Saatnya Mengembalikan Marwah MPR, Mewakili Suara Rakyat Suara Tuhan

by Nano Bethan
43 views
Opini

Oleh.  : Agus Widjajanto*

DICTUM.COM – Tidak heran dan mengagetkan apabila seorang tokoh sekaliber Prof. Amien Rais, mengaku telah naif dan kilaf saat mendorong reformasi yang berujung pada keputusan melakukan Amandemen Kontitusi kita sebagai Hukum Dasar Dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, yakni UUD 1945. Amandemen yang dilakukan sampai empat kali itu, telah merubah Sistem Ketatanegaraan yang awalnya didesain dengan sistem Kerakyatan.

Dimana manivestasi dari suara rakyat yang merupakan Suara Tuhan lewat sebuah Majelis yang bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat. Diganti dan diubah menjadi sistem pemilihan langsung dalam Pemilihan Umum.  Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, dipilih langsung oleh Rakyat, yang diusung dan diajukan oleh Partai Politik dan atau gabungan dari beberapa Partai Politik.

Rasa bersalah dari seorang Amien Rais bisa dipahami, karena bukan saja telah meluluh lantakan sistem dan desain awal dari Sistem Ketatanegaraan yang dirancang para pendiri bangsa, akan tetapi juga membuka peluang terjadinya sistem feodal dengan melakukan. Nepotisme dan tindakan korupsi yang berjalan masif dalam alam demokrasi pada Jaman Reformasi, yang dulu diharapkan adanya perubahan besar dari sistem yang dianggap otoriter kepada Demokrasi.

Baca juga: Perlu Segera Dilakukan Amandemen Terbatas Untuk Memperbaiki dan Mengembalikan Marwah UUD 1945

Akan tetapi yang terjadi justru terjadinya degradasi moral dan sistem yang memberikan ruang kepada nepotisme dan korupsi yang sangat masif dinegara ini. Biaya atau cost yang ditimbulkan sangat sangat besar dalam setiap hajatan Demokrasi. Bahkan bangunan Istana Negara yang dulu ditinggali oleh Bung Karno, Istana Bogor maupun Istana Merdeka di jalan Medan merdeka Utara dianggap sebagai sesuatu yang berbau kolonialisme.

Padahal saat Bung Karno yang mencanangkan gerakan Non Blok dan menggelorakan revolusi bagi Bangsanya dan menginspirasi bangsa – bangsa dunia ketiga di Asia dan Afrika, bertempat tinggal di Istana dan gedung yang sama. Pikiran adalah sebuah ide yang bisa membuahkan suatu fenomena perubahan ataukah justru yang membuahkan kesesatan tergantung dari kita mengendalikan dalam konteks tujuan .

Saat Bung Karno menggali nilai – nilai luhur dari berbagai adat istiadat dan kebiasaan yang telah hidup dan tumbuh di Bumi Nusantara, dalam pidatonya  menyatakan, “Alam itu aku menggali didalam ingatanku, menggali dalam ciptaku, menggali didalam khayalku, apa yang terpendam didalam bumi Indonesia ini, agar supaya dari hasil dari penggalian itu dapat dipakai sebagai Dasar Negara bagi Negara yang akan datang”.

Baca juga: Tommy Soeharto Layak Ambil Alih Kursi Ketua Umum Partai Golkar

Kakawin Nagara Kertagama yang ditulis  dari bahasa Jawa kuno , oleh Mpu Prapantja, yang ditemukan pertama kali di Pulau Lombok, Nusantara Tenggara Barat  pada tahun 1894, pertama disebut Kakawin Desa Warnana, yang melukiskan tentang Pemerintahan saat itu dalam wilayah kerajaan Majapahit ,sebagai mana termuat dalam bait (Ngk.pupuh 94: 4).

Naskah Kakawin Nagara Kertagama ini menjadi sangat menarik dan istimewa, memberikan keterangan langsung mengenai kondisi dan adat istiadat serta sistem pemerintahan baik lokal (Daerah dalam lingkup Kadipaten), Desa, maupun Pusat Kerajaan mengenai masyarakat Jawa kuno pada suatu masa tertentu, dilihat dari sudut tertentu.

