Pancasila sebagai Philosophische Grondslag, Harus Diterapkan dalam Pendidikan Nasional Bertujuan Membangun Karakter Bangsa

by Nano Bethan
69 views
Opini

Oleh.  : Agus Widjajanto*

DICTUM.COM – Pancasila lahir secara konsep perumusan Dasar Negara pada tanggal 1 Juni 1945, pada  saat Bung Karno menyampaikan pidato pandangan umum tentang perumusan Dasar Negara pada sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu Junbi Casakai. Pancasila sendiri berasal dari kata Panca yang berarti lima dan Sila yang berarti prinsip atau asas dalam pedoman berbangsa dan bernegara sebagai Sebuah Dasar Negara, falsafah dan pandangan hidup bangsa (PhilocophiSche Grondslag).

Secara de Jure, Pancasila ada dan berlaku sebagai dasar Negara sejak 18 Agustus 1945 atau  sehari setelah Proklamasi, sebagai statement kemerdekaan sebuah Bangsa. Namun secara de Facto Pancasila sebagai sebuah landasan  falsafah dan pandangan hidup bangsa (Philosophische Grondslag atau Weltanschauung) sudah ada sejak ribuan tahun sebelum ada negara yang bernama Indonesia di bumi Nusantara.

Pancasila  telah hidup dan menjadi pedoman masyarakat sejak kerajaan besar di Jawa dan di Nusantara. Sebagai hukum yang hidup dan berkembang, dilaksanakan oleh masyarakat sebagai pedoman dalam bermasyarakat dan bernegara (Living Law).

Hal ini terjadi baik sejak Mataram Hindu yang pernah mengalami masa  perang agama dalam sejarah masa lalu antara dinasti Sanjaya beragama Hindu  (732-1007 M)  dan dinasti  Syailendra beragama Budha, dimana saat pemerintahan Rakai Panangkaran Putra Raja Sanjaya, terjadi perang agama yang begitu dahsyat sehingga kerajaan  terbelah menjadi dua bagian.

Mataram Hindu berada di Jawa bagian Utara dan Mataram Budha berada dibagian selatan. Kedua golongan ini disatukan kembali oleh Rakai Pikatan dari dinasti Sanjaya dengan melakukan perkawinan politik,  mengawini Pramordhawardani dari keluarga Syailendra.

Sebagian  sejarawan meyakini bahwa Raja Rakai Pikatan yang mempunyai nama samaran “Resi Gunadarma ” sebagai arsitek mendirikan candi bercorak Budha yang dikenal dengan Sambadha Budura (Borobudur) serta candi Sewu Roro Jonggrang yang bernama Candi  Prambanan di Klaten perbatasan Jogjakarta.

Sejak saat, itu ajaran ajaran luhur tentang konsepsi Pancasila sebagai living law  sudah berlaku, sebagai pedoman penghormatan dalam kehidupan  terhadap sesama umat beragama dan antar umat beragama sesuai sila pertama dalam Pancasila. Dilanjutkan dalam pemerintahan Kerajaan Kediri di Jawa Timur dan Singosari di Malang  kemudian dilanjutkan  pada masa  kerajaan Majapahit pada tahun 1293 hingga 1527 sebagai kerajaan bercorak Hindu dan Budha.

Saat Majapahit mencapai kejayaan dalam pemerintahan Raja Hayam Wuruk, seorang Empu yang beragama Budha yakni Mpu Prapanca menulis  dalam kitab  Kakawin Nagara Kertagama, ditulis dalam bahasa Jawa kuno, menginspirasi  para pendiri bangsa kita (Founding Father) sebagai  konsep dalam berdirinya negara Kesatuan yang kemudian dikenal dengan nama Indonesia.

Kakawin Nagara Kertagama ditemukan pertama kali di pulau lombok Nusa Tenggara Barat pada tahun 1894. Pertama disebut Kakawin Desa Warnana, yang melukiskan tentang pemerintahan saat itu dalam wilayah kerajaan Majapahit, termuat dalam bait (Ngk.pupuh 94: 4).

