Hukum Sebab Akibat dan Reaksi Adanya Aksi dalam Kasus Keturunan Ba’alawi Menyangkut Penelitian Nazab  

by Nano Bethan
36 views
Opini

Oleh : Agus Widjajanto *

Seharusnya, para oknum tersebut secara santun dalam berdakwah, tidak merendahkan orang Nusantara asli yang dalam sejarah kolonial Belanda dulu dicap sebagai inlanders atau kaum bumi putera. Sedangkan mereka dalam golongan kasta lebih tinggi dalam kelompok Golongan Timur asing

 

DICTUM.COM- Fenomena terkini, Dunia seakan dalam genggaman dimana batas antar negara seakan sangat Abcurd (Kabur) karena adanya kemajuan Tekhnologi Informasi yang begitu pesat. Setiap manusia, Bangsa, Ras, Agama, dan juga strata sosial, bisa mengakses informasi. Begitu cepatnya informasi, setiap kejadian di belahan bumi manapun hanya hitungan detik sudah diketetahui.

Hal ini bisa kita bandingkan sebelumnya, pada tahun 1950-an sampai  1970-an, dimana media sebagai alat informasi hanya lewat radio dan media cetak, yang sangat terbatas serta terlambat memberikan informasi kepada masyarakat.

Segala kemajuan teknologi tentu ada ekses yang ditimbulkan khususnya kepada generasi muda Bangsa. Begitu mudahnya meniru budaya asing yang dianggap lebih simpel dan modis, berakibat generasi milenial telah kehilangan jati diri dan sangat minim memahami sejarah dan warisan leluhur bangsa ini. Dulu, ketika dibelahan dunia belum mengalami kemajuan budaya tetapi  di sini, Jawa khususnya dan Nusantara pada umumnya telah mengalami kemajuan peradaban sebuah bangsa yang besar.

 Baca juga: Saatnya Mengembalikan Marwah MPR, Mewakili Suara Rakyat Suara Tuhan Akan tetapi akhir akhir ini yang lagi ramai di media sosial adalah adanya klaim secara sepihak dari oknum-oknum, bahkan tokoh organisasi dari keturunan  Bangsa tertentu, yang menyatakan bahwa Indonesia ada dan menjadi negara mayoritas Muslim adalah karena peran dari para leluhur mereka dalam mengislamkan Jawa khususnya dan Indonesia umumnya.

Bahkan, ide Indonesia merdeka, Bendera Merah Putih adalah karena upaya dari  mereka yang sekarang merasa sebagai keturunan yang lebih ningrat secara keagamaan. Oleh beberapa oknum telah merendahkan kaum Agamawan Pribumi sebagai pemilik dan keturunan dari leluhur leluhur Negeri ini. Lebih parah lagi, mereka telah melakukan framing, yang bisa mengarah pada konflik horizontal dan kehadiran negara dalam hal ini aparat keamanan terkesan ada pembiaran.

Sehingga oknum-oknum tersebut sepertinya mendapat angin, sampai menuduh pihak yang mempertanyakan nazab kebenaran sesuai klaim mereka sebagai keturunan nabi, sebagai pihak yang memecah agama, golongan eksisnya Partai komunis gaya baru. Ini jelas membahayakan kesatuan dan persatuan bangsa yang telah dirajut sejak Indonesia merdeka hingga kini.

Terlepas benar atau tidak, mereka harusnya menjawab kajian kelompok yang mempertanyakan nazab secara keilmuan dengan dalil kajian juga dengan keilmuan. Adanya reaksi diawali adanya aksi, ada hubungan hukum sebab akibat. Seharusnya, para oknum tersebut secara santun dalam berdakwah, tidak merendahkan orang Nusantara asli yang dalam sejarah kolonial Belanda dulu dicap sebagai inlanders atau kaum bumi putera.

Baca juga: Perlu Segera Dilakukan Amandemen Terbatas Untuk Memperbaiki dan Mengembalikan Marwah UUD 1945 Sedangkan keturunan oknum-oknum tersebut dalam golongan kasta yang dibikin Belanda lebih tinggi dalam kelompok Golongan Timur asing. Terdiri dari keturunan Bangsa Arab dan China dan Bangsa Eropa didudukan dalam kasta paling tertinggi. Hal ini membuka luka lama, sehingga para pendiri bangsa saat membentuk negara ini melalui UUD 1945 mencantumkan “Presiden Harus Orang Indonesia Asli”.

Masih relevan untuk dimunculkan saat situasi dan kondisi sekarang yang mana kaum agama Nusantara (Bumi putera) selalu di rendahkan. Sampai ada kata-kata satu orang Habib selaku  keturunan Nabi, lebih mulia dari pada  70 kyai pribumi. Sedangkan keabsahan dan kebenaran dari Nazab tersebut masih diperdebatkan.

