Indonesia Negara Demokrasi, Seharusnya Menganut Sistem Presidential atau Parlementer?  

by Nano Bethan
83 views
Praktisi Hukum

Oleh: Agus Widjajanto*

 TABLOIDDICTUM.COM- Proklamasi yang dikumandangkan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta, 17 Agustus 1945 merupakan tonggak dimulainya kemerdekaan Bangsa Indonesia. Secara De Jure dan De Facto, berdirinya sebuah Negara baru ditentukan sehari setelah Proklamasi, yakni   pada tanggal 18 Agustus 1945 setelah disahkannya Hukum Dasar tertulis yakni UUD Negara Kesatuan RI 1945 dan Pancasila sebagai dasar Negara.

Jauh  sebelum hari  Kemerdekaan,  para pendiri bangsa atau  Founding Father telah belajar dan mengamati suatu sistem pemerintahan yang tepat saat nanti Indonesia Merdeka. Founding Father lebih condong meniru konsep dari sistem Presidential pada Negara Eropa dan Amerika, dimana parlemen merupakan lembaga Legislatif yang berperan sebagai pengontrol atas kekuasaan Eksekutif (yakni Presiden ) melalui partai politik oposisi yang tidak berkuasa.

Khusus Indonesia, sistem tersebut memang didesain dimana  Presiden disamping sebagai Kepala Pemerintahan juga sebagai Kepala Negara dan Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata (Angkatan Perang) seperti halnya Presiden Amerika Serikat.

Baca juga: Pembentukan Komisi –  Komisi yang Dilahirkan Masa Reformasi, Apakah Efisien dan Memenuhi Rasa Keadilan Masyarakat ?

Ciri dari Indonesia menerapkan sistem yang berbasis Presidential, kekuasaan yang menganut sistem Trias Politika,  kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif untuk mewujudkan adanya keseimbangan, mengontrol jangan sampai kekuasaan Presiden selaku kepala eksekutif tidak terbatas. Di era Pemerintahan Orde Lama yakni era Demokrasi Liberal (1950 – 1959), dikenal dengan era Demokrasi Parlementer dimana presiden Soekarno memerintah menggunakan kontitusi UUD Sementara Republik Indonesia 1950.

Ketika Pemilihan Umum pertama pada tahun 1951, tercata dalam sejarah ada kabinet Wilopo dan 100 menteri dari Partai Politik yang jumlahnya mencapai puluhan saat itu, menimbulkan ketidak stabilan secara politik. Adanya desakan dan usulan dari Tentara AD saat itu agar Presiden melakukan Dekrit Presiden pada tanggal 5 juli 1959 untuk kembali lagi kepada UUD 1945 yang berbasis sistem Presidential.

Belajar pada kesalahan sebelumnya maka pada saat masa berkuasanya Orde Baru, setelah melihat situasi politik adanya pemilihan umum pada tahun 1971, maka Partai Politik dilebur, tidak lagi berjumlah puluhan partai politik akan tetapi menjadi dua Partai Politik yakni yang berbasis agama dan nasionalis serta Golongan Karya. Hal ini untuk memperkuat kedudukan Presiden yang bukan hanya menjabat sebagai Kepala Pemerintahan tetapi  juga sebagai Kepala Negara.

Baca juga: Membangun Peradaban Bangsa Berdasarkan Karakter Warisan Leluhur dalam Perspektif Keindonesiaan

Parlemen dalam hal ini wakil dari Partai Politik yang duduk di DPR, sebagai kekuatan pengontrol dan penyeimbang agar kekuasaan presiden tidak absolut tanpa batas dan kembali pada  UUD 1945 saat awal berdirinya Negara. Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat  (MPR) sebagai suatu Lembaga Tertinggi, penjelmaan suara rakyat, yang tidak hanya terdiri dari seluruh anggota DPR dari Partai Politik, akan tetapi juga dari Utusan Daerah, yakni tokoh dari daerah, Gubernur, Bupati/Walikota ditambah utusan golongan yang terdiri dari tokoh agama, masyarakat adat, Sultan/ Raja yang masih memiliki otonomi.

