Oleh. : Agus Widjajanto*
DICTUM.COM – Komisi Yudisial sebagai sebuah lembaga pengawasan eksternal di lingkungan Mahkamah Agung beserta jajaran, kedudukannya harusnya sederajat dan sama dengan Lembaga Mahkamah Kontitusi, Mahkamah Agung, Panglima TNI, Kapolri dan pejabat-pejabat yang diatur secara tertulis di dalam Kontitusi kita yakni Undang- Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dimana pengangkatan dan pemberhentian oleh Presiden dengan persetujuan DPR.
Namun yang sekarang bisa kita lihat, Komisi Yudisial ( KY ) sebagai sebuah lembaga pengawasan yang kedudukannya seharusnya sangat terhormat, diatur dalam pasal 24 B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945. Komisi Yudisial bersifat mandiri (independen) yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung, menetapkan kode etik dan atau perilaku hakim.
Bbersama sama dengan Mahkamah Agung, melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dilingkungan MA, pada tingkat pertama, yang seharusnya mempunyai kedudukan yang sangat strategis dan dominan dalam rangka menekan dan upaya terjadinya mafia peradilan di Indonesia.
Baca juga: Refleksi Sumpah Pemuda Dalam Berbangsa dan Bernegara Saat Ini
Saat ini harus diakui, penegakan hukum telah digunakan sebagai ajang bisnis bernilai tinggi, yang mirip sekali dalam pengelolaan sebuah Badan Usaha Milik Negara yang berorientasi mencari keuntungan secara privat bagi aparat penegak hukum.
Seperti yang telah diberitakan dimedia nasional baik cetak, elektronik maupun visual, telah ditangkapnya eks pejabat MA, berinisial ZR, dengan barang bukti uang tunai dalam bentuk mata uang asing dan rupiah, senilai Rp 800 Miliar lebih, dirumahnya setelah pihak Kejaksaan Agung melakukan penggeledahan.
Hal ini sangat mencederai pencari keadilan dan kita tidak mau berasumsi ini itu soal dari mana uang tersebut dan berapa perkara serta titipan siapa saja. Tapi yang jelas secara kasat mata bisa dilihat bahwa dunia peradilan kita sedang sakit dan tidak baik baik saja pasca reformasi bergulir.
Kembali lagi kepada Komisi Yudisial, selama ini telah terjadi dualisme dan tumpang tindih, dimana secara eksternal pengawasan hakim dilakukan oleh KY, sementara internal di Mahkamah Agung dilakukan oleh bagian pengawasan dari MA. Keduanya sama-sama tidak punya taring untuk mengeksekusi atas temuannya di lapangan, dimana hanya bisa terbatas memberikan rekomendasi saja, yang hanya bersifat Declarator bukan Komdenator.
Baca juga: Perpres nomor 122 tahun 2024, tentang Pembentukan Kortastipidkor Polri, Tumpang Tindih Penanganan Tindak Pidana Korupsi
Tidak mengherankan penyimpangan dan proses pemeriksaan hingga terjadi putusan, sangat sulit untuk diawasi oleh KY, yang hanya sebuah lembaga seperti halnya pos satuan pengaman (Satpam) yang tidak dibekali yuridiksi atau kewenangan untuk menindak.
Ambil contoh, rekomendasi KY terhadap prilaku seorang oknum Ketua Pengadilan Negeri yang terbukti selingkuh dengan dua Ketua Pengadilan Negeri lain dan juga advokat atau pengacara, hanya diberi sanksi ringan berupa teguran tertulis dari Badan Pengawas MA. Ini salah satu bukti KY hanya macan ompong, tidak punya kewenangan untuk mengeksekusi atas temuannya di lapangan.
Kebijakan yang harus diambil secara cepat oleh pemerintahan Prabowo Subianto, untuk menanggulangi hal ini, dimana penegakan hukum sudah memprihatinkan, yang hanya menjadi milik pemodal besar dan yang mempunyai kekuasaan.
