Membangun Peradaban Bangsa Berdasarkan Karakter Warisan Leluhur dalam Perspektif Keindonesiaan

by Nano Bethan
99 views
Opini

Oleh.: Agus Widjajanto*

 DUNIA seakan dalam genggaman, fenomena saat ini  dimana kemajuan Teknologi Informasi yang begitu pesat membuat batas negara antara yang satu dengan yang lain seakan sangat Abcurd (Kabur). Semua manusia dari Bangsa, Ras, Agama, dan strata sosial apapun bisa mengakses atau mengetahui kejadian di belahan bumi manapun  dengan cepat.

Bandingkan dengan tahun 1950 sampai  1970-an, ketika itu informasi hanya diperoleh lewat radio dan media cetak, yang sangat terbatas sehingga informasi terlambat diperoleh masyarakat. Segala kemajuan Tekhnologi tentu ada ekses atau akibat  yang ditimbulkan khususnya kepada generasi muda Bangsa, yang telah dengan mudahnya meniru budaya asing yang dianggap lebih simpel dan modis. Berakibat, generasi Milenial telah kehilangan jati diri dan sangat minim memahami sejarah dan warisan leluhur bangsa ini.

Dahulu dibelahan dunia belum mengalami kemajuan budaya, di Nusantara khususnya di Jawa telah mengalami kemajuan peradaban sebuah bangsa yang besar. Akan tetapi akhir – akhir ini yang lagi ramai di media sosial adalah adanya klaim secara sepihak dari keturunan Bangsa tertentu, yang menyatakan bahwa Indonesia ada dan menjadi negara mayoritas Moeslim adalah karena peran dari para leluhur mereka.

Baca juga: Mencintai Bangsa dan Negara Merupakan Tanda Keimanan, Hubbul Waton Minal Iman

Leluhurnya  yang mengislamkan Indonesia, khususnya di Jawa, bahkan ide Indonesia merdeka, Bendera Merah Putih adalah karena upaya mereka yang merasa sebagai keturunan yang lebih ningrat secara keagamaan. Oleh beberapa oknum telah merendahkan kaum Agamawan Pribumi sebagai pemilik dan keturunan dari leluhur Negeri ini.

Mereka tidak paham akan sejarah dan karakteristik dari masyarakat Asli Indonesia  yang terdiri berbagai suku dan ratusan bahasa daerah, adat istiadat, yang awalnya tercerai berai karena politik imperialisme/kolonialisme Eropa. Pendiri bangsa atau Founding Father kita sadar betul akan selalu terulang bentuk dari penjajahan di dunia ini, baik secara ekonomi, Politik, budaya dan agama.

Sehingga mereka membentuk Dasar Negara sebagai Falsafah Bangsa serta pandangan hidup Bangsa (Weltanschauung) dan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, justru menggali dari nilai – nilai luhur dari Para leluhur Negeri ini, baik melalui hukum adat yang tidak tertulis maupun manuskrip tulisan sejarah, salah satunya adalah Kitab Kakawin Negara Kertagama.

Dalam auto biografi Bung Karno, Proklamator dan Presiden pertama Republik Indonesia, “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat” halaman 20 ditulis, “Aku tidak mengatakan, bahwa aku menciptakan Pancasila. Apa yang dikerjakan hanyalah menggali jauh kedalam bumi kami, tradisi – tradisi kami sendiri  dan aku menemukan lima butir mutiara yang indah” dalam kitab Kakawin Nagara Kertagama, yang berbahasa Jawa kuno ditemukan pertama kali di Pulau Lombok oleh peneliti Belanda pada tahun 1894 Masehi.

Baca juga: Paradigma Para Pendiri Bangsa Membuat Aturan Pasal Dalam UUD Negara, Presiden Harus Orang Indonesia Asli   

Kitab tersebut ditulis oleh Mpu Prapantja, dimana diakui oleh UNESCO bahwa  Nagara Kertagama memberikan kesaksian pemerintahan seorang Raja pada abad k-14 Masehi di Indonesia, dimana ide – ide modernnya yakni  Keadilan Sosial, Kebebasan Beragama, Keamanan Pribadi  dan Kesejahteraan Rakyat sangat dijunjung tinggi.  Naskah Kakawin Nagara Kertagama telah diakui oleh kalangan Internasional , dan secara resmi masuk dalam daftar Memory of  the World UNESCO.

