarah serta Datangnya Agama Besar di Nusantara

Sangat beruntung para pendahulu kita, para petinggi militer sudah sejak awal menetapkan sistem pertahanan Rakyat Semesta, dimana TNI/Polri akan melibatkan rakyat dalam perang semesta jikalau terjadi invasi militer dari luar. Namun yang paling diwaspadai justru serangan perang Proxi, yang menggunakan orang orang kita didalam negeri menjadi agen – agen asing untuk melakukan penghancuran dari dalam, baik lewat budaya, agama, maupun dalam bentuk serangan Syber.

Kejahatan Syber dengan kemajuan tehnologi IT, ini yang harus kita waspadai, politik pemecah belah dan penguasaaan sejarah bangsa yang dimanipulasi, makam – makam leluhur yang diganti, dipalsukan menjadi keturuman asing. Dalam kurun waktu 20 tahun kedepan,  anak – anak muda akan kehilangan jejak sejarah nenek moyang, leluhurnya sendiri, yang diklaim menjadi peran berdirinya negara dan agama di negeri ini merupakan peran mereka. Ini modus perang Proxi, modus para agen asing pengkianat bangsa, dan sejak Nabi sudah ada, termasuk saat Revolusi tahun 1945 baik sesudah maupun sebelumnya.

Sementara itu, Guru Besar Ilmu Hukum senior  Universitas Padjadjaran Bandung Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, secara terpisah menyatakan, Cinta tanah Air merupakan bagian dari Iman.  Dalam ulasannya, Guru Besar Unpad asal Bali ini me menyatakan bahwa, Alinea IV Pembukaan UUD 1945 yang berkaitan dengan tujuan negara, amanatnya sangat jelas, yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, maka menjadi kewajiban Negara untuk melindungi “Segenap BANGSA Indonesia” tanpa membeda-bedakan Suku, Agama, Kepercayaan, Daerah, dllnya.

Baca juga: Paradigma Para Pendiri Bangsa Membuat Aturan Pasal Dalam UUD Negara, Presiden Harus Orang Indonesia Asli   

Tidak juga membeda – bedakan mayoritas atau minoritas, semuanya equal di mata Negara. Pada sisi lain, adalah menjadi kewajiban warga negara untuk  mencintai Negaranya (Hubul waton minal) dan segenap identitas negara, seperti Bendera Pusaka, Lagu Kebangsaan, Simbol Negara dan Bahasa Persatuan.  Adanya kewajiban timbal balik antara Negara dan rakyat dalam konteks kehidupan bernegara terumus dalam Pancasila, khususnya sila 3  yakni Persatuan Indonesia dan Lambang Negara Garuda Pancasila dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”.

Jika itu dipahami, maka menjadi lebih relevan lagi menghadirkan dan “membumikan” Pacasila sebagai:  Pertama, Ideologi Terbuka yang bisa menjawab segala tantangan dan perubahan zaman ataupun perubahan global yg bersifat Mondial.

Kedua, Filter (penyaring), dalam artian mengadopsi hal-hal, nilai – nilai dan pengaruh dari luar yang bersifat positif, dan sebaliknya menangkal ataupun menegasi pengaruh idiologi, budaya asing ataupun gerakan-gerakan dari luar yang bersifat negatif dan destruktif bagi Negara, Bangsa dan masyarakat Indonesia (termasuk kalangan milineal).

Baca juga: Antara Anyer Panarukan, Tragedi dan Solusi  

Menurut Prof. Dr. Pantja Astawa, dalam konteks ini menjadi urgen dan strategis keberadaan BPIP untuk  secara kontinew dan konsisten mengedukasi atau mensosialisi/ memasyarakatkan Pancasila dengan menggunakan metode dialogis (bukan doktriner) serta memanfaatkan media cetak, elektronik, dan media sosial yang dikemas ke dalam berbagai bentuk acara atau agenda yang bersifat nasional. Menghidupkan dan memasukkan kembali mata kuliah Pancasila dalam kurikulum pendidikan Dasar, Menengah sampai Pendidikan Tinggi. Selain itu, menyebar luaskan buku – buku atau tulisan – tulisan tentang Pancasila secara masif.

Last but not least, adalah siapa atau lembaga apakah yang memiliki otoritas untuk memaknai (Sila – Sila) Pancasila, baik secara filosofis, sosiologis, yuridis, politis, historis, ataupun secara kultural, sehingga kelak menjadi pegangan kita bersama dan tidak menimbulkan multi tafsir sebagaimana yg terjadi selama ini, yaitu Pancasila di tafsirkan sesuai dengan kepentingannya dan bersifat parsial atau sektoral.

Belajarlah dari sejarah  dan jangan sekali – kali melupakan sejarah Bangsa mu pada masa lalu, agar kita bisa belajar dan memetik hikmah dan kesalahan masa lalu dijadikan pembelajaran masa kini****

*Penulis adalah Praktisi hukum dan pemerhati sosial budaya hukum politik dan sejarah Bangsa

Berita Terkait