Kebijakan itu antara lain: 1. mengembalikan kembali kedudukan hakim secara administratif dibawah kementerian hukum. Sedang kan secara organisatoris dan sistem peradilan berada dibawah MA .
Baca juga: Harapan Untuk Pemerintahan Baru: Memilih Pejabat yang Punya Komitmen Memperbaiki Kondisi Penegakan Hukum
2. Harus berani mengambil tindakan tegas demi menjaga marwah harkat dan martabat bangsa ini didunia internasional maupun di mata masyarakat kita sendiri, dengan melakukan pemecatan secara tidak hormat kepada hakim yang jelas jelas terbukti melakukan proses peradilan sesat yang menjurus kepada adanya keuntungan secara pribadi.
3. Mengganti seluruh Hakim Agung, panitera muda baik dalam kamar perdata, pidana, tatanegara, militer dan Agama beserta seluruh panitera-paniteranya di lingkungan Mahkamah Agung. Menganti seluruh hakim-hakim tersebut melalui perekrutan dan pendidikan khusus yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hakim, panitera, panitera muda, di lingkungan Mahkamah Agung tersebut.
4. Naikan gaji secara signifikan, katakanlah 10 kali lipat dan tunjungan kesejahteraan juga 10 kali lipat, agar mereka bisa bekerja dengan tenang untuk menghidupi kebutuhan keluarga.
5. Memberikan KY kewenangan dalam menindak secara profesional yusticia terhadap hakim yang telah terbukti melakukan tindakan yang sangat tercela termasuk menguntungkan diri sendiri. Diantaranya dengan cara membuat sebuah putusan yang jauh dari rasa keadilan dan kaidah kaidah dalam format keadilan yang bertentangan dengan aturan yang berlaku.
Baca juga: Aku adalah Kita, Rekonsiliasi Permasalahan Politik Masa lalu, Dalam Pelanggaran HAM Untuk Menatap Masa Depan Bangsa
6. Hilangkan fit and propert tes di DPR, untuk menghindari terjadinya kepentingan transaksional baik secara politis maupun secara praktis. Cukup atas persetujuan dari Menteri Koordinator Bidang Hukum yang disetujui KY yang memang mempunyai tugas investigasi latar belakang dari calon Hakim Agung tersebut.
Tanpa hal-hal diatas, untuk dilakukan sebagai sebuah tindakan kebijakan maka mustahil kondisi kebobrokan sistem peradilan hukum kita teratasi. Sehingga bisa obyektif dalam menjalankan tugas terbebas dari pengaruh manapun yang bersifat mandiri.
Atau jikalau memang tidak ada niat untuk memperkuat KY melalui alat penindakan yang bersifat final dan mengikat yang mempunyai nilai pro yudisial maka, lebih baik Komisi Yudisial dibubarkan saja. Caranya, melakukan amandemen terbatas pada UUD 1945, sekaligus mengembalikan kedudukan dan wewenang MPR (Majelis Permusyawaratan Rakat) dalam membuat TAP MPR soal repelita baik jangka panjang, menengah dan pendek dalam pembangunan dan lebih kepada penguatan dan menjaga obyektifitas.
Menunjuk orang orang yang punya komitmen menjaga keadilan dan kebersihan untuk ditempatkan di bagian pengawasan pada Mahkamah Agung RI. Ini untuk melahirkan para hakim- hakim yang mempunyai jiwa keadilan dan jiwa nasionalis tinggi untuk menegakan keadilan melalui kekuasaannya sebagai hakim dan berpikir progresif dalam menjatuhkan putusanya. Bahwa sesungguhnya hukum dibuat untuk mengatur manusia bukan manusia dibuat untuk hukum. Hukum senantiasa berkembang dan bergerak sesuai perkembangan masyarakat dan hukum harus menjadi garda terdepan sebagai panglima.
Baca juga: Peranan MK dan Konflik Pemilukada serta Kepentingan Partai Politik
Pendapat penulis ini memang bertabrakan dengan semangat saat dibentuknya KY sesuai yang termuat dalam pasal 24 B ayat (1) yang dimaksudkan sebagai implementasi sistem pengelolaan pengadilan satu atap (One Roof System) untuk lebih menjamin kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman dan kebebasan hakim sebagai mahkota kekuasaan kehakiman vide pasal 24 UUD 1945.