Perjalanan sejarah Bangsa Indonesia yang dulu disebut Nusantara, berjalan begitu runtut dari abad keabad. Sebelum manusia penjelajah Eropa menemukan benua Amerika dan benua lain, antara abad 0 sampai abad Pertama, sebenarnya nenek moyang bangsa ini sudah mengarungi samudera, dengan kapal – kapal yang terbuat dari kayu jati  menjelajah sampai  Taiwan, Afrika Timur, Selandia Baru dan  Madagaskar.

Jauh sebelum Imperium Majapahit maupun Sriwijaya, dan Mataram Hindu ada, sudah melakukan penjelajahan untuk berniaga dengan manusia di seberang lautan samudera. Bangsa yang mendiami kepulauan  Nusantara adalah bangsa yang silih berganti datang dan melakukan hubungan.

Baca juga: Antara Anyer   Panarukan, Tragedi dan Solusi  

Pada awalnya bangsa Nusantara ini mendapat gelombang imigrasi dari Yunnan, China bagian Selatan (Teory Open Heymar, Mencairnya Es, Tenggelamnya Benua Sunda/Sunda land). Bangsa yang datang dari Yunnan ini kemudian berakulturasi dan saling bertukar budaya dengan penduduk lokal yang mendiami Nusantara. Sejarah bangsa ini semakin berkembang cepat setelah mereka belajar sistem tulisan dari Bangsa India yang menyebut dirinya Bangsa Bharata, karena letak India disebelah barat Nusantara.

Hal ini berakibat adanya tulisan – tulisan dari peninggalan leluhur bangsa kita, berupa temuan temuan prasasti dari masa kerajaan  Kutai, Tarumanegara diJawa barat, Sriwijaya di Jambi dan Palembang, serta Mataram Hindu dan Kalingga Jepara yang mempengaruhi corak kerajaan di Sulawesi  dan Kalimantan  serta Philippines.

Dari uraian teks Kakawin Nagara Kertagama, para ahli dapat merekonstruksi keadaan sosial, politik, kebudayaan dan keagamaan pada saat itu. Dimana  penuh toleransi, berdampingan penuh kekeluargaan, yang menunjukan bahwa Majapahit saat itu betapa maju dan luas serta tingginya kebudayaan dan peradaban yang dicapai.

Sistem sosial dan sistem kekuasaan yang demikian luas wilayah kekuasaan  geografinya, menunjukan bahwa Majapahit mengalami masa keemasan  dan kegemilangan. Bangsa Nusantara ini, mengenal siklus kegemilangan dan keemasan setiap 700 tahun.

Baca juga: Penyebaran Islam oleh Keturunan China di Nusantara  dan Peran Raja – Raja Jawa dalam Membangun Peradaban Islam

Nilai nilai dari Pancasila sendiri tertulis dalam Kakawin Nagara Kertagama , pada Pupuh ke 43 ayat 2 yang berbunyi “Nahan hetu Narendra Bhakti RI padha Sri Sakya sinhasthiti, yatnagegawhan i Pantjasila kertasansekerta rabishe kakrama, lumra nama jinabhiseka nira San Sri jnana bajres’ wara, tarkka wyakaranadhisastran inaji Sri Natha wijnanulus”

Pupuh ini berarti,  Alasan sang Raja mantab berbakti pada kaki Sri Singha Sakya karena berusaha memegang teguh pada Pancasila, lima kaidah tingkah laku utama, diresmikan dalam tata upacara penobatan. Nana gelarnya menurut pentabisan adalah Sri Jnana Bajreswara, kebijaksanaan , hingga ilmu kesempurnaan/ Ketuhanan  tinggi karena memegang teguh tata cara adat, kitab suci, agama dan kepercayaan luhur.

Dalam Kitab Kakawin Nagara Kertagama juga menulis , bunyi Sumpah Amukti Palapa dari Maha Patih Gajahmada, yang saat itu bercita cita akan menyatukan Nusantara, agar bisa terjaga kehidupan yang tentram damai mencapai kesejahteraan bersama , dalam satu naungan panji – panji Majapahit.

