Oleh. : Agus Widjajanto*
DICTUM.COM- Filsuf dan sejarawan Jerman, Friedrich Karl Von Savigny ( 1779 – 1861 ) dianggap sebagai salah satu bapak hukum Jerman. Beliau adalah tokoh Mazhab sejarah (Historical School Jurisprodence) yang dikembangkan pada paruh pertama abad ke- 19. Pernyataan yang terkenal dari Friedrich Savigny adalah “Das Recht Wird Nicht gemacht est ist und word mit dem volve” (Hukum itu tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang dalam jiwa bangsa) .
Bagi Mazhab sejarah seperti Savigny hukum terbentuk lewat mekanisme yang bersifat boom up (dari bawah keatas) bukan top down (atas kebawah). Hukum adalah bagian dari sejarah, hukum adalah nilai yang berakar dari jiwa suatu bangsa. Ini benar sesuai dengan lahirnya Pancasila, sebagai pandangan hidup dan filosofi bangsa yang digali dari nilai-nilai luhur yang berakar pada bangsa kita sendiri. Itulah sebabnya Savigny melontarkan konsep “Volkgeist” atau jiwa bangsa . Sayang dalam kodifikasi hukum kita baik dalam hukum pidana maupun perdata dan hukum dagang, masih mengacu pada warisan kolonial pemerintahan Hindia Belanda.
Kakawin Nagara Kertagama yang ditulis oleh Mpu Prapantja dalam bahasa Jawa kuno, menginspirasi beliau dalam menyusun sila-sila Pancasila. Ditemukan pertama kali di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), pada tahun 1894, pertama-tama disebut Kakawin Desa Warnana, yang melukiskan tentang pemerintahan saat itu dalam wilayah kerajaan Majapahit, termuat dalam bait (Ngk.pupuh 94: 4).
Baca juga: Penetapan Tersangka Dugaan Korupsi Indofarma Tbk, Atmosfir Hukum Indonesia Sudah Demikian Kelam, Diselimuti Dark Justice
Naskah Kakawin Nagara Kertagama ini menjadi sangat menarik dan istimewa lantaran memberikan keterangan langsung mengenai kondisi dan adat istiadat serta sistem pemerintahan baik lokal (daerah dalam lingkup kadipaten), desa, maupun pusat kerajaan mengenai masyarakat Jawa kuno pada suatu masa tertentu dan dilihat dari sudut pandang tertentu.
Inilah sebenarnya yang menginspirasi para pendiri bangsa kita (Founding Father) dalam membentuk sebuah konsep berdirinya Negara Kesatuan yang kemudian dikenal dengan nama Indonesia. Nagara Kertagama merupakan Kitab sumber nilai- nilai Pancasila yang kemudian menginspirasi Bung Karno dalam menyusun Dasar Negara Republik Indonesia. Termasuk Mr. Moh. Yamin dan Mr. Soepomo, dalam memberikan masukan konsep tentang dasar negara dan sistem ketatanegaraan dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
Bung Karno dalam Auto Biografinya “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat” pada halaman 240 menulis: “Aku tidak mengatakan, bahwa aku menciptakan Pancasila, apa yang aku kerjakan hanyalah menggali jauh kedalam bumi kami, tradisi-tradisi kami sendiri dan aku menemukan lima butir mutiara yang indah”.
Baca juga: Aku adalah Kita, Rekonsiliasi Permasalahan Politik Masa lalu, Dalam Pelanggaran HAM Untuk Menatap Masa Depan Bangsa
Didalam puluh 43 Kitab Nagara Kertagama, dituliskan oleh Mpu Prapantja “Agar kiranya berusaha memegang teguh pada Pancasila, lima kaidah tingkah laku utama”. Disinilah sebenarnya sumber inspirasi dari para pendiri bangsa yang lalu digali dan dirangkum menjadi sila-ila dalam Pancasila.
