Oleh. : Agus Widjajanto*
TABLOIDDICTUM – Fenomena politik saat Ini, tidak lagi dinamis tapi sudah mengarah ke politik tidak sehat, dimana untuk mencapai dan mempertahankan sebuah kekuasaan, berbagai cara dilakukan. Dipertontonkan kepada masyarakat, yang bukan merupakan pembelajaran yang baik bagi sebuah Demokrasi .
Kadang ada benarnya apa yang dikatakan oleh Friedrich Wilhelm Nietzsche, 1844 – 1900, seorang filsuf, penulis prosa, kritikus budaya, asli dari Jerman. Karyanya dalam ilmu filsafat sangat berpengaruh besar pada filsafat Kontemporer, yang memfokuskan pada berbagai perkembangan terakhir yang terjadi hingga masa saat ini.
Mulai pada akhir abad ke-19 yang ditandai oleh suatu proses profesionalisasi disiplin keilmuan filsafat dan munculnya filsafat analitik dan filsafat Continental. Pada jaman kontemporer, ilmu pengetahuan mengalami kemajuan sangat cepat dengan berbagai penemuan berupa teknologi canggih yang berimplikasi kepada perubahan peradaban manusia.
Friedrich Wilhelm Nietzsche berpendapat bahwa Demokrasi tidak berperan atas sebuah perubahan masyarakat menuju keadilan, karena dalam Demokrasi semua manusia dianggap sama, sederajat. Padahal dalam diri manusia ada yang kuat, ada yang lemah, ada yang pandai, ada yang tidak pandai, ada yang miskin ada yang kaya, dimana sebuah Demokrasi akan selalu memilih kepada mayoritas.
Baca juga: Hukum Sebab Akibat dan Reaksi Adanya Aksi dalam Kasus Keturunan Ba’alawi Menyangkut Penelitian Nazab
Dimana karakteristik masyarakat suatu Negara atau Bangsa, dalam memilih wakil atau pemimpinnya sangat tergantung pola pikir, wawasan serta adat kebiasaan dan kesepahaman dari wakil atau pemimpin yang kebetulan sama dengan pemilih mayoritas. Paham dari Friedrich tersebut disebut sebagai paham Nihilisme dan apabila dikaitkan dengan kondisi masyarakat kita yang tidak merata baik secara pendidikan, ekonomi dan sebagai suatu bangsa yang pluralisme, tentu mudah digiring kepada emosional politik, dalam memilih wakil dan pemimpinnya.
Dipilih karena mayoritas, sebagai pemenang, yang ditentukan oleh aturan perundangan dalam pemilu belum tentu suatu yang terbaik bagi masyarakat dan Bangsa itu sendiri. Itulah yang dimaksud oleh Friedrich Wilhelm Nietzsche. Hal ini saya sampaikan sebagai ilustrasi pembuka dalam menanggapi tayangan dan terbitan diberbagai media baik cetak elektronik dan online, yang dikatakan ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia Tanjung.
Politikus dari Partai Golkar itu menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi terlampau banyak urusan yang dikerjakan yang sebetulnya bukan urusan nya. Selain itu Ahmad Doli, menyatakan, selain akan mengevaluasi Mahkamah Kontitusi (MK), dia juga ingin mengevaluasi sistem Pemilihan Umum hingga Sistem Ketatanegaraan. Ahmad Doli Kurnia mencontohkan, soal sengketa Pemilukada terutama sengketa Pilkada yang juga ditangani MK, yang bagi penulis hal ini sangat menarik untuk dibahas satu persatu.
Baca juga: Saatnya Mengembalikan Marwah MPR, Mewakili Suara Rakyat Suara Tuhan
Sengketa Pemilukada
Bahwa dalam menghadapi Pemilukada serentak yang akan diberlangsung pada bulan Nopember yang akan datang, di 37 Propinsi dan 508 Kabupaten/ Kotamadya di seluruh wilayah NKRI, Mahkamah Kontitusi sangat tidak mudah untuk menyelesaikan setiap sengketa yang ada.
Hitungan matematik politik saja, dari total 37 Propinsi Daerah tingkat I dan 508 Kabupaten/ Kota dalam proses dari sejak pendaftaran, pelaksanaan, perhitungan dan hingga puncaknya penetapan serta pelantikan pejabat terpilih Kepala Daerah, tentu tidak semua pihak bisa menerima begitu saja.
Katakanlah 2/3 dari hitungan 37 Propinsi dan 508 Kabupaten/Kota terjadi sengketa dan harus diajukan di Mahkamah Kontitusi di Jakarta, bisa dibayangkan bagaimana dahsyatnya kegaduhan yang timbul, yang tentu sangat menyerupai sebuah pasar, tanpa dagangan, dengan segala hiruk pikuknya, Biaya atau cost yang ditimbulkan, rasa emosional dan sebagainya.