Yang lebih memprihatinkan para oknum tersebut justru menggunakan kaum Bumi Putera sebagai pendukung keagamaan mereka untuk menghadapi dan dibenturkan dengan para ulama Nusantara. Harusnya oknum tersebut turun langsung untuk berdebat dan adu argumen tapi jangan debat kusir tanpa dalil ilmiah.

Ini seperti cara-cara kolonial dalam Devide at Ampera saat penjajahan dulu. Mereka harusnya jangan mengusik kaum pribumi, karena sejarah menulis apabila sudah menyangkut harkat martabat dan nama leluhur yang disinggung maka akan menimbulkan prahara. Seperti halnya dalam perang Jawa pada tahun 1825 hingga tahun 1830 yang dikenal dengan perang Diponegoro.

Baca juga: Tommy Soeharto Layak Ambil Alih Kursi Ketua Umum Partai Golkar Mereka tidak paham akan sejarah dan karakteristik dari masyarakat Asli Indonesia, terdiri berbagai suku, ratusan bahasa daerah, adat istiadat. Awalnya tercerai berai karena politik imperialisme/kolonialisme Eropa maka  pendiri bangsa, Founding Father kita sadar betul akan selalu terulang bentuk dari penjajahan di dunia ini, baik secara ekonomi, Politik, budaya dan agama.

Sehingga para pendiri bangsa dalam membentuk Dasar Negara sebagai Falsafah Bangsa serta pandangan hidup bangsa (Weltanschauung) dan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia serta  Hukum Ketatanegaraan, mengambinya, baik melalui hukum adat yang tidak tertulis maupun manuskrip sejarah tertulis, salah satunya adalah Kitab Kakawin Negara Kertagama .

Dalam auto biografinya Bung Karno Presiden Pertama Republik Indonesia,  Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia, dalam buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat” halaman 20 menulis, “Aku tidak mengatakan bahwa aku menciptakan Pancasila. Apa yang dikerjakan hanyalah menggali jauh kedalam bumi kami, tradisi tradisi kami sendiri  dan aku menemukan lima butir mutiara yang indah”. Dalam kitab Kakawin Nagara Kertagama, berbahasa Jawa kuno, ditemukan pertama kali di Pulau Lombok oleh peneliti Belanda pada tahun 1894 Masehi, kitab tersebut ditulis oleh Mpu Prapantja. Baca juga:Pembentukan Komisi – Komisi yang Dilahirkan Masa Reformasi, Apakah Efisien dan Memenuhi Rasa Keadilan Masyarakat ? UNESCO mengakui bahwa “Nagara Kertagama memberikan kesaksian pemerintahan seorang Raja pada abad ke-14  Masehi di Indonesia dimana ide-ide modern keadilan sosial, kebebasan beragama, keamanan pribadi  dan kesejahteraan rakyat sangat dijunjung tinggi”Bahwa Naskah Kakawin Nagara Kertagama telah diakui oleh kalangan Internasional  dan secara resmi masuk dalam daftar Memory of  the World UNESCO.

Perjalanan sejarah Bangsa Indonesia yang dulu disebut Nusantara, berjalan begitu runut dari abad ke abad. Sebelum manusia penjelajah Eropa menemukan benua Amerika dan benua lain, pada abad 0 – abad Pertama, sebenarnya nenek moyang bangsa ini sudah mengarungi samudera, dengan kapal kapal penjelajah dari kayu jati hingga Taiwan, Afrika Timur, Selandia Baru dan  Madagaskar.

Jauh sebelum Imperium Majapahit maupun Sriwijaya dan Mataram Hindu ada, sudah melakukan penjelajahan untuk berhubungan niaga dengan manusia di seberang lautan samudera. Bangsa yang mendiami kepulauan  Nusantara adalah bangsa yang silih berganti datang dan melakukan hubungan.

Pada awalnya bangsa Nusantara ini mendapat gelombang imigrasi dari Yunnan, China bagian Selatan ( Teory Open Heymar, Mencairnya Es, Tenggelamnya Benua Sunda/ Sunda land ). Bangsa yang datang dari Yunnan ini kemudian berakulturasi dan saling bertukar budaya dengan penduduk lokal yang lama mendiami Nusantara.