Sistem  yang didesain dari Pemerintahan Adat Desa, yang digagas oleh Mr. Soepomo (sesuai dan sejalan dengan Sila ke empat dari Pancasila)  tetapi dalam lingkup Negara, berskala Nasional. Dari jejak sejarah, sistem itulah yang lebih ideal untuk Indonesia sebagai Negara yang Pluralisme, dengan Demokrasi mempunyai ciri khas dan karakteristik tersendiri yang  menerapkan Ruh ke-Indonesiaan. Kebebasan yang bertanggung jawab dengan sistem semi Demokrasi Terpimpin, bukan Demokrasi Liberal ala Eropa dan Amerika Serikat .

Namun ada beberapa hal yang perlu jadi perhatian, bahwa Pendiri Bangsa memang terilhami adanya sistem politik dari  Eropa dan Amerika Serikat saat itu, Partai Politik dikelompokkan dalam dua golongan yakni Partai Republik dan Partai Liberal. Di Indonesia, oleh para Pendiri Bangsa disesuaikan dengan alam politik di bekas jajahan Hindia Belanda ini,  dikelompokan  golongan agamis  dan nasionalis.

Baca juga: Mencintai Bangsa dan Negara Merupakan Tanda Keimanan, Hubbul Waton Minal Iman

Dimana yang kalah dalam Pemilihan Presiden berdasarkan musyawarah mufakat dalam sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat didaulat menjadi Oposisi sebagai penyeimbang dan pengontrol kebijakan yang dirasa tidak baik dan tidak berpihak kepada kepentingan  rakyat. Itu sebenarnya tujuan awal saat itu, tetapi sayangnya Bung Karno memasukan satu partai lagi yakni partai sosialis, Partai Komunis Indonesia.

Karena tidak konsisten dengan politik bebas aktif, justru terjebak dalam perang dingin dan ikut terseret membentuk poros Pyongyang Peking Moskow. Para Pendiri Bangsa berkiblat pada Demokrasi dalam teory Trias  Politika yang mengadopsi sistem Presidential.  Hal ini bisa kita lihat pada UUD 1945 Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Sedangkan pada pasal 4 ayat 1 dijelaskan, Indonesia menganut sistem Pemerintahan Presidensial dengan kekuasaan tertinggi ada ditangan Presiden.

Namun dalam perkembangannya, saat reformasi bergulir, setelah jatuhya Pemerintahan Orde Baru Mei 1998 dan amandemen UUD 1945 serta dipicu ketika Presiden Abdulrahman Wahid yang  akan membubarkan DPR karena dianggap tidak sejalan, maka terjadi pergeseran sistem. Anggota DPR  yang merupakan wakil dari Partai Politik kembali menjadi multi Partai Politik seperti Pemilu tahun 1971.

DPR  tidak hanya berperan sebagai pengontrol kekuasaan akan tetapi sudah menjelma menjadi lembaga kekuasaan baru, sebagaimana pasal pasal UUD 1945 salah satunya adalah dalam pasal 20 Ayat 1 UUD 1945 yang diamandemen pertama yang berbunyi, DPR memegang kekuasaan membentuk Undang –  Undang dan Ayat 2, Setiap rancangan Undang –  Undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.

Baca juga: Paradigma Para Pendiri Bangsa Membuat Aturan Pasal Dalam UUD Negara, Presiden Harus Orang Indonesia Asli   

Dengan demikian format awal dari Kontitusi sebagai hukum dasar tertulis telah dirubah menjadi  penentu. Sebagai pihak yang harus punya kekuasaan disamping mempunyai fungsi legislasi dan fungsi anggaran sekaligus fungsi pengawasan, termasuk juga untuk menyetujui  adanya penujukan Pejabat Tinggi Negara non Departemen, seperti Kapolri, Panglima TNI, Kepala BIN, Hakim Agung, Pemilihan Komisioner KPK  dan jaksa Agung RI. Ini tentu mempunyai implikasi, kekuasaan Eksekutif yakni Presiden sudah diambil alih yang sebenarnya merupakan Hak Prerogratif seorang Kepala Pemerintahan dan kepala Negara.

