Mencapai Indonesia Merdeka Sesuai Cita – cita Pendiri Bangsa

by Nano Bethan
16 views
Agus W

Oleh: Agus Widjajanto*

TABLOIDDICTUM.COM – Setelah pendiri bangsa memproklamirkan kemerdekaan 17 Agustus 1945,  Apakah Bangsa sudah benar-benar merdeka sesuai cita-cita dalam pembukaan UUD 1945, konstitusi tertulis kita? Ini adalah pertanyaan yang selalu berkecamuk dalam hati sanubari setiap anak bangsa. Walau secara de Facto dan de Jure Indonesia bukan hanya sebagai Bangsa tetapi telah resmi berdiri sebagai sebuah Negara pada tanggal 18 Agustus 1945 setelah seluruh perangkat, syarat-syarat berdirinya sebuah negara terpenuhi.

Adanya sebuah wilayah teritorial, penduduk dan aturan perangkat hukum yakni UUD 1945 dan Dasar Negara Pancasila, adanya sebuah pemerintahan yang Sah dan diakui oleh negara-negara lain di dunia, yakni dalam hukum Internasional telah berdirinya sebuah Negara.

Prof. Pieter J. Veth ( 1814- 1895 ) berkebangsaan Belanda ahli Etnologi dan Bahasa Indonesia, dalam bukunya “Java, Geografisch atnologisch” menulis bahwa sebenarnya Indonesia tidak pernah Merdeka. Dari jaman purbakala sampai sekarang, dari jaman ribuan tahun sampai sekarang dari jaman Hindu sampai sekarang, yang menurut Prof. Veth Indonesia senantiasa menjadi negeri jajahan.

Baca juga: Merefleksi Kembali Ajaran Taman Siswa dalam Sistem Pendidikan Kita

Mula-mula jajahan Hindu kemudian jajahan Islam, lalu jajahan Belanda. Dalam bukunya prof. Veth menulis dalam syairnya yang berbunyi: Aan Java’ Strand Verdrongen Zich de Volken, Steeds Daagden Nieuwe Meesters Over’t Meer Zij Volgden op Elkaar, Gelijk Aan’t Zwerk de Wolken, De Telg Des Land Allen Was Nooit Zijn Heer”.  Artinya, “Dipantai tanah Jawa, rakyat berdesak desakan, datang selalu tuan tuanya di setiap masa, mereka beruntung-runtun sebagai tuntunan awan, tapi anak pribumi sendiri tak pernah kuasa”.

Walau pendapat dari Prof. Pieter J Veth tersebut tidak semuanya benar, karena tidak begitu jalan nya sejarah bangsa ini sebelum Indonesia merdeka. Ribuan tahun lalu pada abad pertama Masehi, awalnya memang Raja di Kerajaan Salaka Nagara adalah orang Hindu dari India, kemudian berangsur-angsur terjadi tranformasi pendidikan budaya dan kekuasaan kepada kaum pribumi yang beragama Hindu.

Demikian juga saat Islam masuk pada abad ke-14 yang dibawa oleh Raden Rahmat Sunan Ampel, merupakan keturunan dari Sayyid Ali Zainal Abidin Usbekistan dan keturunan kerajaan Campa.  Terjadi perkawinan silang dengan Ratu Pakasi dari Kerajaan  Singosari di Jawa Timur, bukan merupakan orang Arab dan bukan seratus persen orang Asing, tapi campuran pribumi.

Baca juga: Komisi Yudisial Macan Ompong, Tak Punya Kewenangan Menindak Berujung Maraknya Mafia Peradilan  

Kemudian terjadi perkawinan dengan wanita-wanita pribumi dan melahirkan keturunan keturunan pribumi. Sedang Raja-raja yang memerintah kerajaan di Jawa seluruhnya adalah berdarah keturunan pribumi. Hanya saja kultur masyarakatnya yang mudah sekali menerima hal yang baru dan dipadukan dengan keyakinan dan budaya lama, maka seakan-akan bangsa pribumi selalu sebagai obyek jajahan dari bangsa lain.

Melihat fenomena masa kini, dimana batas dan sekat antar negara seolah-olah sudah tidak ada, telah terjadi perdagangan bebas, adanya teknologi informasi yang begitu canggih hingga seluruh manusia di muka bumi bisa terhubung tanpa ada hambatan dan larangan, dengan kiblat ekonomi negara yang sudah tidak lagi pada kiblat awal sebagai bangsa yang berorientasi pada ekonomi kerakyatan. Sudah menganut ekonomi liberal dengan sistem kapitalis, dimana yang kuat akan menggilas yang lemah sebagaimana sesuai hukum alam dalam ekonomi kapitalis.

Demikian juga kebudayaan, dengan derasnya pengaruh budaya luar lewat media masa baik elektronik maupun cetak, media sosial yang sulit dibendung, dan kurangnya perhatian pada orang tua yang melupakan ajaran luhur dari leluhur dan regulasi untuk mengatur secara jelas lewat kebijakan Pendidikan. Sebagai proteksi budaya dari instansi yang punya kewenangan juga tidak ada bahkan blue print dalam sistem pendidikan kita bagaimana sebagai tolak ukur bagi para guru, dosen juga tidak jelas.

