Oleh: Agus Widjajanto*
DICTUM.COM – Berbicara filsafat, dimana fenomena paling aktual saat ini tidak bisa dipisahkan dengan filsafat modern berkaitan dengan perkembangan pemikiran yang muncul setelah periode Renaisans hingga abad ke-20. Filsafat ini sering kali berfokus pada subjek-subjek seperti epistemologi (pengetahuan), ontologi (hakikat eksistensi) dan etika, dengan banyak pemikir terkenal seperti Descartes, Kant, Hegel, Nietzsche, dan Sartre yang memberikan kontribusi penting.
Beberapa tema kunci dalam filsafat modern meliputi rasionalitas, kebebasan individu dan kritik terhadap otoritas tradisional serta agama. Sindrom Hiperintelektual merujuk pada fenomena ketika seseorang terlalu fokus pada pemikiran rasional, analisis intelektual yang berlebihan dan sering kali mengabaikan aspek emosional, praktis, atau spiritual dalam hidup.
Orang dengan sindrom ini mungkin terjebak dalam argumen teoritis yang rumit, sulit untuk berhubungan dengan pengalaman manusia sehari-hari, atau gagal dalam membuat keputusan karena terlalu banyak mempertimbangkan dari berbagai perspektif.
Baca juga: Penetapan Tersangka Dugaan Korupsi Indofarma Tbk, Atmosfir Hukum Indonesia Sudah Demikian Kelam, Diselimuti Dark Justice
Dalam konteks filsafat modern, sindrom ini mungkin terlihat sebagai dampak dari penekanan yang kuat pada rasionalitas dan pengetahuan objektif, yang sering kali mengabaikan dimensi pengalaman manusia yang lebih emosional atau intuitif. Pemikir seperti Nietzsche dan Kierkegaard mengkritik pendekatan ini, dengan menekankan pentingnya emosi, kehendak dan subjektivitas dalam kehidupan manusia.
Kebenaran yang berbasis Kebijaksanaan, yang merupakan tujuan dari ilmu filsafat yang telah berlangsung ribuan tahun, lambat Laun dalam dunia modern telah bergeser, dimana tengah mengarah kepada kebenaran yang hanya berbasis ilmu pengetahuan yang didasari atas olah pikir dan daya nalar berdasarkan basis intelektualitas.
Fenomena saat ini yang oleh para ahli disebut Hiper Intelektualitas, adalah suatu penyakit pikiran yang sangat abstrak dan terpisah dari perasaan dan budi kita sebagai manusia yang diciptakan Tuhan yang sesuai takdirnya sebagai Khalifah di muka bumi.
Proses mental yang sadar dan logis mengabaikan proses emosi yang instingtual dan spontan. Padahal keseimbangan antara pikiran dan perasaan, antara akal dan budi sangat baik bagi kesehatan baik secara mental maupun spiritual. Mirisnya, filsafat modern kerap justru mengabaikan perasaan dan lebih fokus kepada Intelektualitas.
Baca juga: Dugaan Korupsi Indofarma Tbk, Tim Kuasa Hukum Tersangka Cecep SY Melakukan Langkah dan Upaya Hukum Praperadilan
Filsafat sendiri , menurut pendapat para ahli dan filsuf berbeda-beda, tergantung dari perspektif masing masing tokoh. Immanuel Kant berpendapat filsafat adalah dasar dari seluruh ilmu pengetahuan yang meliputi epistemologi dan menjawab hal-hal yang tidak diketahui . Sedangkan Aristoteles seorang pemikir dan filsuf Yunani kuno berpendapat, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran, logika, fisika, metafisika dan pengetahuan praktis.
Artinya, filsafat bukanlah ilmu yang bersifat abstrak semata akan tetapi meliputi berbagai dimensi keilmuan dimana filsafat adalah ibu dari seluruh ilmu pengetahuan. Termasuk yang bersifat metafisika, yang tidak bisa dijangkau dengan akal.
Sedang kan menurut pemikir dari timur seorang intelektual dunia Islam paling ternama yakni Al Farabi, filsafat adalah ilmu tentang hakekat dari suatu kebenaran dan merupakan ilmu umum yang menggambarkan semesta alam, secara menyeluruh. Sementara pendapat dari Plato bahwa, filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang hakekat yang berusaha untuk mengenali kebenaran yang hakiki.