Mahkamah Kontitusi dalam putusannya nomor: 97/ PUU- XI /2013 menyatakan tidak lagi berwenang untuk mengadili perselisihan hasil Pemilukada karena secara limitative. Disebutkan dalam pasal 24 C dari Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) Mahkamah Kontitusi hanya diberikan kewenangan untuk mengadili perkara Pemilu saja dan tidak termasuk dalam Pemilukada.
Namun dalam putusan itu Mahkamah Kontitusi juga menyatakan bahwa selama belum terbentuk Pengadilan khusus Pemilukada, maka Mahkamah Kontitusi akan tetapi mengadili perselisihan Pemilukada. Lebih lanjut pasal 157 ayat (3) Undang-Undang nomor: 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang nomor: 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor: 1 tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang.
Perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil pemilihan diperiksa oleh MK sampai terbentuknya badan peradilan khusus, artinya bahwa sesuai perintah Kontitusi dan Undang-Undang, memang harus dibentuk badan peradilan baru yang mengadili khusus sengketa pemilukada. Dalam hal ini secara teknis dan desain bisa dibentuk dibawah Pengadilan Tata Usaha Negara yang dibentuk pada setiap Propinsi dan kota-kota besar di Indonesia. Dimana ruangan dan kepaniteraan serta Majelis Hakim satu naungan dalam Peradilan Tata Usaha Negara, yang khusus dipersiapkan melalui pendidikan khusus untuk menyelesaikan sengketa Pemilukada.
Baca juga: Perlu Segera Dilakukan Amandemen Terbatas Untuk Memperbaiki dan Mengembalikan Marwah UUD 1945
Sistem Pemilu
Kenyataan dimasyarakat dan melihat fenomena kondisi demokrasi saat Ini, dengan sistem Pemilu langsung, dari Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota dalam Pemilukada, menimbukan cost, biaya yang sangat besar. Pada akhirnya kembali lagi kepada keputusan dari para elit Partai Politik untuk menentukan calon baik Calon Presiden dan Wakil Presiden maupun calon Kepala Daerah, Gubernur dan Bupati/Walikota.
Rakyat pemilih hanya dimanfaatkan saat pemilihan berlangsung, setelah perhitungan suara maka kebijakan kekuasaan ada di tangan elit Partai Politik. Seluruh perundang-undangan baik dari Hukum Dasar yakni Undang-Undang Dasar 1945 maupun Undang-Undang dibawahnya, Perpu, Kepres dan sebagainya, harus mengacu kepada Dasar Negara sebagai sumber dari segala sumber hukum, filosofi serta pandangan hidup bangsa.
Dengan demikian apabila dikaitkan dengan sebuah sistem dalam Ketatanegaraan maka antara Dasar Negara dalam hal ini Pancasila dengan Hukum Dasar sebagai aturan tertinggi dalam perundang-undangan kita, harus selaras, sejalan, satu tujuan, satu pandangan filosofi. Pada dasarnya memang merupakan satu kesatuan tunggal yang tidak bisa dipisahkan.
Baca juga: Perlu Segera Dilakukan Amandemen Terbatas Untuk Memperbaiki dan Mengembalikan Marwah UUD 1945
Apabila dikaitkan dengan hal tersebut dan jika kita berpedoman pada sila keempat dari Pancasila yang mengatur tentang sistem perwakilan, yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan perwakilan” maka bertentangan dan bertabrakan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar khususnya soal sistem pemilihan Presiden (vide Pasal 6A “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh Rakyat”).
Dimana sistem Pemilu yang mengadopsi sistem pemilihan langsung, demikian juga dalam Undang-Undang Pemilu dan Peraturan Perundangan soal tehnis pemilihan langsung, bertabrakan dengan sila ke empat yang oleh founding Father memang didesain sejak awal bahwa negara kita menganut sistem perwakilan.
Dengan adanya sebuah lembaga yang mengambil segala keputusan soal pemilihan Presiden yang bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai manifestasi dari perwakilan seluruh rakyat Indonesia secara musyawarah mufakat sesuai sebuah pemerintahan desa dalam lingkup negara Nasional (Vide Mr Soepomo, Indonesia dibentuk dalam negara Integralistik).
Seharusnya DPR berani mengambil keputusan untuk mengembalikan sistem ketatanegaraan yang telah dikoyak dalam beberapa amandemen, dengan cara melakukan amandemen terbatas menyangkut mengembalikan kedudukan dan wewenang MPR sebagai Lembaga Tertinggi negara.
