DENPASAR, TABLOIDDICTUM – Bendesa Adat Berawa, Badung mengaku mendapat Sebagai bendesa adat, I Ketut Riana mengaku mendapat insentif dari Pemprov Bali dan honorarium dari Pemkab Badung. Pengakuan Ketut Riana, terdakwa kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) tersebut diungkapkan saat sidang dengan agenda pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Tipikor, Denpasar, Kamis, 22Agustus 2024.
Selama kurang lebih empat jam, Ketut Riana dicecar pertanyaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejati Bali dan Majelis Hakim yang diketuai, Gede Putra Astawa. Mengejutkan, Ketut Riana menjawab tidak tahu dan tidak hafal ketika menjawab pertanyaan dari jaksa, I Nengah Astawa, berapa besar honorarium maupun insentif yang diterimanya setiap bulan.
”Besarnya (insentif dan honorarium, Red) saya tidak tahu, karena sampai sekarang saya belum pernah memakainya,” jawab Ketut Riana. Terdakwa mengaku, insentif dari Pemprov dan honorarium dari Pemkab Badung masih utuh di rekeningnya. ”Uangnya masih utuh, semua utuh. Untuk keperluan sehari-hari ada penghasilan lain. ”Termasuk yang dari provinsi juga masih utuh. Saya tidak pernah mengecek dan mengambil,” lanjut pria 54 tahun itu.
Baca juga: JPN Kejari Badung Menang, Majelis Hakim Tolak Gugatan, Pembangunan Jalan Lingkar Selatan Dilanjutkan
Terdakwa Ketut Riana yang hadir di persidangan dengan memakai baju adat madya putih ini menjelaskan, dipercaya warga menjadi Bendesa Adat Berawa sejak Februari 2020. Jumlah krama atau warga Bendesa Adat Berawa dibandingkan desa adat di Bali tergolong sedikit, hanya sekitar 160 jiwa. Seperti diketahui, pariwisata yang terus berkembang berdampak banyak akomodasi pariwisata berdiri di daerah Berawa seperti Finns Beach Club dan Atlas Beach Fest.
Dikatakan, keuangan Desa Adat Berawa terus berkurang setiap tahun dikarenakan jumlah penduduk sedikit, sementara pengeluaran besar. Ini karena Desa Adat Berawa menyungsung pura besar dan keperluan adat. Menurutnya, karena itu maka setiap ada investor atau pengusaha yang mau membuka usaha di Berawa, dikenakan kontribusi sesuai hasil perarem prajuru desa adat. Termasuk rencana pembangunan apartemen The Magnum yang akhirnya menyeret Riana menjadi pesakitan.
Diungkapkan Ketut Riana, The Magnum dibiayai investor asal Rusia. “Saya kaget saat mengecek ke lapangan. Sebab, izin belum ada, tapi pembangunan sudah mulai,” katanya. Lebih lanjut dikatakan, dirinya kemudian bertemu dengan Made Budi Santosa, perwakilan investor The Magnum untuk membahas proyek. Dalam pertemuan pertama, terdakwa meminta investor agar berkontribusi membangun sekretariat desa adat senilai Rp5 miliar. Kontribusi itu bisa berupa bangunan, bisa juga berupa uang.
Baca juga: Saatnya Mengembalikan Marwah MPR, Mewakili Suara Rakyat Suara Tuhan
Tetapi, Budi Santosa hanya bersedia Rp 2 sampai – 3 miliar. Sisanya akan diurus Andianto Nahak, kontraktor yang mengurus perizinan UKL/UPL dan AMDAL. Terdakwa kemudian diperkenalkan dengan Andianto. Menurut terdakwa, dirinya bertemu dengan Andianto, awal Oktober 2023, di Point Coffee Indomaret, samping SPBU Kapal, Mengwi.
Ketika itu, Andianto langsung membicarakan tentang sumbangan ke desa adat sambil menunjukkan kontrak kerja dengan The Magnum tentang pengurusan AMDAL sebesar 3,6 miliar. Nilai itu menurutnya kurang karena banyak yang harus ditutupi. ”Andianto bilang, proyek sebesar The Magnum, seharusnya sumbangannya Rp10 miliar. Kalau saya mau dan setuju, katanya akan diperjuangkan,” ungkap Ketut Riana yang mengaku kaget mendengar Rp10 miliar.
Alasannya, dirinya hanya berharap Rp5 miliar untuk pembangunan sekretariat desa adat. Dalam pertemuan itu juga, Andianto memberi amplop yang berisi Rp50 juta pada Riana.”Uang itu saya pinjam, saya minta kwitansi, tapi ditolak dan disuruh cepat masukkan ke jok motor. Uangnya masih saya simpan sampai sekarang, belum saya pakai,” lanjutnya.
