Oleh: Agus Widjajanto*
DICTUM.COM- Gratifikasi adalah pemberian yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara/pejabat negara. Gratifikasi bisa berupa uang, barang, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, fasilitas wisata, pengobatan dan sebagainya.
Hal ini berkaitan dengan mencuatnya nama Kaesang Pangarep disusul Mahfud MD yang naik fasilitas jet pribadi. Kaesang merupakan Ketum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), sementara Mahfud MD merupakan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dan pernah menjabat sebagai Menteri Politik Hukum dan Keamanan.
Perlu ditegaskan bahwa, gratifikasi secara prinsip bersifat netral dan wajar. Akan tetapi dalam kenyataannya dilapangan bisa dikategorikan atau diklasifikasikan sebagai suap. Terutama yang berhubungan dengan jabatan sesuai tugas dari pejabat tersebut.
Pasal gratifikasi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Sementara terkait dengan Kaesang Pengarep, yang bukan seorang Pegawai Negeri/Pemerintah atau Pejabat Negara, maka sesuai bunyi Undang-undang, tidak bisa diterapkan gratifikasi kepadanya kecuali secara etik sebagai Ketua Umum Partai.
Baca juga: Aku adalah Kita, Rekonsiliasi Permasalahan Politik Masa lalu, Dalam Pelanggaran HAM Untuk Menatap Masa Depan Bangsa
Respon dari Mahfud MD yang meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut Kaesang sebagai tindakan yang tidak etis dan tidak adil. Sementara dari pengakuan Mahfud sendiri, saat menjabat sebagai Ketua MK pernah mendapatkan fasilitas transportasi dari pihak lain berupa jet pribadi.
Hal ini merupakan kontradiksi dalam melihat posisi masalah, dimana kalau fair justru beliau yang harus melaporkan gratifikasi tersebut saat menjabat Ketua MK dulu, saat menjadi Pejabat Negara dari Lembaga Yudikatif. Sesuai asas legalitas dalam hukum pidana, seseorang pada dasarnya tidak bisa dipidana kecuali atas adanya aturan hukum yang sudah ada terlebih dahulu (vide Pasal 1 ayat 1 KUHP).
Apabila ingin menambah frasa melalui pengembangan norma secara filosofi, maka harus dilakukan revisi terlebih dahulu dari aturan perundang – undangan yakni Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Misalnya, karena adanya perkembangan fenomena di dalam negeri sesuai kemajuan zaman, itu jikalau ingin memasukan ketua Partai Politik dan masyarakat umum diluar pejabat negara terkena gratifikasi. Ini karena Indonesia menganut sistem hukum positivism.
Salah satu negara yang menolak menandatangani konvensi internasional tentang gratifikasi adalah Jepang, karena sudah menjadi tradisi budaya setempat. Menariknya, Jepang adalah negara yang tingkat korupsinya sangat rendah. Di negara kita juga, sudah menjadi tradisi turun temurun sejak zaman kerajaan – kerajaan sampai dengan sekarang, memberikan sesuatu sebagai ucapan terimakasih, membawa atau menghadiahkan sesuatu dalam acara resepsi pernikahan, ulang tahun, meninggal dunia, membalas budi baik orang, menghargai kinerja orang yang berprestasi, dan lain sebagainya adalah budaya masyarakat kita.
Baca juga: Saatnya Mengembalikan Marwah MPR, Mewakili Suara Rakyat Suara Tuhan
Tepatnya lebih pada persoalan sopan santun, etika dan moral. Dalam pergaulan bersama di masyarakat, orang tua sering mengingatkan soal etika, seperti ucapan, Terimakasih, Tolong dan Mohon maaf. Adalah dinilai tidak beretika, ketika orang sudah dibantu, tapi tidak ada ucapan terimakasihnya kepada yang membantu. Ungkapan terimakasih itu bisa disampaikan secara verbal atau dalam bentuk pemberian sesuatu sebagai wujud apresiasi. Jadi bukan soal pamrih atau tidak pamrih, tetapi lebih pada soal etika.
Adanya larangan gratifikasi (dengan beragam bentuk dan jenisnya) dalam Undang-Undang Tipikor justru tidak sesuai dengan tradisi, budaya, adat, etika dalam kehidupan bermasyarakat yang sudah berlangsung turun menurun. Apakah kemudian hal itu , dengan memasukan Gratifikasi dalam Undang-Undang Tipikor sebagai suatu tindak korupsi bagi pejabat/ ASN, Pegawai Pemerintahan lalu bisa menghilangkan korupsi di Indonesia?