Tulisan tersebut “Lamun huwus kalah Nusantara Isun Amukti Palapa, Lamun huwus kalah ring Gurun, ring Seran, ring Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, ring Dompo, Bali,Tumasik, Sunda, Palembang,  Samana ingsun Amukti Palapa ” Kepulauan Nusantara selalu disertai matahari sepanjang hari, yang diungkapkan penuh hati yang menunjuk pada Hati, Jiwa, Sukma, Atma, rohani kita.

Baca juga: Sejarah Kelam Sistem Khilafah dan Latar Belakang Berdirinya NKRI dari Perspektif Sejarah

Kakawin Nagara Kertagama ditulis begitu indah dan hening kejayaan Majapahit, Pemerintahan Raja Hayamwuruk, dari seorang maestro pujangga yaitu Mpu Tantular. Beliau adalah penganut agama Bhuda Mahayana, akan tetapi menulis kisah Raja – Raja dan Negara yang agama resmi nya Hindu Siwa, dengan politik hukum bercorak Hindu Siwa.

Disinilah kehebatan seorang Mpu Prapantja, karena dengan demikian karya pujangga beliau bisa memberikan dan meninggalkan catatan sejarah serta karya sastra tinggi.  Menjadi sumber inspirasi bagi generasi berikutnya, yaitu lahirnya nilai – nilai Pancasila,  yang pada tanggal 18 Agustus 1945 dijadikan sebagai Dasar Negara, merupakan Falsafah hidup serta jati diri bangsa Indonesia.

Bahwa bentuk toleransi dari Mpu Prapanca, penganut Budha tapi berkarya secara hening, rame ing gawe sepi ing pamprih, untuk sebuah kerajaan besar Majapahit yang identik dengan Kerajaan Hindu. Bentuk toleransi ini menjadi sangat luar biasa senapas dengan semboyan dalam kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular , yakni “Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa”, yang bermakna,  “Walaupun Berbeda –  beda namun Satu Jua, Tidak Ada Darma, Kebaikan dan Kebenaran yang Mendua”.

Bangsa  Indonesia yang dulu disebut Nusantara adalah anak cucu dan generasi penerus  dari Majapahit ini sebagai bangsa Nusantara dengan peradaban dan   budaya yang adi luhung (sangat tinggi). Sebelum Bangsa lain berbudaya dan menjelajahi dunia ditemukan benua – benua baru, dan bangsa eropa (Portugis, Belanda) mencari rempah – rempah sebagai bahan penghangat tubuh untuk iklim dingin.

Baca juga:  Kampung Sayyidan dalam Sejarah Perang Diponegoro dan Peran Kaum Ba’alawi Menurut Sejarawan

Berdasarkan catatan dan penulisan penjelajah Portugis pada pertengahan abad ke-16, yaitu Diego de Couto. Dalam buku Da Asia, terbit pada tahun 1645 Masehi, menyebutkan orang Jawa lebih dahulu berlayar sampai ke Tanjung Harapan, Afrika dan Madagaskar.  Diego De Couto mendapati penduduk Tanjung Harapan awal abad ke-16 berkulit coklat seperti orang Jawa.

Seperti yang dikutip oleh Anthony Reid dalam buku sejarah Modern awal Asia Tenggara. Hal itu diperkuat dengan peninggalan arkeologi berupa relief pada candi Borobudur yang tergambar relief Kapal Jung Jawa yang berlayar mengelilingi samudera untuk perdagangan dan ekspansi politik saat itu, merupakan kapal termodern pada jamannya . Dari situlah bisa diketahui bahwa bangsa nenek moyang Indonesia sudah lebih dahulu punya peradaban dan budaya yang adi luhung, yang sudah  terbiasa hidup rukun damai, berdasar musyawarah dan mufakat dalam menyelesaikan perbedaan dan masalah yang  dihadapi.

Oleh karena itu, jangan ajari kami cara berdemokrasi , yang selalu dengan slogan hak asasi manusia kebebasan berekpresi dan berpendapat, karena UNESCO sendiri telah mengakui kitab warisan dari nenek moyang kami yakni Kakawin Nagara Kertagama merupakan warisan dunia, yang mengajarkan ide – ide modern keadilan sosial , kebebasan beragama, keamanan pribadi , dan kesejahteraan rakyat. Dijunjung tinggi dalam konstitusinya sejak jaman dahulu kala hingga lahir nya Indonesia sebagai negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1945.

