Korupsi PT Indofarma Tbk, Bongkar Kebobrokan Manajemen, Tersangka CSY, Diduga sebagai Tumbal Mantan Petinggi Perusahaan

by Nano Bethan
40 views
Tersangka

JAKARTA, DICTUM.COM – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jakarta telah menetapkan tiga orang tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan keuangan PT Indofarma Tbk dan Anak Perusahaan tahun 2020-2023 setelah menaikkan status penanganan perkara tersebut ke tahap penyidikan, Kamis 19 September 2024.

Ketiga tersangka itu adalah AP, Direktur Utama PT Indofarma Tbk tahun 2019-2023, GSR, Direktur PT Indofarma Global Medika (PT IGM) tahun 2020-2023 dan CSY selaku Head of Finance PT IGM tahun 2019-2021. Menariknya, salah satu tersangka, CSY, diketahui ketika menjabat sebagai Head of Finance, merupakan orang yang turut ‘melaporkan’ kebobrokan PT IGM ke Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Demikian dikatakan, RA, salah seorang staf keuangan PT IGM, yang di PHK pada 13 Juni 2024 lalu karena dituduh menyebarkan dokumen perusahaan  setelah ramai keluarnya laporan dari BPK. Didampingi Hendrik Hali Atagoran, kuasa hukum dari Agus Widjajanto and Partners, RA dalam keterangan tertulisnya mengatakan, CSY pernah dipanggil Kementerian BUMN pada tahun 2021.

Baca juga: Pelihara Landak Jawa Hanya Pelanggaran Administrasi, Majelis Hakim PN Denpasar Bebaskan  Terdakwa

“Pak Cecep masuk ke IGM sekitar tahun 2019, dan pada tahun 2021, beliau pernah dipanggil oleh salah satu pejabat tinggi di Kementerian BUMN. Beliau ditanya bagaimana kondisi perusahaan (INAF Group). Disitu Pak Cecep menyampaikan kondisi riil perusahaan,” ungkap RA.

Menurut staff keuangan ini, setelah menyampaikan kondisi PT IGM ke Kementerian BUMN, belakangan induk holding perusahaan farmasi yakni PT Bio Farma turun tangan melalui Satuan Pengawasan Internal (SPI). Sayangnya, hasil audit internal perusahaan oleh induk holding itu tidak diketahui hasilnya. “Saya di bagian keuangan, tidak tahu apa hasilnya dari audit internal perusahaan itu, termasuk bagaimana rekomendasinya,” tegasnya.

Setelah dilakukan audit internal perusahaan, RA mengatakan, mendapat informasi dari CSY jika Kementerian BUMN melaporkan kebobrokan INAF Group ke Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. Dimana dari hasil audit BPK ini pula, RA di PHK dan karyawan lainnya diberikan SP-2.

Sementara itu, Kuasa Hukum RA dan CSY, Agus Widjajanto, mempertanyakan profesionalisme penyidik Kejati Jakarta dalam menangani perkara PT Indofarma dan Anak Usahanya. Pasalnya, kliennya yang saat diperiksa dalam kapasitasnya sebagai saksi pada Kamis-Jumat,  18-19 September 2024,  tidak diperbolehkan didampingi kuasa hukum.

Baca juga: Gratifikasi dari Perpektif Filosofi Pancasila dan Membangun Sistem Peradilan Pidana Korupsi yang Holistik

“Fenomena penegakan hukum di Indonesia yang tidak memperbolehkan seorang advokat mendampingi saksi dalam perkara korupsi merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan ketidak hormatan  terhadap harkat martabat advokat,” tegas Agus Widjajanto.

Selain tidak diperbolehkan saksi didampingi kuasa hukum, beberapa saat setelah CSY ditetapkan sebagai tersangka, langsung dilakukan penahanan. Tidak hanya itu, sebagai kuasa hukum, pihaknya juga ‘dipaksa’ meninggalkan handphone sebelum masuk ke ruangan penyidikan Kejati Jakarta. “Ini pelanggaran serius terhadap hak-hak sebagai profesi pembela dan tidak ada di seluruh dunia yang menerapkan hal ini kecuali di Indonesia yang katanya negara hukum dan Demokrasi Pancasila,” lanjutnya.

Menurut Agus Widjajanto, Hukum Acara Pidana dibentuk dan diundangkan dari awal memang dimaksudkan sebagai aturan hukum untuk melindungi tersangka/ terdakwa untuk memperoleh hak-hak standard sesuai hak asasi manusia dalam Due proces of law. Dimana harus dilakukan proses hukum yang adil dan mengandung jaminan hak atas kemerdekaan warga negara dan negara harus menjamin  prinsip tersebut berdasarkan asas-asas hukum acara pidana.

Seperti asas perlindungan, keadilan dan No Diskriminasi yang telah diratifikasi oleh negara-negara demokrasi dalam hukum diseluruh dunia sesuai piagam Magna Cartha (1215), Declaration of Independence (1876) dan Declaration of Human Richts (1948).

Baca juga: Tak Ingin Kena Getah Perkara Landak, PN Denpasar Hanya Lanjutkan Proses Penahanan Penuntut Umum

Disayangkan, fenomena yang terjadi di negeri ini, yang justru dalam masa Reformasi yang harusnya  dengan tujuan memperbaiki sistem disemua lini, pada pemeriksaan di KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan Kejaksaan Agung dalam kasus tindak pidana Korupsi, pada saat pemeriksaan saksi dilarang seorang penasihat hukum untuk mendampingi.