Naskah Kakawin Nagara Kertagama ini menjadi sangat menarik dan istimewa lantaran memberikan keterangan langsung mengenai kondisi dan adat istiadat serta sistem pemerintahan, baik lokal (Daerah dalam lingkup Kadipaten), Desa, maupun pusat Kerajaan,  mengenai masyarakat Jawa kuno pada suatu masa dan dilihat dari sudut pandang tertentu.

Kakawin Nagara Kertagama merupakan Kitab yang menjadi sumber nilai-nilai Pancasila yang kemudian menginspirasi Bung Karno dalam menyusun Dasar Negara Republik Indonesia dan juga Mr. Moh. Yamin dan Mr.  Soepomo   dalam memberikan masukan konsep tentang dasar negara  dan sistem ketatanegaraan dalam sidang BPUPKI.

Bung Karno dalam Auto Biografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, halaman 240 menulis “Aku tidak mengatakan, bahwa aku menciptakan Pancasila, apa yang aku kerjakan hanyalah menggali jauh kedalam bumi kami, tradisi-tradisi kami sendiri, dan aku telah menemukan lima butir mutiara yang indah”.

Naskah Nagara Kertagama juga telah diakui oleh kalangan International dan secara resmi masuk dalam daftar Memory of The World UNESCO. Dalam pupuh 43, Mpu Prapanca menulis “Agar kiranya berusaha memegang teguh pada Pancasila, lima kaidah tingkah laku utama”. Disinilah sebenarnya sumber inspirasi dari para Pendiri bangsa yang lalu digali dan dirangkum menjadi sila – sila dalam Pancasila.

Disamping itu Harus diakui, sistem ketatanegaraan kita, tidak bisa lepas dari pendapat Mr. Soepomo , yang merupakan “Ikon” penting dalam dunia politik hukum di Indonesia. Dalam pidatonya di depan sidang BPUPKI, 31 Mei 1945, Soepomo mengemukakan dan melontarkan gagasan tentang “Negara Integralistik” sebagai bentuk paling tepat bagi Indonesia ketika merdeka. Gagasan ini pulalah yang dikemudian hari menjadi inspirasi pada saat disusunnya Undang – Undang Dasar 1945 (UUD 1945).

Pada era reformasi kini, ide terbentuknya Negara Integralistik dari Soepomo dan dalam Kakawin Nagara Kertagama, yang menggambarkan situasi dan sistem kekuasaan saat itu dan terbentuknya Kontitusi dan Dasar Negara Pancasila saat Indonesia Merdeka, telah dirombak total melalui amandemen sampai empat kali. Menurut penulis,  dengan amandemen maka sudah kehilangan Ruh dan jati diri dari UUD 1945 saat berlakunya Dekrit Presiden 5 juli 1959.  Pada masa Orde Baru, memang tidak selalu sempurna, wajar ada kekurangan.

Guru Besar Hukum senior dari Universitas Padjajaran Bandung, yakni Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa berpendapat tentang Pancasila sebagai Philosophische Grondslag , Sekaligus sebagai Weltanschauung. Menurutnya, sepanjang dan selama rumusan sila-sila (Pancasila) tercantum dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945, sementara Pembukaan UUD 1944 merupakan, roh/jiwa, spirit, dan amanah yang menjiwai Batang Tubuh UUD 1945, maka ratio legisnya, Pancasila adalah Dasar Negara, Philosofische Grondslaag (dasar falsafah bangsa), weltanchaung/pandangan hidup bangsa, sekaligus Idiologi Negara.

Terutama kedudukannya sebagai dasar negara, Pancasila menjadi dasar (etika/moral) bagi penyenggara negara dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dan juga bagi segenap komponen bangsa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta sebagai sumber dari segala sumber hukum (tertulis).

Oleh karenanya menjadi penting dan strategis kedudukan Pancasila dalam konteks kehidupan bersama kita sebagai bangsa yang majemuk dalam upaya merajut persatuan dan kesatuan yang bernafaskan nilai-nilai keagamaan, HAM, demokrasi, dan keadilan sehingga bangsa ini memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain di berbagai belahan dunia.