Baca juga: Pembentukan Komisi – Komisi yang Dilahirkan Masa Reformasi, Apakah Efisien dan Memenuhi Rasa Keadilan Masyarakat ?
Tidak hanya mengangkat dan memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden sebagai mandataris, akan tetapi juga membuat GBHN, untuk arah kedepan dari Bangsa ini apa tahapan tahapan pembangunan yang akan dilakukan sesuai rencana induk, baik jangka panjang, menengah dan pendek. Agar tidak kehilangan kompas atau arah mengembalikan kedudukan DPD kepada kedudukan urusan daerah yang mempunyai kewenangan yang jelas, bukan sebagai sekedar pelipur derita saja.
Tapi apabila Ketua Komisi II DPR dalam mengevaluasi Mahkamah Kontitusi, ternyata menyangkut putusan MK dalam perkara Nomor: 60/PUU – XXII/ 2024, soal Partai Politik yang tidak mendapatkan kursi bisa mengajukan calon Kepala Daerah, yang mana putusan tersebut sudah berlaku final dan mengikat, dan harus diikuti seluruh peserta Pemilukada. Sehingga tujuan dari meninjau Sistem Ketatanegaraan kita, adalah salah alamat, dimana menyangkut hal itu, penulis
Secara terpisah meminta pendapat dari Guru Besar Hukum Tata Negara paling senior dari Universitas Padjajaran Bandung, Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa SH., MH. Menurut Guru Besar asal Bali ini, Ketua Komisi II DPR RI tidak memiliki wawasan tentang perkembangan Mahmakah Kontitusi (MK) yang ada di beberapa Negara (sebagai perbandingan).
Memang pada awalnya Mahkamah Kontitusi di beberapa Negara dalam menangani dan memutus perkara JR, bertindak selaku Negative Legislation, dalam arti tidak boleh membuat norma baru, terbatas menyatakan bahwa norma pasal – pasal dalam suatu Undang-Undang bertentangan dengan konstitusi. Namun dalam perkembangannya, Mahkamah Kontitusi ( MK ) kemudian beranjak lebih jauh, berdasarkan living law dan perannya sebagai pengawal dan penafsir tunggal konstitusi.
Baca juga: Membangun Peradaban Bangsa Berdasarkan Karakter Warisan Leluhur dalam Perspektif Keindonesiaan
Dimana MK tidak lagi sebagai negative legislation, melainkan berubah menjadi Positive Legislation. Artinya, MK membuat norma baru terhadap pasal-pasal yang diuji. Contoh yang aktual adalah ketika MK RI dalam Putusan Nomor: 60 berkenaan dengan perubahan ambang batas Parpol boleh mengusung calon Kepala Daerah, seperti PDI-P boleh mengusung sendiri Cagub dan Cawagub DKI dan Jabar.
Prof. Pantja Astawa berpendapat bahwa DPR sebagai badan legislatif lebih sering tampil sebagai badan politik yang sarat dengan kepentingan. Manakala kepentingannya tidak terakomodir dalam putusan MK, misalnya, dengan mudah DPR merevisi Undang-Undang MK, termasuk merecall Aswanto dan diganti dengan Guntur. Begitu juga ketika DPR punya “skenario”, kepentingan terselebung, di masa yang akan datang”, DPR dengan mudah merevisi kembali UU MK yang sampai sekarang sudah terjadi empat kali diubah.
Dikatakan Prof. Gde Pantja Astawa, DPR dalam merespon 2 putusan (MA dan MK) terkait dengan mana yg menguntungkan kepentingan kekuasaaan untuk meloloskan calonnya sebagai calon kepala daerah, maka dalam hal ini DPR dengan mudah dan pongahnya merujuk pada putusan MA dan mengabaikan putusan MK, yang berujung pada gelombang protes secara masif, dalam demo yang dilakukan para mahasiswa beberapa waktu lalu, walaupun akhirnya DPR mengakui putusan MK.
Ditegaskan bahwa semua jelas menunjukkan bahwa DPR sebenarnya bukanlah mewakili atau sebagai wakil rakyat, melainkan mewakili kepentingan Partai itu sendiri. Apabila para anggaota DPR yang dipilih oleh rakyat secara langsung dan masih saja punya paradigma, wawasan yang hanya sebatas demi kepentingan Partai, bukan lagi kepentingan rakyat yang diwakili , maka bukan tidak mungkin , akan ada gelombang protes yang sangat besar, yang mengacu kepada gerakan rakyat untuk Merubah Sistem Demokrasi, yang saat ini dianggap tidak adanya sebuah demokrasi****
*Penulis: Praktisi Hukum, Pemerhati Sosial Budaya, dan Sejarah Bangsanya, tinggal di Jakarta