Apabila dikaitkan dengan filsafat Pancasila dimana konsep pemikiran yang berfokus pada nilai-nilai dasar yang menjadi panduan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Salah satu sila dari Pancasila adalah sila kelima yang berbunyi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” keadilan disini tentu bisa berbeda dari sudut pandang masing-masing , dimana pada prinsipnya mempunyai makna adil terhadap sesama dan menghormati hak-hak masyarakat Indonesia secara etika sopan santun dan adat yang ada.
Baca juga: Peranan MK dan Konflik Pemilukada serta Kepentingan Partai Politik
Apabila dikaitkan dengan Gratifikasi yang merupakan bentuk pemberian atau hadiah sebagai rasa terimakasih atas bantuan dari seseorang kepada orang lain yang sejak dahulu kala telah hidup dan menjadi budaya luhur dari orang Indonesia, sebagaimana juga bagi budaya orang Jepang, maka gratifikasi harus nya tidak masuk dalam klasifikasi delik Pidana. Namun jikalau didalam aturan hukum formil sesuai Undang-Undang Tipikor yang telah memasukan Gratifikasi sebagai sebuah perbuatan pidana bagi Pejabat Negara/ASN, Pegawai Pemerintah, Penegak Hukum, maka maknanya jadi berbeda.
Dimana suatu tindakan korupsi dianggap sebagai tindakan penyelewengan dari sila kelima dari Pancasila yang dapat menyebabkan ketidakadilan antar pemerintah dan masyarakat terhadap negara. Padahal sesuai makna diatas, gratifikasi adalah pemberian hadiah yang merupakan tanda terimakasih kepada pihak lain atas kebaikan dan jasanya, yang telah hidup dan berkembang dalam budaya kearifan bangsa, maka terjadi kontradiksi dengan pengertian korupsi yang punya makna memperkaya diri sendiri atau orang lain atas jabatan yang diembannya sebagai seorang Pegawai Pemerintah.
Untuk itu Mengapa dalam Undang-Undang Tindak pidana korupsi tidak difokuskan kepada pengembalian kerugian negara secara persuasif dalam tingkat penyelidikan dan proses penyidikan? Dimana sesuai doktrin hukum pidana bersifat Ultimum Remedium (jalan terakhir jikalau segala upaya sudah tidak ada titik temu).
Mengapa tidak mengadopsi sistem di negara-negara maju dalam pemperantasan korupsi, baik di negara0negara skandinavia maupun inggris? karena faktanya, baik upaya pencegahan maupun penindakan telah gagal, dimana korupsi justru secara masif disegala lini masih terjadi, yang mana justru sumber pangkalnya terletak pada sistem pengawasan dan moral yang sangat rendah. Korupsi terjadi sejak dari perekrutan pegawai hingga timbul politik transaksional.
Baca juga: Perlu Segera Dilakukan Amandemen Terbatas Untuk Memperbaiki dan Mengembalikan Marwah UUD 1945
Dalam negara hukum, kedudukan penguasa dengan rakyat dimata hukum adalah sama dan sederajat (equality before the law). Yang membedakan hanyalah fungsinya, yakni pemerintah atau penguasa berfungsi mengatur sedangkan rakyat adalah pihak yang diatur, dimana baik yang mengatur maupun yang diatur memiliki satu pedoman yang sama yaitu peraturan perundang-undangan.
Sistem peradilan pidana di Indonesia ditengarai telah lama menjadi industri hukum sebagaimana diungkapkan mantan Menkopolhukam, Mahfud MD dalam forum ILC pada 11 Februari 2020 lalu, sehingga masih ditemukan praktik penyimpangan dalam penegakan hukum, padahal telah ada KPK sebagai badan antikorupsi, di samping Kejaksaan Agung dan Bareskrim Mabes Polri.
Belajar dari negara maju yang indeks korupsinya sangat rendah, seperti negara Denmark selain Inggris, patut diteladani. Denmark, menurut laporan Global Transparency International tahun 2021 menduduki peringkat pertama dalam pemberantasan korupsi, nilai indeks 88 dari nilai acuan 100. Di Denmark, lembaga antikorupsi tidak dipimpin polisi atau pejabat antikorupsi melainkan lembaga Ombudsman dan Oditur Negara yang terintegrasi langsung dengan pemerintah.
Ombudsman tidak bisa berjalan dengan baik dan optimal bila penegak hukumnya juga tidak baik. Ombudsman Denmark didirikan pada tahun 1955 sebagai lembaga independen, yang merupakan sarana kepentingan publik yang berporos pada pemerhati transparansi, akuntabilitas dan efisiensi pemerintahan serta memiliki tanggung jawab sebagai pengawas, penasihat dan penyidik terhadap pejabat yang melakukan penyalahgunaan kekuasaan.