Berbicara tentang sistem ketatanegaraan kita, tidak bisa dilepaskan dari pendapat Mr. Soepomo, yang merupakan ikon penting dalam dunia politik hukum di Indonesia. Dalam pidatonya tanggal 31 Mei 1945 didepan BPUPKI, Soepomo mengemukakan dan melontarkan gagasan tentang “Negara Integralistik” sebagai bentuk paling tepat bagi Indonesia suatu hari nanti saat merdeka. Gagasan ini pulalah yang dikemudian hari menjadi inspirasi pada saat disusunnya Undang-Undang Dasar 1945 ( UUD 1945).
Saat itu timbul kontroversi yang mengemuka adalah ide model Negara Integralistik yang ditawarkan Soepomo merupakan bentuk yang dianggap fasis, yang mencontoh dari kerajaan Jepang dan Jerman saat itu, dianggap adanya persesuaian dengan watak masyarakat Indonesia yang dilandasi semangat kekeluargaan. Setelah Indonesia merdeka, banyak studi hukum ketatanegaraan menilai Pemerintahan Orde Baru merupakan penerjemahan paling sempurna dari gagasan yang diajukan oleh Soepomo.
Baca juga: Filsafat Modern dan Sindrom Hiper Intelektualisme
Soepomo seorang bangsawan Jawa keturunan darah biru dari Keraton Kasunanan Surakarta, sangat memahami kontek sistem manunggal Kawuloning Gusti dalam suatu pemerintahan feodal Jawa. Merupakan penyatuan antara rakyat dan pemimpin yang bisa membentuk suatu masyarakat yang harmonis berdasar karakteristik masyarakat Indonesia. Sebenarnya inspirasi dari Soepomo didapat dari model pemerintahan desa-desa kuno di Jawa, seperti yang tertulis dalam Kitab Kakawin Nagara Kertagama.
Para ahli hukum tatanegara berpendapat, dalam kajian penelitiannya bahwa Soepomo, mengambil konsep pemikiran dari tiga filsuf pada abad 18 dan 19, yakni Benedict Spinoza, Adam Muller dan Georg W .F. Hegel. Sebagai terjemahan dari ketertarikan seorang Soepomo menyangkut sistem pemerintahan Jepang dalam bentuk Tenno – Haika dan Jerman saat itu.
Padahal model Jepang sebagai negara feodal dengan raja sebagai poros paling atas kekuasaan dianggap oleh Soepomo, sama persis dengan sistem kepemimpinan dalam pemerintahan di Jawa yang menggunakan model Kawulo Manunggaling Gusti. Dalam praktek pemerintahan kerajaan Mataram Islam di Jawa yang mengadopsi sistem pemerintahan pada Kerajaan Majapahit, dimana Raja sebagai Gusti atau kepala negara dengan perangkat wakilnya Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan.
Baca juga: Korupsi PT Indofarma Tbk, Bongkar Kebobrokan Manajemen, Tersangka CSY, Diduga sebagai Tumbal Mantan Petinggi Perusahaan
Soepomo menolak konsep individualisme Barat, sesuai rujukan dari filsuf Inggris, Jeremy Bentham. Menurut Soepomo, konsep individualitas ala barat bertentangan dengan struktur masyarakat desa, yang merupakan soko guru untuk cermin struktur masyarakat yang lebih luas dalam Negara yang bentuk paling ideal dan orisinil adalah dari sistem penyatuan antara Kawulo (Rakyat) dengan Pemimpin (Gusti) .
Masyarakat Desa Adat merupakan referensi paling sempurna dan orisinil bagi Soepomo dalam sistem pemerintahan kita dari sudut sistem ketatanegaraan. Dimana dalam negara integralislis ala Pemerintahan Desa tidak ada pertentangan dan selalu ada Harmono kepentingan. Ini karena negara dikelola secara kekeluargaan layaknya sebuah keluarga harmonis. Negara Integralistik dalam perspektif Soepomo berakar dari struktur sosial masyarakat desa, dimana setiap orang dan golongan memiliki tempat dan kewajiban sendiri-sendiri sesuai kodratnya.