Inilah sebenarnya yang menginspirasi para pendiri bangsa kita (Founding Father) dalam membentuk sebuah konsep berdirinya Negara Kesatuan yang kemudian dikenal dengan nama Indonesia. Nagara Kertagama merupakan Kitab sumber nilai –  nilai Pancasila yang kemudian menginspirasi Bung Karno dalam menyusun Dasar Negara Republik Indonesia. Termasuk, Mr. Moh Yamin dan Mr. Soepomo  dalam memberikan masukan konsep tentang Dasar Negara  dan sistem ketatanegaraan dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).

Bung Karno dalam Auto Biografinya,  Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, halaman 240 menulis, “Aku tidak mengatakan  bahwa aku menciptakan Pancasila, apa yang aku kerjakan hanyalah menggali jauh kedalam bumi kami, tradisi – tradisi kami sendiri, dan aku telah menemukan lima butir mutiara yang indah”.

Baca juga: Indonesia Negara Demokrasi, Seharusnya Menganut Sistem Presidential atau Parlementer?  

Naskah Nagara Kertagama juga telah diakui oleh kalangan International dan secara resmi masuk dalam daftar Memory Of The World UNESCO . Bahwa  dalam pupuh 43 dalam Kitab Nagara Kertagama, dituliskan oleh Mpu Prapanca, “Agar kiranya berusaha memegang teguh pada Pancasila, lima kaidah tingkah laku utama”. Disinilah sebenarnya sumber inspirasi dari para Pendiri bangsa yang lalu digali dan dirangkum menjadi sila – sila dalam Pancasila.

Berbicara tentang sistem ketatanegaraan kita, tidak bisa dilepaskan dari pendapat dari Mr. Soepomo, yang merupakan “Ikon” penting dalam dunia politik hukum di Indonesia. Dalam pidatonya tanggal 31 Mei 1945 didepan BPUPKI, Soepomo mengemukakan dan melontarkan gagasan tentang “Negara Integralistik” sebagai bentuk paling tepat bagi Indonesia suatu hari nanti saat merdeka.

Gagasan ini pulalah yang dikemudian hari menjadi inspirasi pada saat disusunnya Undang – Undang Dasar 1945 ( UUD 1945). Kontroversi yang mengemuka saat itu adalah ide model Negara Integralistik yang ditawarkan Soepomo merupakan bentuk yang dianggap fasis. Mencontoh dari kerajaan Jepang dan Jerman saat itu, yang dianggap adanya persesuaian dengan watak masyarakat Indonesia yang dilandasi semangat kekeluargaan. Setelah Indonesia merdeka, banyak studi hukum ketatanegaraan menilai Pemerintahan Orde Baru dinilai merupakan penerjemahan paling sempurna dari gagasan yang diajukan oleh Soepomo.

Baca juga: Membangun Peradaban Bangsa Berdasarkan Karakter Warisan Leluhur dalam Perspektif Keindonesiaan

Soepomo seorang bangsawan Jawa keturunan darah biru dari keraton Kasunanan Surakarta, sangat memahami kontek sistem manunggal Kawuloning Gusti dalam suatu pemerintahan feodal Jawa. Merupakan penyatuan antara rakyat dan pemimpin yang bisa membentuk suatu masyarakat yang harmonis berdasar karakteristik masyarakat Indonesia.

Sebenarnya inspirasi dari Soepomo didapat dari model pemerintahan desa – desa kuno di Jawa, seperti tertulis dalam Kitab Kakawin Nagara Kertagama. Para ahli hukum Tatanegara berpendapat dalam kajian penelitiannya  bahwa, Soepomo  mengambil konsep pemikiran dari tiga filsuf pada abad ke-18 dan ke-19 yakni, Benedict Spinoza, Adam Muller, dan Georg W .F. Hegel.