Baca juga: Pembentukan Komisi – Komisi yang Dilahirkan Masa Reformasi, Apakah Efisien dan Memenuhi Rasa Keadilan Masyarakat ?
Kebijakan transparansi di bawah skema keterbukaan yang dilakukan sejak tahun 2009 sebagai upaya pengawasan efektif dalam memantau perilaku para pejabat, sehingga politisi di Denmark menjadi panutan masyarakat dengan gaya hidup sederhana seperti bekerja dengan mengendarai sepeda ontel dan jas dengan harga murah. Parlemen Denmark mempunyai komitmen tinggi dalam pemberantasan korupsi, bandingkan dengan Indonesia!
Demikian juga Inggris, dengan sistem hukum yang kuat dengan peraturan yang sangat ketat dan mekanisme penegakan hukum yang efektif sangat berperan dalam pencegahan dan penindakan korupsi. Inggris, serupa Denmark, mempunyai lembaga pengawasan independen dalam penindakan dan pencegahan. Lembaga tersebut berwenang memeriksa pelanggaran etika pejabat pemerintah.
Adanya budaya antikorupsi dengan digalakkan pentingnya akuntabilitas dan integritas, dimana budaya ini dapat mengurangi toleransi dalam perbuatan korupsi. Selain itu, media yang bebas dan independen yang dapat menjadi pengawas serta dinamisator dan stabilisator dalam transparansi dan akuntabilitas.
Di Inggris, menurut sejarawan Peter Caray, pertarungan korupsi terjadi paling sengit dalam 50 tahun terakhir ini dan seharusnya Indonesia meniru cara Inggris dalam pemberantasan korupsi dengan mengambil langkah- langkah antara lain, menaikkan renumerasi bagi hakim dan penegak hukum serta pegawai negeri, di Inggris hakim dinaikan hingga 500 persen, agar tidak lagi terpengaruh iming-iming para pihak dalam perkara.
Baca juga: Indonesia Negara Demokrasi, Seharusnya Menganut Sistem Presidential atau Parlementer?
Mendirikan komite khusus di parlemen yang tugasnya memeriksa laporan keuangan negara yang terdiri dari 7 orang yang dipandang mempunyai integritas dan kapabilitas mumpuni, di angkat dan di sumpah langsung oleh Raja Inggris.
Menggalakan Revolusi mental dengan cara pendekatan agama dan filsafat ultilarianisme, yaitu memaksimalkan kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat. Doktrin ultilarianisme di populerkan oleh Jeremi Bhetam dan adiknya Samuel Bhetam yang menitik beratkan pada efisiensi, persahabatan dan integritas dalam pemerintahan. Hal ini patut jadi pembelajaran bagi bangsa ini kedepan , khususnya revolusi mental.
Denmark dan Inggris memiliki sistem yang kuat, tranparan dan akuntabel, ditangani oleh pihak yang benar benar independen. Sementara di Indonesia, walaupun sudah memiliki lembaga Ombudsman, KPK, Kejaksaan Agung dan Bareskrim Polri, tetapi struktur hukum tersebut belum bisa menekan korupsi. Malah tidak jarang terjadi peradilan yang aneh, perdata dijadikan pidana, kepentingan politik dibawa ke ranah hukum.
Apabila saat ini penegak hukum lebih berorientasi pada kepentingan untung rugi (dagang), keadaan ini mirip dengan tontonan atas peradilan di Amerika, sebagaimana dikatakan William T. Pizzi, pakar hukum Amerika dalam pembelaannya yang sangat fenomenal, Trial Without Trust (Peradilan Sesat).
Baca juga: Membangun Peradaban Bangsa Berdasarkan Karakter Warisan Leluhur dalam Perspektif Keindonesiaan
Ada beberapa hal menjadi pemicu terjadinya korupsi antara lain: 1. Sistem dimana kita mempunyai sistem yang sangat menunjang terjadinya korupsi. Salah satunya adalah sistem pemilu langsung, untuk pemilihan kepala daerah baik Gubernur, Walikota/Bupati, maupun Presiden yang membutuhkan biaya/cost yang begitu tinggi, sehingga antara modal dengan pendapatan sangat tidak berimbang sehingga memicu ada upaya melakukan korupsi. Hal ini seperti lingkaran setan yang tidak mungkin dicegah oleh penegak hukum, maka tidak heran banyak kasus kepala daerah terjerat korupsi.
2. Budaya dimana korupsi sulit diubah karena kondisi ekonomi yang diakibatkan sistem yang membuat kesejahteraan tidak merata, sehingga yang kaya makin kaya, yang miskin tetap saja miskin. Fakta yang bertentangan dengan cita-cita Proklamasi dan esensi Kontitusi kita.