Marsilam Simanjuntak dalam bukunya dari hasil studi yang sangat impresif soal konsep negara Integralistik, menguraikan bagaima Sorpomo “membayangkan” dalam hal sistem dan ketatanegaraan. Marsilam Simanjuntak fokus pada kohesitas gagasan Soepomo dengan pemikiran Hegel.
Baca juga: Harapan Untuk Pemerintahan Baru: Memilih Pejabat yang Punya Komitmen Memperbaiki Kondisi Penegakan Hukum
Menurut penulis, aliran dan pendapat dari Benedict Spinoza dan Adam Muller serta Georg W.F .Hegel, bukan merupakan rujukan dan pengaruh terhadap Soepomo dalam mengusulkan ide negara Integralistik, dimana sebagai seorang bangsawan Keraton Kasunanan Surakarta, Soepomo mengambil contoh dari kehidupan sistem pemerintahan kerajaan Mataram Islam dan Majapahit dalam pemerintah desa-desa adat, yang di komseptualkan dalam sistem terbentuk nya sebuah negara baru yang bernama Indonesia. Kebetulan karena lulusan pendidikan hukum di Belanda, referensi para filsuf Eropa pada abad ke- 18 dan 19 hanya sebagai perbandingan pandangan.
Pada era kini dalam era reformasi, ide terbentuk nya negara Integralistik dari Soepomo dan tulisan dari Mpu Tantular dalam Kakawin Nagara Kertagama yang menggambarkan situasi dan sistem kekuasaan saat itu dan terbentuk nya Kontitusi dan Dasar Negara Pancasila saat Indonesia Merdeka. Masa reformasi dirombak total melalui amandemen hingga ke empat kali.
Pada masa orde baru memang tidak selalu sempurna, wajar ada kekurangan, dalam doktrinisasi politik contohnya. Institusi TNI saat itu menjadi Dwi fungsi ABRI, yang bukan lagi sebagai alat pertahanan dan keamanan tapi juga sekaligus alat politik, ini yang harus diperbaiki, bukan seperti mengejar tikus dalam lumbung padi, bukan tikusnya yang di bunuh tapi justru lumbungnya yang dibakar, ini kan aneh.
Sebagai penjelmaan suara bagi seluruh rakyat, ada lembaga tertinggi yang namanya MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) yang dulu merupakan dewan rembuk Desa Adat, yang memberikan keputusan yang diambil secara musyawarah mufakat. Terdiri dari wakil tetua adat, tetua agama, wakil pemuda, wakil perangkat pemerintahan desa, itulah yang disebut rembuk Desa.
Baca juga: Dugaan Korupsi Indofarma Tbk, Tim Kuasa Hukum Tersangka Cecep SY Melakukan Langkah dan Upaya Hukum Praperadilan
Demikian juga MPR yang susunan anggotanya terdiri dari Seluruh anggauta DPR RI, wakil golongan yaitu golongan dari perwakilan agama seluruh Tanah air, wakil dari organisasi kemasyarakatan, organisasi pemuda dan wakil daerah yang mewakili daerah masing-masing, ada Gubernur, Bupati, Walikota dan sebagainya, yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat melalui perwakilan.
MPR diberikan mandat dan wewenang menyusun GBHN (Garis Besar Haluan Negara), apa yang mau dituju bangsa ini, apa yang mau dibangun bangsa ini, dalam jangka panjang, menengah dan pendek. Pemerintah kemudian membuat Repelita dalam pelaksanaan pembangunan tersebut. Itulah wujud dari sistem negara Integralistik ala Kakawin Nagara Kertagama dan sistem pemerintahan desa dalam lingkup skala negara.