Baca juga: Paradigma Para Pendiri Bangsa Membuat Aturan Pasal Dalam UUD Negara, Presiden Harus Orang Indonesia Asli    Sejarah bangsa ini semakin berkembang cepat setelah mereka belajar sistem tulisan dari bangsa India yang menyebut dirinya bangsa Bharata, karena letak India disebelah barat Nusantara. Hal ini berakibat adanya tulisan-tulisan dari peninggalan leluhur bangsa kita, berupa temuan temuan prasasti dari masa kerajaan  Kutai, Taruma Negara di Jawa Barat, Sriwijaya di Jambi dan Palembang  serta Mataram Hindu dan Kalingga Jepara yang mempengaruhi corak kerajaan di Sulawesidan Kalimantan  serta Philippines.

Dari uraian teks Kakawin Nagara Kertagama, para ahli dapat merekonstruksi keadaan sosial, politik, kebudayaan  dan keagamaan pada saat itu, yang penuh toleransi, bisa berdampingan penuh kekeluargaan. Menunjukan bahwa Majapahit saat itu begitu maju  dan luas serta tingginya kebudayaan dan peradaban yang dicapai.

Sistem sosial dan sistem kekuasaan yang demikian luas wilayah kekuasaan  geografinya, menunjukan bahwa Majapahit mengalami masa keemasan dan kegemilangan, dimana Bangsa Nusantara ini  mengenal siklus kegemilangan dan keemasan yang gemilang setiap 700 tahun .

Nilai-nilai dari Pancasila sendiri tertulis dalam Kakawin Nagara Kertagama , pada Pupuh ke 43 ayat 2 yang berbunyi :  “Nahan hetu Narendra Bhakti RI padha Sri Sakya sinhasthiti, yatnagegawhan i Pantjasila kertasansekerta rabishe kakrama, lumra nama jinabhiseka nira San Sri jnana bajres’ wara, tarkka wyakaranadhisastran inaji Sri Natha wijnanulus”. Artinya, Alasan sang Raja mantap berbakti pada kaki Sri Singha Sakya, karena berusaha memegang teguh pada Pancasila, lima kaidah tingkah laku utama, diresmikan dalam tata upacara penobatan.

Baca juga: Mencintai Bangsa dan Negara Merupakan Tanda Keimanan, Hubbul Waton Minal Iman Nama gelarnya menurut penthabisan adalah Sri Jnana Bajreswara, kebijaksanaan, hingga ilmu Kesempurnaan/Ketuhanan  tinggi karena memegang teguh tata cara adat, kitab suci, agama dan kepercayaan luhur. Dalam Kitab Kakawin Nagara Kertagama juga menulis  bunyi dari Sumpah Amukti Palapa dari Maha Patih Gajahmada, yang saat itu bercita-cita akan menyatukan Nusantara.

Agar bisa terjaga kehidupan yang tentram damai mencapai kesejahteraan bersama, dalam satu naungan panji panji Majapahit. ” Lamun huwus kalah Nusantara Isun Amukti Palapa, Lamun huwus kalah ring gurun, ring seran, ring tanjung pura, ring Haru, ring, Pahang, ring Dompo, Bali, Tumasik, Sunda, Palembang, Samana ingsun Amukti Palapa”. Kepulauan Nusantara selalu disertai matahari sepanjang hari, yang diungkapkan penuh kata hati yang menunjuk pada hati, jiwa, Sukma, Atma, rohani kita.

Kakawin Nagara Kertagama ditulis begitu indah dan hening dimasa kejayaan Majapahit, Raja Hayam Wuruk, dari seorang maestro pujangga yaitu Mpu Tantular. Beliau sendiri penganut agama Bhuda Mahayana, akan tetapi menulis kisah Raja – Raja dan Negara yang agama resminya Hindu Siwa, dengan politik hukum bercorak Hindu Siwa.

Disinilah kehebatan seorang Mpu Prapantja, karena dengan demikian karya pujangga beliau bisa memberikan dan meninggalkan catatan sejarah serta karya sastra tinggi. Menjadi sumber inspirasi bagi generasi berikutnya, yaitu lahirnya nilai-nilai Pancasila yang pada tanggal 18 Agustus 1945 dijadikan sebagai Dasar Negara yang merupakan Falsafah hidup serta jati diri bangsa Indonesia.

Baca juga: Krama Bali Resah, Hanya Draft Salinan Akta dan Abaikan Akta Otentik, Majelis Hakim PTUN Denpasar Batalkan Sertifikat Bentuk toleransi dari Mpu Prapanca ini, yang seorang penganut Budha tapi berkarya secara hening, rame ing gawe sepi ing pamprih, berkarya untuk sebuah kerajaan besar Majapahit yang diidentikan dengan Kerajaan Hindu. Bentuk toleransi ini menjadi sangat luar biasa senapas dengan semboyan dalam kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular, yang menyatakan: Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa, yang bermakna “Walaupun berbeda-beda namun satu jua , tidak ada darma, kebaikan dan kebenaran yang mendua”.