Soepomo tertarik dengan sistem Pemerintahan Jepang dalam bentuk Tenno – Haika dan Jerman saat itu, padahal Jepang sebagai Negara Feodal dengan Raja sebagai poros paling atas kekuasaan.  Dirinya menganggap  sama persis dengan sistem kepemimpinan dalam pemerintahan di Jawa yang menggunakan model Kawulo Manunggaling Gusti, dalam praktek pemerintahan kerajaan Mataram Islam di Jawa.

Mengadopsi sistem pemerintahan pada kerajaan Majapahit, dimana Raja sebagai Gusti atau Kepala Negara, dengan perangkat wakil nya Perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan. Soepomo menolak konsep Individualisme Barat, sesuai rujukan dari filsuf Inggris, Jeremy Bentham.

Baca juga: Pembentukan Komisi-Komisi yang Dilahirkan Masa Reformasi, Apakah Efisien dan Memenuhi Rasa Keadilan Masyarakat ?

Menurutnya, konsep individualitas ala barat bertentangan dengan struktur masyarakat desa yang merupakan soko guru untuk cermin struktur masyarakat yang lebih luas dalam Negara. Bentuk paling ideal dan orisinil adalah dari sistem penyatuan antara Kawulo (Rakyat) dengan Pemimpin (Gusti). Masyarakat Desa Adat merupakan referensi paling sempurna dan orisinil bagi Soepomo dalam sistem pemerintahan kita dari sudut sistem ketatanegaraan.

Dimana dalam Negara integralislis ala pemerintahan desa, tidak ada pertentangan  dan selalu ada Harmono Kepentingan karena  Negara dikelola secara kekeluargaan layaknya sebuah keluarga harmonis. Negara Integralistik  dalam perspektif  Soepomo berakar dari struktur sosial masyarakat desa, dimana setiap orang dan golongan memiliki tempat dan kewajiban sendiri – sendiri sesuai kodratnya.

Marsilam Simanjuntak  dalam studi yang sangat impresif soal konsep negara Integralistik yang   dalam bukunya menguraikan bagaimana  Sorpomo “membayangkan”, dalam hal sistem dan ketatanegaraan. Marsilam fokus pada kohesitas gagasan Soepomo dengan pemikiran Hegel.  Menurut penulis, aliran dan pendapat  dari Benedict Spinoza dan Adam Muller serta Georg W.F .Hegel, bukan merupakan rujukan dan pengaruh terhadap Soepomo dalam mengusulkan ide Negara Integralistik.

Baca juga: Paradigma Para Pendiri Bangsa Membuat Aturan Pasal Dalam UUD Negara, Presiden Harus Orang Indonesia Asli   

Sebagai seorang bangsawan Keraton Kasunanan Surakarta, Soepomo mengambil contoh dari kehidupan sistem pemerintahan kerajaan Mataram Islam dan Majapahit dalam pemerintah desa adat, yang di konseptualkan dalam sistem terbentuknya sebuah negara baru yang bernama Indonesia. Kebetulan lulusan pendidikan hukum di Belanda, sehingga referensinya para filsuf Eropa pada abad ke-18  dan ke-19, hanya sebagai perbandingan pandangannya.

Pada Era Reformasi, ide terbentuknya Negara Integralistik dari Soepomo dan tulisan dari Mpu Tantular dalam Kakawin Nagara Kertagama yang menggambarkan situasi dan sistem kekuasaan saat itu dan terbentuk nya Kontitusi dan Dasar Negara Pancasila saat Indonesia Merdeka dirombak total  melalui amandemen hingga empat kali.

Pada masa Orde Baru memang tidak selalu sempurna, wajar ada kekurangan, dalam doktrinisasi politik. Contohnya  institusi TNI saat itu menjadi Dwi fungsi ABRI, yang bukan lagi hanya  sebagai alat pertahanan dan keamanan tapi juga sekaligus alat politik. Ini yang harus diperbaiki, bukan seperti mengejar tikus dalam lumbung padi bukan tikusnya yang di bunuh tapi lumbungnya yang dibakar, ini kan aneh.