Baca juga: Refleksi Sumpah Pemuda Dalam Berbangsa dan Bernegara Saat Ini

Maka generasi muda anak bangsa sudah mulai kehilangan jati diri sebagai anak Indonesia, dengan kultur budaya Indonesia, hidup guyub, gotong royong, sopan santun, terhadap yang lebih tua dan penghormatan kepada orang tua telah hilang. Yang ada adalah budaya semi barat yang beranggapan bahwa kewajiban ada dipundak orang tua, sedang anak tidak punya kewajiban.

Padahal hukum selalu berlaku dua sisi, ada hak dan kewajiban terhadap setiap individu tanpa melihat strata sosial, keturunan dari ras mana dan suku apa, ini yang paling memprihatinkan. Belum lagi negara-negara Adi Kuasa menerapkan isu Demokrasi, isu Hak Asasi Manusia dan Isu Terorisme dijadikan sebuah alasan politik untuk melakukan intervensi secara international.

Bukti nyata masih adanya imperialisme dalam bentuk imperialisme modern. Bung Karno menyebut, cara mereka boleh beda, obyek mereka tidak sama dengan imperialisme jaman dulu, tapi kepentingan dan tujuannya tetap sama yakni memperoleh keuntungan dan menguasai sumber daya alam negara lain sebagai obyek mereka, itu yang tidak pernah berubah.

Jadi mungkin ini yang dimaksudkan Prof. Veth bahwa kita selamanya akan tetap tidak bisa merdeka dan selalu dijajah oleh bangsa lain. Penjajahan tidak lagi menguasai suatu wilayah teritorial tertentu, tapi penjajahan modern adalah lewat budaya, ekonomi, sistem politik, bahkan lewat hukum positifnya. Dimana hingga saat ini kita belum bisa menggunakan hukum sendiri, tapi masih menggunakan hukum warisan kolonialis Belanda dalam sistem Eropa Contonental.

Baca juga: Perpres nomor 122 tahun 2024, tentang Pembentukan Kortastipidkor Polri, Tumpang Tindih Penanganan Tindak Pidana Korupsi

Bung Karno dalam  tulisan bukunya “Mencapai Indonesia Merdeka” menulis, Bahwa Indonesia Merdeka hanyalah suatu jembatan, sekalipun suatu jembatan emas yang harus dilalui dengan segala keawasan dan keprihatinan. Jangan sampai diatas jembatan emas itu, kereta kencana kemenangan dikusiri (disopiri) oleh orang lain selain bangsa pribumi. Di seberangnya jembatan emas itu, ada jalan pecah jadi dua, yang satu kedunia keselamatan, yang satu kedunia kesengsaraan, yang satu kedunia sama rasa, yang satu kedunia sama ratap dan tangis.

Demokrasi imperialisme politik pun hanya bau- baunya kaum borjuis kapitalis dengan harta kekayaannya, dengan media surat kabarnya, dengan sekolah-sekolahnya, dengan kekuatan politiknya bisa mempengaruhi kaum pemilih dan mempengaruhi semua jalanya politik.

Apa yang dikatakan Bung Karno,  pada masa kini telah terbukti. Segala kekuasaan dibelakangnya selalu ada oligarki-oligarki yang bisa membalikan keadaan  dan bisa mempengaruhi jalannya politik. Para Ketua Umum Partai Politik (Parpol) lebih berkuasa dalam mengambil keputusan partai. Anggota Parpol yang duduk dalam legislatif selalu tergantung dari keputusan elit partai.

Media massa digunakan sebagai alat propaganda politik, penguasaan media sebagai kekuatan ke empat dalam politik demokrasi modern (Fours Politica) dikuasai oleh elit-elit tertentu.  Dalam kekuasaan, baik Parpol maupun pemerintah yang berkuasa, rakyat hanya dijadikan obyek, digunakan hanya saat pemilihan setelah itu ditinggalkan begitu saja. Dalam sistem  Pemilihan Langsung, baik dalam Pemilu Pilpres, Pemilukada, maupun pemilihan anggota parlemen, DPR, DPRD Provinsi maupun Kabupaten dan Kota.

Baca juga: Hukum Kodrat, Moral dan Pancasila sebagai Dasar Negara dalam Perspektif Keindonesiaan

Memang Indonesia masuk sebagai anggota APEC dan G.20, akan tetapi apakah kita bisa benar-benar merdeka dalam pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi Nasional demi kepentingan bangsa dan negara secara mandiri?  Rasanya tetap saja masih tergantung pada politik ekonomi negara maju, negara industri, negara yang mempunyai hak Veto di PBB.

Untuk itu mari kita renungkan bersama apa seperti ini yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa saat Indonesia di bentuk dan didirikan agar bisa terbebas dari Penjajahan?  TUHAN tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu sendiri yang mau merubahnya. Demikian kondisi ini, tergantung pada pundak anak anak bangsa, apakah kita terima keadaan saat ini, ataukah kita akan merubah keadaan dimana sebagai bangsa kita harus bisa merdeka pada seluruh lini dan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat. Baik merdeka secara politik, merdeka secara ekonomi, merdeka secara budaya.