Ketika jaksa Nengah Astawa menunjukkan percakapan WhatsApp (WA) yang isinya, Riana minta pada Andianto, agar tidak bilang pada siapa-siapa tentang uang Rp50 juta tersebut, terdakwa beralasan uang itu sangat diperlukan untuk membayar utang dan membayar imunisasi cucu. Jaksa kemudian menanyakan arti pesan lanjutan WA Riana, yang mengingatkan Andianto agar segera merealisasikan Rp10 miliar, Riana terlihat gelagapan. ”Itu hanya alasan saya untuk menguji kesungguhan Andianto membantu desa adat mewujudkan sekretariat,”dalihnya.
Baca juga: PN Denpasar Salurkan Sembako Untuk Ojol dan Bantuan Operasional Untuk Panti Asuhan Children of Hope
Yang menarik, Riana mengaku, jika Rp10 miliar itu cair, Andianto menyarankan diberikan ke desa adat hanya Rp4 miliar. Sisanya diambil Riana dan Andianto meminta ada bagian untuknya. ”Jadi, itu alasan anda tidak tanda tangan pengurusan AMDAL sebelum ada kontribusi Rp 10 miliar?” tanya Nengah Astawa. Riana berdalih tidak fokus pada uang, tapi berusaha mewujudkan sekretariat desa adat.
”Semua yang mengarahkan Andianto, saya berani bersumpah di Bale Agung (bangunan di Pura Desa setempat) dan di depan Majelis Hakim,” katanya. Tim JPU dari Kejati Bali kembali menanyakan maksud beberapa kali pesan WA terdakwa kepada Andianto yang mengatakan, Rp10 miliar segera dicairkan agar aman. ”Kenapa ada kata-kata aman?” tanya jaksa. ”Yang dimaksud aman agar proyek bisa berjalan aman,” jawab terdakwa.
Terdakwa seakan – akan tidak diberi kesempatan untuk tenang ketika jaksa menanyakan tujuan terdakwa mengirim rekening pribadi bukan rekening desa adat. ”itu karena Andianto sempat bilang mau meminta sekian, kalau masuk rekening desa adat nanti susah, karena uangnya juga belum pasti,” jawab Riana.
Riana mengatakan dalam kasus ini dia tidak ada maksud untung menguntungkan diri sendiri dengan mengatakan, demi leluhur dirinya berani bersumpah di Bale Agung. Menurutnya, tidak ada keinginan untuk mengambil untuk kepentingan pribadi.
Baca juga: Pelaku Penembakan di Rumah Anggota Dewan Badung Dibekuk di Gianyar
Ketika ditanya tentang pemberian uang Rp100 juta oleh Andianto di sebuah kafe di Renon, Denpasar, dimana saat itu dirinya ditangkap tim Kejati Bali, Ketut Riana berdalih hanya ingin bertemu Andianto dan memastikan kontribusi Rp10 miliar dan mengaku tidak tahu maksud pemberian uang Rp100 juta terebut. ”Kalau tidak tahu, kenapa uang Rp 100 juta diambil?” tanya jaksa Oka Adikarini. ”Saya belum sempat menanyakan sudah ditangkap. Tapi, saya tidak ada menekan Andianto meminta uang,” jawabnya.
Sementara itu, Gede Pasek Suardika, pengacara terdakwa bertanya, apakah terdakwa yang aktif mencari Andianto atau sebaliknya? Riana menjawab Andianto yang aktif mencari dirinya dan menyarankan minta uang Rp10 miliar. ”Di benak saya, Andianto ini calo. Setahu saya dari orang proyek, The Magnum itu milik orang Rusia dan berdiri di atas tanah Pemprov Bali. Saya tidak bisa menghubungi investor karena seolah dihalangi Andianto,” jelas Ketut Riana.
Gede Pasek sempat berseloroh agar Riana mengajak pemangku untukmenempuh jalur niskala. ”Tunasang manten (mintakan saja, Red), siapa yangmembuat seperti ini, kalau tidak bisa mencari keadilan di dunia, minta keadilan dari sana,” kata Gede Pasek. Mendengar apa yang dikatakan mantan politisi Demokrat itu, hakim, jaksa dan pengacara lainnya senyum – senyum.
Terdakwa Ketut Riana sempat tertunduk diam sebelum menjawab pertanyaan Ketua Majelis Hakim, Gede Putra Astawa yang menanyakan alasan Riana tidak bertemu pengusaha di kantor dengan didampingi prajuru dan dipantau CCTV. ”Terus terang Yang Mulia, saya menyesal karena terbawa arus tawaran Andianto. Akhirnya saya mengambil langkah mendahului sebelum paruman, saya berjuang demi desa adat, bukan untuk kepentingan pribadi,” kata Ketut Riana. NAN