Mengingat kedudukan Pancasila yang demikian penting dan strategisnya, maka menjadi sangat beralasan bila pendidikan Pancasila mulai diedukasikan kepada peserta didik sejak usia dini sampai ke level pendidikan tinggi (bagi generasi milineal/generasi Z) melalui kurikulum pendidikan, yang berbeda dengan “Kewarganegaraan” yang diajarkan selama ini.

Kalau “Kewarganegaraan”, substansinya lebih pada “civic education” yang menekankan pada Hak dan Kewajiban warga negara dalam tataran infra struktur dan supra struktur politik. Sedangkan mata pelajaran/mata kuliah Pancasila lebih kepada penanaman NILAI yang terkandung dalam Pancasila.

Terlebih lagi dalam menghadapi perkembangan global dengan pesatnya kemajuan IT (berikut dengan dampak yang ditimbulkannya), menjadi penting pula diberikan pemahaman kepada seluruh peserta didik bahwa Pancasila adalah juga merupakan Idiologi Terbuka, sekaligus sebagai Filter/penyaring, dimana nilai-nilai dari luar yang bisa diserap dan diadopsi dan mana pula yang dinegasikan agar kepentingan bangsa, negara, dan rakyat terjaga dan terlindungi dari serbuan dampak buruk yang ditimbulkan dari dinamika global dan pesatnya kemajuan IT.

Setelah dilantiknya Presiden Terpilih Prabowo Subiyanto dan Wakil presiden Gibran Rakabuming Raka, Minggu 20 Oktober  2024, Prabowo dalam pidato pelantikannya yang sangat berapi api seperti halnya pidato orator  Bung Karno saat sidang BPUPKI dulu, semoga mempunyai komitmen untuk membangun karakter anak bangsa sesuai anak Indonesia.

Presiden terpilih  telah  mempunyai konsepn dalam pemerintahannya, mengangkat  Wakil Menteri Pendidikan Dasar, Pendidikan  Menengah dan Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, dibawah Menteri Pendidikan. Dimana saat Menteri Pendidikan dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo, pelajaran Pancasila sudah dihilangkan dari pelajaran atau mata kuliah wajib.

Dengan  melihat kondisi saat ini dan  mempertimbangkan situasi, baik secara Geo Politik Dan Geo Strategis kawasan Asia Tenggara dan Global/Dunia, penulis berharap, mata pelajaran dan mata kuliah Pancasila dikembalikan lagi sebagai mata kuliah dan mata pelajaran wajib pada semester awal pada Pendidikan Tinggi dan atau pada kelas awal Pendidikan Menengah. Hal ini untuk tetap menjaga karakter anak bangsa agar tidak kehilangan jati diri, tetap sebagai anak bangsa berkarakteristik budaya timur yang sejak dahulu kala telah di jiwai dengan Pancasila.

Selain itu, agar generasi muda dapat mengenal dan memahami Pancasila secara utuh dan asas serta nilai dari sila-sila pada Pancasila sebagai  Philasophisce Grondslag atau Weltanschauung dimana Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa yang tercermin dalam segala aktivitasnya dan menjadi pemersatu bagi ratusan suku dan banyak ras di Indonesia.

Agar generasi muda  tidak kehilangan jati diri sebagai orang dari  bangsa Indonesia, yang sebetulnya merupakan Tugas dari BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) pada pemerintahan yang lalu. Tapi ternyata BPIP sendiri tidak mempunyai sebuah terobosan dalam konsep membangun karakter anak bangsa  sesuai nilai-nilai ideologi  Pancasila, yang jauh dari harapan, kecuali hanya sebagai badan pelengkap sebuah kekuasaan, yang tidak jelas kiprahnya***

* Praktisi Hukum, Pemerhati Sosial Politik dan Budaya Bangsanya, tinggal di Jakarta.

Berita Terkait