Sebagai penjelmaan suara dari seluruh rakyat, ada lembaga tertinggi yang namanya MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Dulu merupakan dewan rembuk Desa Adat, yang memberikan keputusan, diambil secara musyawarah mufakat, terdiri dari wakil tetua adat, tetua agama, wakil pemuda, wakil dari perangkat pemerintahan desa.

Baca juga: Mencintai Bangsa dan Negara Merupakan Tanda Keimanan, Hubbul Waton Minal Iman

Demikian juga MPR yang anggotanya terdiri dari Seluruh anggota DPR RI, wakil golongan yaitu golongan  dari perwakilan agama seluruh Tanah Air, wakil dari organisasi kemasyarakatan, organisasi pemuda dan wakil daerah yang diwakili Gubernur, Bupati, Walikota dan sebagainya, yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat melalui perwakilannya. MPR diberikan mandat dan wewenang menyusun GBHN (Garis Besar Haluan Negara) yang menjadi tujuan Bangsa ini.

Apa yang mau dibangun dalam jangka panjang, menengah  dan pendek. Pemerintah  membuat Repelita  dalam pelaksanaan pembangunan yang sudah  dituangkan di dalam GBHN. Itulah wujud dari sistem Negara Integralistik ala Kakawin Nagara Kertagama dan sistem Pemerintahan Desa dalam lingkup Negara.

Sekarang, kewenangan MPR sudah dicabut, dengan demikian, tidak ada lagi GBHN dan Repelita yang berakibat Bangsa ini kehilangan arah (Kompas). Masing – masing  pemerintah dan daerah, dengan Otonomi Daerah bisa menterjemahkan sesuai dengan perspektifnya. Belum lagi sistem pemilihan langsung, dimana masa lalu sebelum reformasi, MPR adalah Lembaga Tertinggi dan Presiden dan Wakil Presiden mandataris dari MPR, dirubah menjadi suara rakyat langsung, menjadi Mandataris Presiden.

Melalui pemilu langsung, kita bisa lihat, dan merasakan,  seolah kita sudah kehilangan ruh sebagai sebuah Bangsa, sudah bermetafora pada Bangsa dengan  sistem liberal, yang dulu tidak pernah dibayangkan sekalipun oleh para pendiri bangsa, dan itulah yang telah terjadi.

Dasar Negara yakni Pancasila, sebagai sumber dari segala sumber hukum dengan Kontitusi Negara sebagai hukum dasar merupakan satu kesatuan tunggal, yang tidak bisa dipisahkan  ibarat suami dan istri dalam sebuah Rumah Tangga. Sebagai Dasar negara telah mengatur suatu sistem kerakyatan dengan cara perwakilan yang merupakan manifestasi dari suara rakyat melalui wakil – wakilnya yang diatur melalui sebuah Lembaga Tertinggi di Negara ini yang bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat ( MPR ).

Baca juga: Berdirinya Negara Kesatuan, Politik Agama dan Tuhan Yang Esa

Sebagimana tertuang dalam sila keempat  dari Pancasila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan perwakilan”  yang tersinkronisasi dengan pasal 1 ayat (2) dari UUD 1945 yang lama (yang masih murni sesuai Dekrit Presiden, 5 juli 1959) yang berbunyi “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat ”

Dengan dirombak dan dirubahnya format dari UUD 1945 sampai empat kali, maka antara Sila ke 4 dari Pancasila bertabrakan atau bertentangan dengan UUD 1945 hasil amandemen. ,Dalam sebuah rumah tangga saja, jikalau hubungan suami dan istri tidak sinkron,  tidak sejalan akan menimbulkan masalah dalam kehidupan keluarga.

Demikian juga menyangkut sebuah Negara, akan mengalami benturan dikarenakan antara Dasar Negara dengan hukum dasarnya sudah tidak lagi seirama. Alhasil, harus diakui bahwa para founding Father (Bapak Pendiri Bangsa) kita lebih matang dan cerdas serta progresif dalam menyusun sistem sebuah Negara dalam hukum ketatanegaraannya***

*Penulis: Praktisi Hukum, Pemerhati masalah Sosial, Politik dan  Budaya Bangsanya. Tinggal di Jakarta

Berita Terkait