Baca juga: Aku adalah Kita, Rekonsiliasi Permasalahan Politik Masa lalu, Dalam Pelanggaran HAM Untuk Menatap Masa Depan Bangsa
Tokoh dunia Islam lainya adalah Ibnu Sina yang berpendapat bahwa, filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakekat yang sebenarnya. Selain itu, tokoh filsafat dari Indonesia yakni W.J.S. Purwadarminta berpendapat, filsafat adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asasi-asasi hukum dan sebagainya.
Sedangkan hubungan antara filsafat dan agama, menurut pemikiran Ibnu Rusyd, beliau meyakinkan bahwa antara filsafat dan agama merupakan hal yang saling berkaitan. Filsafat sendiri berusaha untuk mengungkap suatu kebenaran, demikian pula agama yaitu berusaha untuk mengungkapkan suatu kebenaran sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan atau saling berkaitan.
Sedangkan Al Faraby menganggap bahwa baik bagian teoritis maupun praktis dari agama adalah bagian dari khazanah filsafat. Seperti halnya bagian teoritis dari agama dapat di demonstrasikan pada bagian teoritis dari filsafat, demikian pula bagian praktis dari agama dapat didemintrasikan pada bagian praktis dari filsafat.
Secara umum perbedaan antara filsafat dan agama adalah, filsafat dianggap sesuatu pemikiran yang sangat bebas karena berpikir tanpa batasan, sedangkan agama lebih mengedepankan pada Wahyu Tuhan dari dzat yang dianggap Penguasa alam semesta, yang mana perspektif agama adalah sebuah kebenaran yang tidak dapat ditolak.
Baca juga: Gratifikasi dari Perpektif Filosofi Pancasila dan Membangun Sistem Peradilan Pidana Korupsi yang Holistik
Filsafat modern yang berbasis kepada akal yang disebut fenomena terkini dengan filsafat hiper Intelektual, yang tidak lagi berbasis kepada perasaan dan akal budi filosofinya. Hanya terfokus kepada akal dan penalaran, maka akan menemukan sebuah penemuan filsafat yakni sebuah kebenaran yang semu dan kering yang tidak lagi dilandasi akan kebenaran hakekat, yang hanya bermuara kebenaran tanpa ruh, yang bersifat Abstrak.
Hal itu akibat dari ketika manusia menemukan dirinya semakin terbenam dengan intelektualitas, maka akan menemukan dirinya semakin terputus dari pada emosi dan perasaan. Padahal seorang filsuf sejati disamping dituntut untuk olah akal, juga harus mampu melakukan olah rasa dan olah karsa, untuk menemukan kebenaran yang hakiki sebagai bagian dari hamba dan alam semesta ini sebagai suatu Sunatullah.
Semakin terputusnya akal dengan hati budi dan perasaan maka akan semakin jauh diri kita dari pada sifat kebenaran yang merupakan fondamental dari seorang filsuf dan dasar dari pada filsafat itu sendiri dalam menemukan sebuah kebenaran yang sejati .
Baca juga: Saatnya Mengembalikan Marwah MPR, Mewakili Suara Rakyat Suara Tuhan
Dalam Alquranul Kharim, surat Al A’Raf ayat 179, dijelaskan hubungan antara akal dan hati dapat dilihat berdasarkan makna kata yafqahun dan kata qulub. Makna kata yafqahun semakna dengan kata akal (ya’ qilun) yang mengandung makna memahami.
Sedangkan melalui hati (Qulub), manusia dapat mengetahui hal-hal yang tidak dapat dicerna oleh akal seperti halnya sesuatu yang bersifat metafisis. Dimana pada ayat ini menunjukan bahwa adanya perpaduan antara hati (qalb) dengan akal (‘aql) dalam proses kerjanya di tubuh manusia .
Sementara penulis sendiri berpendapat bahwa filsafat adalah sebuah upaya pencarian suatu kebenaran melalui akal, Budi, hati dan seluruh pancaindra yang telah dimiliki untuk mendapatkan hakekat sebuah kebenaran****
*Penulis: Praktisi hukum dan Pemerhati Masalah Politik Sosial Budaya dan Sejarah Bangsanya