Harapan Untuk Pemerintahan Baru:  Memilih Pejabat yang Punya Komitmen  Memperbaiki Kondisi Penegakan Hukum

by Nano Bethan
88 views
Opini

Oleh: Agus Widjajanto*

DICTUM.COM – Apabila ada yang menyatakan kondisi peradilan dalam penegakan hukum kita baik baik saja, itu tidak benar, omong kosong. Kondisi saat ini merupakan kondisi terburuk yang pernah ada sejak Indonesia Merdeka.

Dimasa reformasi segala lini hampir mengalami ketidak pastian, bahkan keamanan, dengan maraknya begal diperkotaan, belum lagi masalah mafia tanah yang semakin merajalela, menguasai lahan ratusan hektar, menggusur rakyat setempat yang menggarap lahan yang berstatus tanah negara.

Hal ini hendaknya menjadi perhatian pemerintahan baru yang akan dilantik pada 20 Oktober nanti, agar bisa memilih pejabat penegak hukum, termasuk Menteri ATR/ Kepala BPN yang memang menguasai hukum pertanahan dan berani memperbaiki kondisi serta memberantas mafia tanah, bahkan mafia peradilan soal tanah.

Ambil contoh, ada sebuah kasus dalam sengketa lahan, dimana Pihak BPN di sebuah Kabupaten di Selatan Jakarta, yang  juga ditarik sebagai para pihak dalam perkara, bisa menerbitkan sertifikat Hak Guna Bangunan atau Hak Guna Usaha  pada masa proses persidangan dengan acara dupik (jawaban dari pihak Tergugat).

Baca juga: Penetapan Tersangka Dugaan Korupsi Indofarma Tbk, Atmosfir Hukum Indonesia Sudah Demikian Kelam, Diselimuti Dark Justice

Pada saat pembuktian, pemegang  sertifikat yang diterbitkan BPN kabupaten tersebut diajukan sebagai  bukti dan diketahui, sertifikat diterbitkan pada tanggal, bulan dan tahun pada saat sidang duplik di pengadilan, dengan tenggang waktu mingguan sejak diterbitkannya. Karena bukti tersebut diajukan dan diterbitkan pada masa proses persidangan, yudex facty tingkat pertama tidak mempertimbangkan bukti tersebut.

Anehnya, Mahkamah Agung dalam pertimbangan kasasi justru menjadi pertimbangan hukum dan dinyatakan sah. Sedangkan status tanahnya adalah tanah negara, yang secara Undang-Undang, yang paling sah mengajukan sertifikat adalah yang menduduki, menggarap, mengelola  serta yang menguasai lahan  dan yang pertama membayar pajak. Bukan yang mengajukan secara administratif saat proses persidangan berlangsung dan tidak pernah menguasai lahan.

Mirisnya, obyek tersebut digarap dan dikelola oleh ratusan penggarap dari desa setempat, sejak tahun 1997 hingga sekarang. Padahal  kalau merujuk pada kondisi de facto, para penggarap yang telah menguasai lahan puluhan tahun, berdasarkan Pasal 24 ayat (2) PP 24 / 1997 tentang Pendaftaran Tanah, paguyuban penggarap petani yang masih menggarap objek sengketa, kedudukannya kuat secara hukum.

Dari kasus ini kita bisa menilai betapa memprihatinkan nya kualitas dan kapabilitas serta kredibilitas pejabat kita di bidang tersebut, termasuk  penegak hukum kita yang kerap membuat pertimbangan hukum dalam putusan cuma tiga  halaman. Diduga dibuat dan dikonsep oleh asisten sehingga bagaimana bisa menjelaskan secara komprehensif sebuah putusan  kasus yang disengketakan.

Baca juga: Filsafat Modern dan Sindrom Hiper Intelektualisme

Putusan haruslah mengacu pada asas keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku serta peraturan pemerintah serta hukum adat setempat. Mustahil bisa memberikan sebuah putusan yang adil dan berbasis  kepastian hukum. Hal ini hendaknya jadi perhatian Ketua Mahkamah Agung kedepan sebagai benteng terahir peradilan,  untuk bisa memperbaiki diri sebagai Lembaga Peradilan yang bermahkota emas  dengan putusan-putusan yang adil dan sesuai asas-asas peradilan.

Masih banyak peradilan yang sangat aneh seperti kasus Vina Cirebon, kasus kriminalisasi dalam konspirasi merampas hak seorang janda di Bali dengan latar belakang warisan dari mendiang suaminya, kasus Jesica kopi  sianida, kasus Alif di Medan kasus-kasus yang berlatar belakang politis dalam konflik kekuasaan, yang tidak bisa disebut kan satu persatu, baik di pusat maupun di daerah.