Pengangkatan para pejabat ini yang  harus mendapat persetujuan  DPR maka  sering terjadi tarik menarik kepentingan, dimana Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan seperti tersandera, termasuk dalam menentukan Menteri dalam Kabinet.

Presiden tidak lagi bisa dengan bebas memilih anak – anak Bangsa terbaik untuk mengisi jabatan – jabatan strategis seperti jaman Presiden Soeharto dalam menunjuk menteri dan petinggi penegak hukum.  Mau tidak mau, suka tidak suka, ujung – ujungnya harus berkoalisi menggandeng Partai Politik yang sejalan atau   terjadi koalisi beberapa partai politik, untuk memperkuat suara di parlemen agar Presiden tidak terganjal dalam mengambil kebijakan.  Ini merupakan kemunduran dalam politik di Indonesia, khususnya  dalam kehidupan  berdemokrasi.

Baca juga: Berdirinya Negara Kesatuan, Politik Agama dan Tuhan Yang Esa

Ibarat  mata rantai yang tiada ujung termasuk adanya penegakan hukum di Indonesia, disebabkan sistemnya yang memang  tidak ada kekuasaan yang dominan untuk memilih dan menunjuk posisi jabatan – jabatan strategis karena harus berkompromi dengan kekuatan politik dalam Partai Politik itu sendiri. Dalam sistem Multi Partai seperti sekarang ini, penuh dengan transaksional yang muaranya dari hulu ke hilir juga akan berimbas. Segala sesuatu dihitung secara transaksional sesuai dengan hukum dagang, yang bisa kita nikmati dan lihat saat ini dalam dunia peradilan di Indonesia.

Dengan kata lain, Indonesia tidak  lagi menerapkan sistem Presidential murni tapi sudah semi Parlementer. Begitu kuatnya  peran DPR dalam pengambilan kebijakan,  harus mendapat persetujuannya. Padahal Presiden dipilih langsung oleh Rakyat bukan melalui MPR, walaupun begitu peran Partai politik beserta para elitnya   sebagai lembaga politik sangat dominan dalam menentukan kebijakan, yang sebenarnya merupakan pengejawantahan dari suara  wakil rakyat.  Dalam Teori politik disebutkan bahwa  suara rakyat adalah suara Tuhan (Vox Populi Vox Dei), akan tetapi yang terjadi adalah rakyat hanya dimanfaatkan saat Pemilu berlangsung, setelah itu kekuasaan penuh ada ditangan Elit Partai.

Hal ini diharapkan menjadi pemikiran dari para pengambil keputusan dalam Pemerintahan baru, yang dilantik bulan Oktober mendatang. Agar bisa melakukan  terobosan yang berani untuk demokrasi di negeri ini, kembali kepada Demokrasi Pancasila, yang bernafaskan falsafah luhur bangsa serta sebagai pandangan hidup bagi seluruh anak bangsa. Tanpa membedakan Ras, Suku, Agama dan Strata Sosial,  Adil bagi semua, makmur bagi semua.

Baca juga: Penyebaran Islam oleh Keturunan China di Nusantara  dan Peran Raja – Raja Jawa dalam Membangun Peradaban Islam

Fenomena  ini merupakan salah satu ekses dari berpuluh – puluh  masalah yang ada, yang terjadi pada Negara kita akibat sistem yang telah di ambil oleh para elit politik pasca tumbangnya Orde Baru. Membayangkan bahwa membangun sebuah Imperium baru yang bernama Reformasi dalam waktu sekejap agar bisa mendapat kebebasan yang sebebas – bebasnya dalam menyampaikan ispirasi dan pendapat yang dijamin sesuai Slogan Hak Asasi Barat.

Apakah kita menganut Demokrasi Pancasila, sesuai tujuan awal  dalam sistem ketatanegaraan kita  yang dibentuk oleh para Founding Father saat berdirinya negara Kesatuan R I ini atau sebenarnya sudah terjebak dalam    sistem Demokrasi Liberal?