3. Peraturan perundang-undangan, yang kadang ambivalen/tidak tegas, baik tujuan pencegahan maupun dalam penindakan. contohnya Pasal 4 UU Tipikor yang berbunyi: “Pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara tidak menghapus dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan 3.”
Konsekuensi bunyi pasal tersebut membuat para tindak pidana korupsi cenderung memilih pasang badan ketimbang menyerahkan kerugian baik berupa gratifikasi maupun hasil korupsinya. Hal ini merintangai upaya pengembalian kerugian negara.
Lain halnya apabila pasal tersebut berbunyi, “Apabila pelaku tindak pidana korupsi telah mengembalikan kerugian negara atau perekonomian negara, maka dapat dipertimbangkan dan/atau tidak akan dituntut pidana.” Begitu pula sebaliknya, “Apabila ternyata terbukti tidak mau mengembalikan kerugian negara dan atau perekonomian negara, pelaku akan dijatuhi pidana maksimal beserta denda disertai perampasan seluruh aset yang ada.”
Baca juga: Mencintai Bangsa dan Negara Merupakan Tanda Keimanan, Hubbul Waton Minal Iman
Seperti apa yang pernah dikatakan oleh Guru Besar Hukum Dari Universitas Padjadjaran Bandung, Prof Dr I Gde Pantja Astawa, Kalau berbicara tentang “common enemy” (musuh bersama), masing-masing rezim pemerintah yang berkuasa, berbeda beda. Misalnya, antara pemerintah Orba dan pemerintahan pasca reformasi sampai sekarang.
Pada masa Orba, ‘common enemy” nya adalah (Partai) KOMUNIS (Indonesia), sedangkan rezim pasca reformasi hingga saat ini ‘common enemy’ nya KORUPSI. Walaupun common enemy pada masa Orba adalah Komunis, tidaklah lantas berarti bahwa pada zamannya tidak ada korupsi. Bedanya, kalau pada masa Orba korupsi dilakukan “di bawah meja” birokrat, pungli, sedangkan sekarang mejanya sekalian di korupsi saking ganasnya korupsi yang terjadi saat ini.
Dengan kata lain Korupsi masa kini sudah sistemik, sudah menjelajah dan merasuki berbagai bidang kehidupan. Karena sudah sistemik, tentu upaya menanganinya tidak bisa dilakukan secara parsial, reaktif, pilih kasih dan di “framing” (karena berbagai alasan yang berujung pada kepentingan kekuasaan), tapi harus dilakukan secara holistik, komprehensif, menyeluruh dengan membangun SISTEM yang berbasis pada budaya bangsa, Pancasila, UUD 1945 dan hukum positif yang ada.
Kalau hendak membangun Sistem (yang tidak korup), dapat menggunakan pendekatan Sistem Lawrence Friedman, yaitu :
- Legal Structure – Khususnya Badan atau Aparat Penegak Hukum yang dibangun harus bersih dan berintegritas (Polisi, Jaksa, KPK).
- Legal Substance – Hukum positif yang hendak dibuat harus sedemikian rupa substansinya menutup peluang terjadinya korupsi.
- Legal Culture – Harus berbasis pada budaya dan Idiologi negara, Pancasila sebagai “filter”, mana model pemberantasan korupsi di negara lain bisa diadopsi dan mana yang tidak perlu diadopsi, termasuk konvensi-konvensi internasional tentang korupsi, TPPU dan gratifikasi, yang bisa di adopsi dan yang tidak perlu diadopsi. Semuanya itu disesuaikan dengan Budaya dan Filsafat Pancasila
Selama ini praktek pemberantasan korupsi masih berkutat atau berpusar pada hal-hal yang sangat tidak substansial, bahkan cenderung atau bertedensi “cari Panggung” (istilah anak-anak muda “Pansos – Panjat Sosial”), reaktif, tidak berdasar pada SISTEM. masing-masing Aparat Penegak Hukum bergerak sendiri-sendiri dengan model dan stylenya yang berbeda. Tidak ada sinergitas, masing-masing lebih mementingkan ego sektoralnya dan memandang sesama Aparat Penegak Hukum sebagai rival.
Maka, perlu kemauan bersama untuk memperbaiki, baik dari segi sistem, mental maupun politik dari pemegang kebijakan, baik pemerintah, DPR, maupun para penegak hukum. Dengan rendahnya tingkat korupsi tentu akan bermanfaat bagi seluruh masyarakat dan negara untuk kesejahteraan bersama****
*Agus Widjajanto: Praktisi Hukum, Pemerhati Sejarah. saat ini sedang menempuh pendidikan S3 Ilmu Hukum di Universitas Padjajaran Bandung, tinggal di Jakarta