Untuk itu Penulis juga meminta pendapat dari Guru Besar Senior hukum tata negara dan administrasi negara Dari Universitas Padjajaran Bandung yakni Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa. Guru Besar asal Bali ini menguraikan soal kewenangan KY dan carut marutnya dunia peradilan di negeri ini dan menurut pendapat Prof. Pantja Astawa,
Pertama: mengembalikan kedudukan hakim yang secara administratif dan keuangan berada di bawah Kemenkum (dulu Departemen Kehakiman) justru berlawanan dengan Sistem Pengelolaan Pengadilan Satu Atap (One roof system). Sistem satu atap didasarkan pada pemikiran untuk lebih menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan kebebasan hakim (sebagai mahkota dari kekuasaan kehakiman – vide Psl. 24 UUD 1945).
Keikutsertaan pemerintah mengelola organisasi, administrasi dan finansial kekuasaan kehakiman, dipandang dapat secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan kebebasan hakim. Selain untuk lebih menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan kebebasan hakim. Sistem Satu Atap (One Roof System) juga penting ditinjau dari sistem administrasi pengelolaan. Dengan Satu Atap, pengelolaan yang berada “satu tangan” dapat lebih efisien dan produktif.
Baca juga: Filsafat Modern dan Sindrom Hiper Intelektualisme
Kedua: Dasar pemikiran diaturnya KY dalam Pasal 24 B (amandemen III) UUD 1945 bukan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, melainkan sebagai organ penunjang (state auxiliary organ) di lingkungan cabang kekuasaan yudisial, dimaksudkan membantu MA (yang waktu itu dinilai overload dengan banyaknya tunggakan perkara) melakukan pengawasan secara ekternal dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.
Jadi lebih pada tataran etik dan sejak awal pengaturan dan pembentukannya, KY memang tidak dibekali wewenang polisional yakni menindak dan menghukum hakim-hakim yang diawasinya (Hakim Agung tidak termasuk yang diawasi oleh KY). Jadilah kemudian KY like Lame Duck ( sebagai Bebek Lumpuh). Apalagi terhadap Hakim-hakim MK (sebagai wilayah yang tidak boleh diawasi KY, padahal MK adalah bagian dari Kekuasaan Kehakiman).
Ketiga: Untuk mengatasi carut – marutnya dunia peradilan, terutama terhadap mafia peradilan, tidak ada salahnya dicoba dalam dunia peradilan penerapan “Sistem Juri” sebagai mana yang dipraktekkan di negara – negara yang menganut Sistem Hukum Anglo Saxon.
Dengan menggunakan praksis yang disebut sebagai Transplantasi Hukum (Law Transplant), maka suatu tatanan atau sistem hukum dari suatu negara dapat diadopsi oleh negara lain. Secara sederhana, Transplantasi Hukum diartikan sebagai sebuah proses transfer atau peminjaman konsep hukum antar sistem hukum yang ada. Dapat pula dikatakan sebagai proses di mana hukum dan lembaga hukum dari suatu negara diadopsi oleh negara lain. Atas dasar Transplantasi Hukum, maka Sistem Juri dapat dan bisa diterapkan di Indonesia.
Sistem Juri itu, hakim hanya pasif memimpin sidang, karena yang memutus perkara adalah para juri (yang nota bene tidak punya latar belakang hukum, karena yang diutamakan adalah sisi Keadilan sebagai “rasa” yang dipandang mewakili perasaan keadilan masyarakat). Dengan Sistem Juri pula peluang terjadinya mafia peradilan dan tindakan sewenang – wenang Hakim dalam memutus suatu perkara atas nama “kemandirian/kemerdekaan atau imparsial”, sejauh mungkin dapat dicegah dan tertutup untuk itu****
*Praktisi Hukum, Pemerhati Masalah Sosial, Budaya, Hukum dan Sejarah Bangsanya.