Dengan demikian hak dari terperiksa tidak mendapat pendampingan dari pengacara, sesuai  dalam aturan  due proces of law, padahal pemeriksaan paling faktual justru pada saat BAP dalam status saksi, karena situasi dan kondisi saat itulah yang akan menentukan apakah  seseorang akan dijadikan sebagai tersangka atau tidak.

Meski tidak diatur secara khusus dalam KUHAP,  menurut Agus Widjajanto, fenomena penegakan hukum di Indonesia yang tidak memperbolehkan seorang Advokat mendampingi saksi dalam perkara Korupsi, merupakan pelanggaran hak asasi manusia karena kedudukan seorang Advokat sesuai undang-undang sama sebagai seorang penegak hukum.

“Ini saya katakan untuk perbaikan kondisi penindakan hukum kedepan, mengapa harus begitu? Pada saat mendampingi tersangka, advokat juga harus menanggalkan HP bahkan dompet dan digeledah sebelum masuk ruang penyidikan. Ini pelanggaran serius terhadap hak-hak sebagai  profesi pembela dan tidak ada dijumpai di seluruh dunia yang menerapkan hak ini kecuali di Indonesia, yang katanya negara hukum dan Demokrasi Pancasila.  Apakah ini yang diinginkan dan tujuan dari  Reformasi?” ungkap Agus Widjajanto.

Baca juga: Tidak Tahu Landak yang Dipelihara Adalah Satwa yang Dilindungi, Warga Bongkasa, Badung Diadili   

Ia berharap proses penanganan perkara tindak pidana korupsi dalam pengelolaan keuangan PT Indofarma Tbk dan Anak Perusahaan Tahun 2020-2023 di Kejati Jakarta berlangsung transparan. Sebab kliennya pada saatnya akan membuka seluruh rahasia ‘tersembunyi’ pada PT IGM. “Semuanya, kami akan membongkar perkara ini secara transparan, termasuk mengenai dugaan keterlibatan beberapa petinggi pada PT Indofarma dan PT IGM,” pungkasnya.

Sementara Hendrikus Hali Atagoran menyoroti dugaan kekeliruan penerapan Undang-Undang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara. Dimana PT IGM sebagai anak perusahaan PT Indofarma, tunduk pada ketentuan UU Perseroan Terbatas. Sementara PT Indofarma tunduk pada UU BUMN. “Pertanyaannya, apakah kerugian anak usaha masuk dalam kategori kerugian negara?,” katanya.

Hendrikus menyinggung Prof. Arifin Soeryaatmaja mengenai teori transformasi hukum keuangan negara yakni hakekatnya mendorong status hukum keuangan dari keuangan negara menjadi keuangan badan hukum, yang kemudian berimplikasi kepada pemisahaan keuangan negara dalam badan usaha negara (BUMN Perseroan).

Menurutnya, hal tersebut kemudian menjadi cikal bakal diterbitkatnya  Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan Modal Negara pada BUMN dan Perseroan Terbatas.

“Sehingga kekayaan negara yang menjadi modal dalam bentuk usaha, dalam bentuk saham, dari badan usaha, tidak lagi merupakan kekayaan negara, melainkan sudah berubah status hukumnya menjadi kekayaan badan usaha tersebut,” lanjut Hendrikus.

Baca juga: Ternyata, Kabulkan Pembatalan Sertifikat, PTUN Abaikan Pengakuan Notaris, Masih Draft Bukan Akta   

Guru Besar Universitas Padjajaran Bandung, Prof.  Dr. I Gde Pantja Astawa  ketika dimintai tanggapannya terkait  pendapat kuasa hukum dari RA dan CSY, menyatakan, merujuk Pasal 11 Undang-Undang BUMN, semua BUMN yang berbentuk Persero, tunduk pada UU Perseroan Terbatas (UU PT).

Artinya, segenap ketentuan dan prinsip/asas yang digariskan dalam UU PT berlaku sepenuhnya pada BUMN yang berbentuk Persero. Kekayaan negara yang dipisahkan dan disetor pada BUMN yang berbentuk Persero adalah berupa saham. Negara (dalam hal ini Pemerintah) selaku pemegang saham, sekaligus adalah Pemilik.

Selain Pemilik, terdapat organ lain, yaitu Direksi selaku pengelola/pengurus dan Komisaris selaku pengawas. BUMN yang berbentuk Persero adalah juga Badan Hukum Perdata, yang memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan Pemilik (pemegang saham). Kekayaan yang terpisah itulah yang dijadikan modal buat mengelola usaha apapun yang dilakukan persero tersebut.

Bila perusahaan untung, Negara selaku pemegang saham memperoleh deviden. Rugi perusahan tidak lantas berarti terjadi kerugian negara. Untung atau rugi dalam mengelola perusahaan merupakan resiko bisnis sesuai dengan prinsip “Business Judgment Rules” dan direksi tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana sepanjang direksinya beritikad baik dan didasarkan pada prinsip kehati-hatian.

Terkait dengan anak perusahaan BUMN yang berbentuk Persero, menurut Pakar Hukum Tata Usaha Negara asal Bali ini,   saham yang ada pada anak perusahaan bukanlah bersumber dari kekayaan negara yang dipisahkan, melainkan berasal dari keuntungan perusahaan induknya, sementara hal-hal lainnya berlaku ketentuan dan prinsip yg diatur dalam UU PT.  NAN

Berita Terkait