Semua itu mencerminkan bahwa penegak hukum kita bisa digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk melakukan penindakan hukum sebagai sebuah jalan untuk bargaining position dalam kepentingan tertentu. Dengan kondisi tersebut maka jujur harus dikatakan, Indonesia  mendambakan  penegakan hukum seperti saat jaman Orde Baru berkuasa.

Dimana tahun 1981, mengangkat pejabat lembaga hukum yang saat itu dikenal dengan punakawan dalam tokoh pewayangan dalam penegakan hukum. Ketika itu mengangkat Mudjono, SH., menjadi ketua Mahkamah Agung menggantikan Oemar Seno Adji yang pensiun dimana Mudjono   dikenal dengan sebutan  Semar. Sedangkan, Ali Said, SH., yang lama jadi Jaksa Agung diangkat jadi Menteri Kehakiman diibaratkan sebagai Petruk  serta  Ismail Saleh, SH.,  diangkat jadi Jaksa Agung yang dikenal dengan Gareng.

Baca juga: Aku adalah Kita, Rekonsiliasi Permasalahan Politik Masa lalu, Dalam Pelanggaran HAM Untuk Menatap Masa Depan Bangsa

Padahal ketiga tokoh punakawan hukum tersebut bukan alumni dari universitas ternama yang kampiun dengan fakultas hukumnya. Bertiga alumni dari Sekolah Tinggi Hukum Militer, yang dulu dipandang sebelah mata dalam hal ilmu hukumnya. Nyatanya, mereka  bisa dan mampu menunjukan nyali dan kwalitasnya sebagai nahkoda lembaga penegak hukum yang kredibilitasnya diakui terbaik hingga saat ini.

Dalam masa itu betapa rinci dan runut pertimbangan hukum, baik hakim tingkat pertama sampai  Hakim Agung di Mahkamah Agung, yang bisa mencapai puluhan  halaman. Tidak heran putusan yang dianggap brilian dan mendundukkan keadilan dijadikan acuan sebagai Yurisprudensi Mahkamah Agung.

Dalam sebuah Opini di Harian Kompas, tanggal 29 Agustus 2024, seorang Guru Besar Pidana dari Universitas Padjajaran Bandung, Prof. Dr. Romly Artadasmita  menulis tentang keprihatinan kondisi penegakan hukum di Indonesia yang dianggap telah melenceng jauh dari Undang-Undang kehakiman yang diberikan kekuasaan yang Merdeka,  Imparsial  dan Independen, yang justru kerap digunakan oleh Eksekutif untuk melakukan proses hukum terhadap tokoh-tokoh tertentu.

Ada beberapa pihak dan dari pembaca yang justru mengusulkan, pejabat Yudikatif dipilih langsung oleh rakyat seperti dalam Eksekutif, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta Legislatif (DPR/DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota Madya). Sistem baru ini diciptakan suatu sistem baru untuk mencari sosok seorang petinggi penegak hukum sebagai garda terdepan penegakan hukum di negeri ini.

Baca juga: Korupsi PT Indofarma Tbk, Bongkar Kebobrokan Manajemen, Tersangka CSY, Diduga sebagai Tumbal Mantan Petinggi Perusahaan

Analisa dari Prof. Dr. Romly sangat bagus dan  komprehensive tentang kemelut hukum yang ditandai berbagai skandal hukum. Yang paling jelas dan tegas yaitu:  Tanggung jawab pemegang mandat kekuasaan terhadap menjaga kepastian hukum, yaitu Presiden dan DPR. Kelemahan ketentuan dan pelaksanaan sanksi terhadap pelanggaran hukum oleh penguasa. Lembaga lembaga  hukum dengan mudah di intervensi untuk kepentingan penguasa.

Pertanyaan kita selanjutnya, Kalau presiden (eksekutif) dan DPR (legislatif) dipilih langsung oleh rakyat, mengapa lembaga hukum (yudikatif) tidak dipilih langsung oleh rakyat? Apabila lembaga yudikatif dipilih oleh rakyat, siapa/lembaga yudikatif yang mana dipilih langsung oleh rakyat? Apakah Jaksa Agung seperti di Amerika Serikat ?

Menjawab pertanyaan di atas, mengapa lembaga yudikatif tidak dipilih langsung oleh rakyat (seperti halnya DPR dan Presiden dipilih langsung oleh rakyat), Pertama, kendatipun tidak ada satupun negara di dunia ini menerapkan Doktrin Trias Politica (semurni ajarannya), namun paling tidak cabang kekuasaan yudikatif memang sengaja dari awal oleh para pemimpin terdahulu  dibiarkan tetap steril dari intervensi cabang kekuasaan legislatif dan cabang kekuasaan eksekutif.