Silahkan para pembaca yang budiman untuk memikirkan sendiri atas jawaban tersebut sambil merenung dan mengingat kembali sejarah masa lalu dari Bangsa ini, sejak Indonesia Merdeka hingga sekarang dengan pasang surutnya situasi politik. Jangan sekali kali melupakan sejarah, karena kejadian masa lalu penentu hari ini, dan situasi hari ini merupakan penentu masa yang akan datang .

Fenomena lain adalah situasi di masyarakat menyangkut perseteruan antara Ulama Nusantara (Bumi Putera) dan pendukungnya dengan keturunan imigran dari klan  Baalawi dari Yaman yang semakin memanas. Saling hujat dan serang serta provokasi  melalui media sosial,  yang sudah menjurus meng-inlander-kan ulama asli Nusantara. Bahkan ada oknum tokoh dari mereka yang jelas – jelas telah memanipulasi sejarah kemerdekaan bangsa ini, memanipulasi penyebaran agama tertentu di Nusantara, memalsukan makam – makam.

Baca juga: Four’as Politica Dalam Pembagian Kekuasaan di Era Negara Demokrasi Modern Saat Ini

Bahkan mengatakan keturunan mereka bisa membentak malaikat munkar nakir, menghidupkan orang mati yang sudah ratusan tahun, saat Proklamasi harus mendapat restu dan memilih hari yang tepat untuk dilakukan.  Ini merupakan fenomena yang tidak main – main, lebih berbahaya dari pada kejahatan terorisme dan narkotika karena dampaknya secara masif dan terstruktur sehingga ditakutkan dalam sepuluh tahun kedepan bisa merubah sejarah bangsa ini.

Saat kita – kita sudah tidak ada lagi maka anak cucu kita akan percaya atas klaim tersebut. Lebih miris nya lagi negara seolah tidak pernah hadir, seolah dilakukan pembiaran terjadinya konflik horisontal, tidak ada tindakan, padahal oknum dari mereka  telah jelas – jelas melakukan provokasi mengancam terjadinya  kerusuhan besar di negeri  ini, jika kaum klan mereka tidak dihormati dan nazab mereka dipersoalkan sebagai keturunan Nabi.

Ini adalah contoh paling konkrit saat ini, tindakan provokasi dan membelokan sejarah Bangsa serta menebar ancaman kerusuhan adalah masuk delik formil. Penegak hukum sebagai wakil negara dalam hal ketertiban dan keamanan, bisa langsung bertindak tanpa harus menunggu adanya laporan dari masyarakat, karena tindakan para oknum habib dan habaib tersebut bukan masuk ranah delik aduan tetapi murni delik formil.

Baca juga: L I D A H, Ibarat Mata Uang Koin yang Mempunyai Dua Sisi

Tapi sayangnya, ini tidak dilakukan,  terkesan adanya pembiaran dalam masa transisi kepemimpinan dalam satu bulan kedepan. Tanpa disadari bisa mengarah pada konflik horisontal sehingga harus dipikirkan bersama secara jernih dan cermat. Semua kejadian demi kejadian  merupakan imbas dari sistem ketatanegaraan yang ambivalen, yang tidak tegas  apakah kita menganut sistem Parlementer ataukah menganut sistem Presidential.

Apabila murni menganut sistem   Presidential maka kekuasaan Ppresiden tidak akan ragu dan dengan tegas untuk mengambil tindakan. Sejarah membuktikan, saat Presiden Soeharto berkuasa, tidak akan ada masalah masalah horisontal seperti ini, apalagi yang menjurus pada manipulasi sejarah, karena bagi sebuah Negara Hukum yang berdaulat, ketertiban dan keamanan  demi kepentingan masyarakat yang lebih besar adalah diatas segala galanya. Adanya sistem yang ambivalen,  berakibat dari hulu hingga hilir mengalami persoalan persoalan yang terus menerus*****

*Penulis adalah praktisi hukum di Jakarta, Pemerhati Politik, Hukum, Sosial Budaya dan Sejarah Bangsanya

Berita Terkait