Bangsa  Indonesia yang dulu disebut Nusantara adalah anak cucu dan generasi penerus  dari Majapahit, sebagai Bangsa Nusantara dengan peradaban  budaya yang sudah adi luhung (sangat tinggi). Sebelum bangsa lain berbudaya dan menjelajahi dunia dan menemukan benua baru, dan Bangsa Eropa (Portugis, Belanda) mencari rempah-rempah sebagai bahan penghangat tubuh untuk iklim dingin.

Berdasarkan catatan dan penulisan penjelajahan Portugis pada pertengahan abad ke-16, yaitu Diego de Couto  dalam buku Da Asia yang terbit pada tahun 1645 Masehi, menyebutkan orang Jawa lebih dahulu berlayar sampai ke Tanjung Harapan, Afrika dan Madagaskar.  Diego De Couto mendapati penduduk Tanjung Harapan awal abad ke-16 berkulit coklat seperti orang Jawa.

Seperti yang dikutip oleh Anthony Reid dalam buku sejarah Modern awal Asia Tenggara dan hal itu diperkuat dengan peninggalan arkeologi berupa relief pada candi Borobudur yang tergambar relief kapal Jung Jawa yang berlayar mengelilingi samudera untuk perdagangan dan ekspansi politik saat itu, merupakan kapal termodern pada jamannya.

Baca juga: Muktamar PKB Rencana Diulang, PB NU Menilai   Cak Imin Amputasi Peran Dewan Syuro PKB Dari situlah bisa diketahui bahwa bangsa nenek moyang Indonesia sudah lebih dahulu punya peradaban dan budaya yang adi luhung, yang sudah  terbiasa hidup rukun damai, berdasarkan musyawarah dan mufakat dalam menyelesaikan perbedaan dan masalah yang  dihadapi.

Jangan ajari kami cara berdemokrasi, yang selalu dengan slogan hak asasi manusia, kebebasan berekpresi dan berpendapat  karena UNESCO sendiri telah mengakui kitab warisan dari nenek moyang kami yakni Kakawin Nagara Kertagama merupakan warisan dunia. Mengajarkan ide-ide modern, keadilan sosial, kebebasan beragama, keamanan pribadi  dan kesejahteraan rakyat yang dijunjung tinggi dalam konstitusinya sejak jaman dahulu kala hingga lahirnya Indonesia sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1945.

Demikian juga menyangkut aturan hukum yang diterapkan pada masyarakatnya, sebelum bangsa Eropa mengkodifikasi hukum pidana sebagai hukum negara dalam mengatur tatanan masyarakatnya. Kerajaan Kalingga sudah menulis dan menciptakan dogma, aturan tatanan hukum pidana yang dinamakan  kitab “Kalingga Dharma Sastra” yang terkenal dengan potong tangan dan ibu jari kaki  dalam menegakan aturan hukum masyarakatnya.

Seperti yang tertulis dari laporan penjelajah Tiongkok pada jaman dinasti Tang pada medio  tahun 648 hingga tahun 674 Masehi, saat berdirinya Kerajaan Kalingga yang terletak di lereng gunung Muria bagian Utara, yang saat ini  masuk kabupaten Jepara , Kecamatan Keling, Jawa Tengah.

Baca juga: Muktamar Ke-6 PKB di Nusa Dua Bali Digelar Tertutup, Sejumlah Elit PKB Menolak Hasil Muktamar Harus kita akui, para pendiri bangsa kita yang saat itu para pemuda terpelajar hasil didikan pendidikan barat, punya komitmen dan pola pikir dengan jangkauan jauh kedepan melampaui jamannya yang telah menciptakan Dasar Negara dan hukum dasar bagi Soko guru  berdirinya sebuah negara.

Justru menggali dari nilai-nilai luhur peninggalan tulisan sastra  dari pujangga -pujangga nenek moyangnya pada masa kejayaan Majapahit mencapai keemasan. Rasa Nasionalisme dan Kebangsaannya begitu menggelora, yang perlu jadi suri tauladan bagi generasi muda sekarang yang mulai terkikis oleh budaya asing yang berakibat terjadi degradasi moral dan melemah jiwa nasionalisme.

Dengan adanya kemajuan tekhnologi informasi dan digital, yang seolah olah tidak ada lagi batasan sebuah negara dengan negara lain. Ini yang perlu kita renungkan bersama agar kita tidak kehilangan jati diri sebagai sebuah bangsa, yaitu KeIndonesiaan****

Penulis adalah Praktisi Hukum di Jakarta, Pemerhati Sosial Budaya Hukum dan Politik.

Berita Terkait