Baca juga: Four’as Politica Dalam Pembagian Kekuasaan di Era Negara Demokrasi Modern Saat Ini

Demikian juga menyangkut aturan hukum yang diterapkan pada masyarakatnya,  sebelum Bangsa Eropa mengkodifikasi hukum pidana sebagai hukum negara dalam mengatur tatanan masyarakatnya, kerajaan Kalingga sudah menulis dan menciptakan dogma aturan tatanan hukum pidana yang dinamakan  kitab “Kalingga Dharma Sastra”.

Terkenal dengan potong tangan dan ibu jari kaki  dalam menegakan aturan hukum masyarakatnya. Seperti yang tertulis dari laporan penjelajah Tiongkok pada jaman Dinasti Tang pada pertengahan   tahun 648 hingga tahun 674 Masehi. Saat berdirinya Kerajaan Kalingga yang terletak di lereng gunung Muria  bagian Utara, yang saat ini  masuk Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, Jawa tengah.

Guru Besar Senior Hukum Tata Negara dari Universitas Padjadjaran Bandung, Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, pernah memberikan ulasan soal sejarah bangsa dengan mengutip kembali slogan “JAS MERAH”-nya Bung Karno, menjadi relevan untuk menghidupkan kembali mata pelajaran Sejarah Indonesia (dari masa kerajaan – kerajaan dengan berbagai peninggalan atau warisan yang pernah ada di Bumi Nusantara, baik Kerajaan yang bernafaskan Hindu dan Budha maupun bernafaskan Islam.

Guru Besar asal Bali ini mengatakan, peranan Sejarahwan menjadi penting dan strategis di dalam mentorehkan tintanya mendeskripsikan secara objektif, lugas dan bernas dengan melakukan penelitian terhadap naskah – naskah kuno berupa lontar, prasasti, manuskrip dan jejak-jejak sejarah masa lampau perjalanan bangsa ini.

Baca juga: Berdirinya Negara Kesatuan, Politik Agama dan Tuhan Yang Esa

Dari sejarah itu generasi sekarang dan generasi mendatang dapat memahami dan mengerti betapa sejarah bangsa ini memiliki budaya adi luhung, memiliki peradaban yang tinggi, memiliki sejuta kearifan lokal, memiliki dan memendam mutiara – mutiara kehidupan yang luhur, memiliki pola kehidupan kemasyarakatan dan ketatanegaraan yang mendasar, dan memiliki norma-norma serta nilai-nilai moral dan hukum yang bersubstansikan kedamaian dan keadilan.

Menurut Prof. Pantja Astawa, semua itu merupakan legacy yang tak ternilai harga dan maknanya untuk menatap dan menapaki kehidupan bangsa ini ke depan. Sekaligus membentengi bangsa ini dari pengaruh isme – isme agama, idiologi, budaya dan berbagai bentuk “penjajahan” dari luar, baik penjajahan ekonomi, politik, sosial dan lain sebagainya.

Harus kita akui para pendiri bangsa kita yang saat itu para pemuda terpelajar hasil didikan pendidikan barat, punya komitmen dan pola pikir dengan jangkauan jauh kedepan melampaui jamannya. Telah menciptakan Dasar Negara dan hukum dasar bagi soko guru  berdirinya sebuah negara yang digali  dari nilai – nilai luhur peninggalan tulisan sastra, dari pujangga – pujangga nenek moyang nya pada masa kejayaan dan keemasan  kerajaan Majapahit.

Rasa Nasionalisme dan Kebangsaan yang begitu menggelora  perlu jadi suri tauladan bagi generasi muda sekarang yang mulai terkikis oleh budaya asing. Berakibat terjadi degradasi Moral dan melemah jiwa Nasionalisme dengan adanya kemajuan tekhnologi informasi dan digital yang seolah olah tidak ada lagi batasan sebuah negara dengan negara lain. Ini yang perlu kita renungkan bersama agar kita tidak kehilangan jati diri sebagai sebuah bangsa, yaitu Keindonesiaan****

 

*Penulis adalah Praktisi Hukum di Jakarta, Pemerhati Sosial, Budaya, Hukum dan Politik.

Berita Terkait