Ini karena dari tiga  cabang kekuasaan yang ada dalam negara, hanya cabang kekuasaan yudikatiflah yang paling lemah, sementara cabang kekuasaan yudikatif diharapkan menjadi benteng terakhir untuk  mengontrol dua  cabang kekuasaan yakni  legislatif dan eksekutif, selain untuk  melindungi Hak Asasi Manusia  dari tindakan ke sewenang-wenangan  penguasa terhadap warga negara.

Baca juga: Saatnya Mengembalikan Marwah MPR, Mewakili Suara Rakyat Suara Tuhan

Oleh sebab itu,  cabang kekuasaan yudikatif dibiarkan steril dari intervensi kekuasaan dari  manapun baik dari Eksekutif maupun dari Legislatif dan dari pihak-pihak lain dalam masyarakat dalam komponen sebuah negara. Doktrin ini yang kemudian melahirkan prinsip :”Kekuasaan Kehakiman yang merdeka, imparsial, dan independen” sebagai prinsip yang berlaku universal di semua negara (termasuk Indonesia, vide Pasal 24 UUD 1945).

Kedua, berbeda halnya dengan cabang kekuaasaan yudikatif, cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif adalah Jabatan Politik (Bisa diisi oleh siapapun dan dari latar belakang pendidikan, status sosial – ekonomi apapun sepanjang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Undang-Undang yang terkait), sedangkan pengisian jabatan pada kekuasaan kehakiman mutlak dan harus serta wajib  berlatar belakang pendidikan hukum, yang tidak semua orang bisa mengisi ataupun memangku jabatan tersebut.

Itulah sebabnya mengapa (jabatan yang ada pada) cabang kekuasaan kehakiman tidak dipilih langsung oleh rakyat. Siapapun yang memangku jabatan di ranah cabang kekuasaan yudikatif (khususnya jabatan Ketua Mahkamah Agung  dan segenap Hakim Agungnya), semuanya kembali pada “the man behind the gun” untuk bisa tegak lurus pada hukum dan Konstitusi serta “berani” melawan intervensi kekuasaan dari manapun datangnya.

Ada tiga persoalan dalam hal ini yakni,  Satu, memang terjadi pergeseran moral dimana dengan gaya hidup dan tuntutan hidup, terjadi pergeseran orientasi hukum dimana hukum sudah menjadi komoditas bisnis.

Baca juga: Peranan MK dan Konflik Pemilukada serta Kepentingan Partai Politik

Kedua, proses perekrutannya, harus kembali meniru dan mengadopsi cara Orde Baru, dimana Hakim Agung dalam proses penerimaan benar-benar  bersih yang ditunjuk langsung berdasarkan rekam jejak dalam putusan putusanya oleh Menteri Hukum dan HAM yang diusulkan presiden, hilangkan Fit And Proper tes oleh DPR RI di komisi III.

Dimana dengan cara meneliti  dari  putusan-putusan pengadilan dari hakim  yang dianggap bagus dalam pertimbangan hukumnya. Mahkota hukum terletak pada putusan tersebut, dipantau dan dijadikan referensi untuk diangkat jadi Hakim Tinggi dan Hakim Agung. Memilih hakim karier dari bawah, sehingga memupuk semangat hakim di tingkat pertama untuk membuat putusan yang brilian dan terobosan hukum demi keadilan dan juga akan menjadi barometer, penilaian  untuk naik jenjang lebih tinggi menjadi Hakim Agung, yang merupakan puncak karier seorang Juris di Indonesia.

Ketiga, naikan tunjangan dan gaji khusus di lembaga peradilan, setidaknya sebagai upaya agar tidak terkontaminasi  dengan iming-iming atau rayuan dalam bentuk materi untuk membuat putusan yang jauh dari rasa keadilan. Sehingga mereka merasa tenang, karena tanggung jawab bukan hanya pada negara, tapi juga pada Tuhan Yang Maha Esa dan masyarakat.

Semoga pada masa Kabinet Presiden selanjutnya bisa jadi pertimbangan, introspeksi diri dan mencontoh Pak Harto dalam mengangkat para petinggi lembaga peradilan baik Ketua MA, Jaksa Agung, Ketua MK, Ketua KPK , Ketua Ombudsman,  termasuk Menteri ATR/Kepala BPN yang bisa memberantas mafia tanah. Ini karena contoh yang paling utama adalah dari perilaku pimpinan kepada bawahan seperti gaya hidup maupun dalam memberikan suri tauladan dalam setiap putusan hukum yang memberikan rasa keadilan kepada masyarakat****

*Penulis: Praktisi hukum, Pemerhati Sosial Budaya, Politik dan Sejarah Bangsa.

 

 

Berita Terkait