Krama Bali Resah, Hanya Draft Salinan Akta dan Abaikan Akta Otentik, Majelis Hakim PTUN Denpasar Batalkan Sertifikat

by Nano Bethan
44 views
Sertifikat

DENPASAR, TABLOIDDICTUM – Mengabaikan bukti otentik, yakni akta jual beli yang dibuat dihadapan notaris, dan mempertimbangkan bukti yang hanya berupa draft salinan akta, majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Denpasar membatalkan sertifikat tanah yang berlokasi di Jalan Pemelisan Agung Nomor 1, Banjar Gundul, Desa Tibubeneng, Kuta Utara, Badung.     Majelis hakim PTUN mengabulkan permohonan pembatalan empat sertifikat yang  diajukan Lenny Yuliana Tombokan.

Menilai putusan tersebut tidak memberikan rasa keadilan, dimana majelis hakim PTUN mengabaikan bukti  dan keterangan saksi selama proses persidangan, pemilik sertifikat melakukan perlawanan hukum di tingkat banding.

“Bagaimana bisa, pemohon hanya mengajukan bukti jual beli hanya berupa Salinan draft akta yang tidak ada tanda tangan para pihak, notaris dan juga stempel notaris tetapi dikabulkan.  Majelis hakim PTUN mengabaikan akta otentik yang memiliki kekuatan hukum karena ada tanda tangan dan stempel notaris,” ungkap Jero Mangku Wayan Sarjana,  anak dari salah satu pemilik sertifikat tanah tersebut.

Menurutnya, putusan tersebut tidak hanya membuat dirinya dan pemilik sertifikat lainnya gusar dan melakukan banding tetapi juga meresahkan krama adat Bali yang berada di wilayah tersebut. Sertifikat yang dibatalkan itu terancam akan menjadi milik orang lain, sedangkan belum ada pelunasan kepada I Nengah Karna, Bapak Jero Mangku Sarjana.

“Adanya putusan dari PTUN Denpasar ini sangat meresahkan. Mulai keluarga besar, masyarakat krama tiang (saya, red) di sana mempertanyakan. Kenapa bisa ada putusan pembatalan itu?,” papar Sarjana, dikonfirmasi  Senin, 26 Agustus 2024.

Menurut  Jero Mangku Sarjana, pertanyaan dari warga itu adalah erat kaitan dengan bagaimana bisa tanah warisan dari warga adat di situ, yang tidak pernah terbayar lunas, tiba-tiba bisa dibatalkan sertifikatnya oleh PTUN Denpasar. “Warga mempertanyakan  bagaimana perlindungan negara terhadap hak-hak masyarakat adat di Bali. Tanah itu adalah tanah warisan, yang harus kami jaga sebagai warga Bali. Bagaimana bisa tanah kami  tetapi sertifikatnya dibatalkan oleh PTUN Denpasar?” katanya.

Dalam Putusan Nomor. 17/G/2024/PTUN. DPS dan Putusan Nomor. 18/G/2024/PTUN. DPS, Majelis Hakim menyatakan empat buah sertifikat itu batal.

Sarjana menegaskan, dirinya berjuang secara hukum dengan melakukan langkah-langkah upaya hukum. Di sisi lain, dirinya berharap terutama kepada aparat penegak hukum  supaya melakukan langkah hukum yang tepat. “Saya tahu dan yakin bapak saya tidak menerima uang sebesar yang disebutkan itu,” tegasnya.

Menurut Sarjana, bahwa jual beli tanah itu tidak seperti yang disampaikan penggugat. Dimana penggugat mengaku sudah membayar lunas, akan tetapi tidak mendapatkan tanah. Sesuai dengan fakta, bahwa penggugat sudah mendapatkan haknya dari pembayaran yang dilakukan oleh tergugat Sumantara, dari tanah seluas 18 are.

Penggugat mendapatkan haknya yakni tanah seluas 8 are. Tanah 8 are tersebut kemudian dijual kepada tergugat lainnya yakni, Dicky. “Tapi kenapa malah saat ini, semua tanah itu dipermasalahkan? Sehingga aneh kalau ini menjadi pertimbangan putusan PTUN,” lanjutnya.

Sementara itu, Notaris, I Gusti Ketut Astawa mengatakan, majelis hakim PTUN dalam pertimbangannya putusan tidak benar. Pasalnya, bukti yang diajukan adalah draft bukan akta sebenarnya. Sebenarnya adalah, Jefry Tombokan (saudara penggugat) datang dan menandatangani akta tersebut.

“Harga tanah saat itu 45 juta perare dikali 18 are, sehingga total pembayaran seharusnya ialah Rp810 juta. Dibayar, sepengetahuan saya hanya Rp325 juta itu saja. Kekurangan dari Rp810 juta dilunasi oleh Sumantara,” ungkap notaris Gusti Astawa.

Menurutnya, Draft sendiri itu tidak penting karena sebenarnya bukan sebuah akta. Tidak ada yang pernah tanda tangan dalam draft itu. “Jadi draft itu tidak penting karena memang bukan akta,” pungkasnya. NAN

Berita Terkait