Guru Besar Senior Hukum Tata Negara dari Universitas Padjadjaran Bandung, Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, dalam sebuah kesempatan ngopi bareng di Bandung mengatakan, ada 2 (dua) hal prinsipil terkait dengan pemikiran Prof. Soepomo yang disampaikan dalam penyusunan UUD 1945 di BPUPKI, yaitu:
Pertama, konsep Integralistiknya (Soepomo) yang mengadopsi model kepemimpinan raja-raja Jawa pada masa kerajaan (sebagai perbandingan sengan merujuk ke Jepang, Kaisar Hirohoto dan Musolini, Italia) yang menerapkan model kepemimpinan “Manunggaling Kawulo Gusti”, bersatunya rakyat dengan Pemimpinnya. Rakyat dan pemimpin merupakan satu kesatuan, maka tidak pada tempatnya bagi rakyat untuk berbicara HAM dan Pemimpin diyakini sebagai Wakil Tuhan di dunia yang tidak mungkin akan sewenang-wenang atau zholim kepada rakyat.
Baca juga: Peranan MK dan Konflik Pemilukada serta Kepentingan Partai Politik
Idealnya, bila yang jadi pemimpin adalah nabi, atau paling tidak malaikat. Karena pemimpin adalah manusia tempatnya bermukim kesalahan atau kekurangan, tentu saja potensi untuk bertindak sewenang-wenang atau zholim/diktator bukanlah suatu hal yang musykil.
Begitu juga HAM sebagai sesuatu yg melekat pada fitrah manusia yang merupakan karunia Tuhan, tidak dapat dinafikan keberadaannya. Itulah sebabnya, konsep Integralistik Soepomo mendapat sanggahan dari Bung Hatta, yang menyatakan bahwa konsep Integralistik berpotensi besar melahirkan Negara Kekuasaan (Machsstaat) dan perlunya diakui/diberikan jaminan pengakuan terhadap HAM, walau hanya pokok-pokoknya, tidak juga model HAM ala Barat yang lebih mementingkan Hak daripada Kewajiban, melainkan HAM yang menjamin adanya keseimbangan antara Hak dan Kewajiban. Dengan adanya sanggahan Bung Hatta itulah, konsep Integalistik tidak jadi digunakan basis dalam konteks hububungan rakyat dan pemimpinnya.
Kedua, Konsep Republik Desa (Soepomo), diadopsi dari praktek pemerintahan desa masa lalu, yaitu adanya konsep “Rembug Desa” yang dalam kontek Indonesia merdeka dijelmakan dalam bentuk institusi negara yg bernama MPR, Kepala Desa, dijelmakan ke dalam bentuk lembaga kepresidenan dengan pemangku jabatannya yang disebut Presiden. Konsep Republik Desanya Soepomo itu di adopsi dari pemerintahan desa yang kemudian dimodifikasi dan disesuaikan dengan kondisi dan situasi Indonesia merdeka.
Baca juga: Saatnya Mengembalikan Marwah MPR, Mewakili Suara Rakyat Suara Tuhan
Sedangkan sekarang, kewenangan MPR sudah dicabut. Dengan demikian, tidak ada lagi GBHN dan Repelita yang berakibat bangsa ini kehilangan arah (Kompas), tidak ada lagi petunjuk arah. Masing – masing pemerintahan dan daerah dalam Otonomi Daerah bisa menerjemahkan sesuai dengan perspektif masing masing. Belum lagi sistem pemilihan langsung, dimana masa lalu sebelum reformasi, MPR adalah lembaga tertinggi yang merupakan mandataris Presiden dan wakil presiden.
Diubah menjadi suara rakyat langsung menjadi Mandataris presiden, melalui pemilu langsung, yang kita sama-sama bisa lihat dan merasakan, dimana seolah kita sudah kehilangan ruhnya sebagai sebuah bangsa. Sudah bermetafora pada bangsa dengan sistem liberal, yang dulu tidak pernah dibayangkan sekalipun oleh para pendiri bangsa, dan itulah yang terjadi***
*Penulis: Praktisi Hukum, Pemerhati Sosial Politik, Budaya Bangsanya, tinggal di Jakarta