Semuanya kembali kepada para pemegang kebijakan yakni pemimpin politik negeri ini. Apakah akan tetapi mempertahankan status quo, sistem yang ada yang merupakan warisan dari sistem kolonialisme, padahal budaya kita sendiri sebagai bangsa telah diwarisi sebuah budaya adiluhung yang tidak kalah dengan budaya luar, diantaranya adalah soal falsafah kepemimpinan.

Sejatinya falsafah kepemimpinan Nusantara khususnya, Jawa Bika diterapkan secara benar akan membuahkan hasil positif baik terhadap pemimpin itu sendiri maupun kepada rakyat selaku bawahannya. Akan tetapi memang ada penerapan yang sengaja dilakukan keliru agar bisa menunjukan kekuasaan nya secara power full dan dominan yang tidak bisa disalahkan dalam setiap keputusan dan tindakannya.

Baca juga: Harapan Untuk Pemerintahan Baru:  Memilih Pejabat yang Punya Komitmen  Memperbaiki Kondisi Penegakan Hukum

Bung Karno sendiri menyatakan bahwa musuh utama dari Bangsa ini adalah Bangsa dan  Rakyat kita sendiri, yang mabuk akan agama dan budaya luar, untuk itu jikalau jadi orang Moeslim jangan jadi orang Arab, kalau jadi Hindu dan Budha jangan jadi orang India, kalau jadi orang Kristen jangan jadi orang Yahudi, tapi jadilah orang Moeslim, Hindu, Budha, Kristen Nusantara. Sebagai orang Indonesia yang beradat istiadat Indonesia, yang membumi sebagai Anak Bangsa, yang menggelorakan Semangat KeIndonesiaan.

Dalam Demokrasi Modern saat itu falsafah kepemimpinan leluhur, masih aktual untuk diterapkan, karena bisa menjangkau setiap jaman, yakni:

Den Ajembar: Bahwa diri kita/pemimpin, harus senantiasa mempunyai jiwa dan pemikiran yang luas, punya wawasan yang luas, untuk bekal sebagai pengayom rakyat.

Den Momot: jikalau kita/pemimpin sudah dibekali hati jiwa dan wawasan pikiran yang luas, maka bisa menerima masukan aduan dari bawah, dari tengah bahkan dari kalangan atas, sebagai bahan dalam keputusan kebijakannya.

Lawan Den Wengku : Bahwa seorang pemimpin harus bisa melawan ego dan kepentingan pribadi demi kepentingan bangsa dan negara atau kepentingan yang lebih besar.

Den Koyo Segoro: Dengan demikian jikalau seorang pemimpin sudah dibekali jiwa dan karakter diatas, maka akan menjadi seorang pemimpin atau Raja atau Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota  dalam negara demokrasi, sebagai sosok yang mempunyai ilmu wawasan jiwa dan pandangan seluas samudera, yang mudah memaafkan, yang penuh kasih atas sesama dan berbuat baik bagi masyarakat bahkan kepada alam semesta beserta isinya di muka bumi ini.

Baca juga: Pemikiran Friedrich Karl Von Savigny, Lahirnya Pancasila dan Pemikiran Soepomo 

Sejarah telah mengajarkan kita untuk belajar pada kesalahan masa lalu dan berintrospeksi diri untuk bahan kedepan, karena hari esok ditentukan oleh langkah dan keputusan kita bersama pada hari ini. Demikian juga menyangkut penegakan hukum yang dipandang sangat memprihatinkan dimana hukum sudah dijadikan obyek bisnis oleh para Penegak hukum.

Dimana peran sentral hakim sangat kuat seperti halnya Sabdo Pandito Ratu bahwa merekalah Tuhan dari hukum itu sendiri yang bisa membuat hukum jadi putih, hitam, merah atau hijau tergantung dari pada keputusan hakim. Sedangkan sistem hukum kita masih menganut sistem lama warisan kolonialisme, memang sudah disahkan KUHP Baru yang nanti pada tahun 2026 akan diberlakukan, tapi hukum acaranya sendiri masih dalam penggodokan.

Penulis ingat apa yang pernah disampaikan oleh Guru Besar Hukum Paling Senior dari Universitas Padjajaran Bandung, Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa yang berpendapat, untuk mengatasi mafia peradilan yang sangat sulit untuk diberantas dan telah membelenggu para penegak hukum sendiri, mengapa dan tidak ada salahnya dicoba sistem Anglow Saxon dengan sistem juri sebagaimana dipraktekkan oleh negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon.

Baca juga: Filsafat Modern dan Sindrom Hiper Intelektualisme

Dengan menggunakan praktek sistem yang disebut sebagai Transplantasi Hukum (Law Transplant) maka suatu tatanan atau sistem hukum dari suatu negara dapat diadopsi oleh negara lain. Secara sederhana Tranplantasi hukum diartikan sebagai sebuah proses transfer atau peminjaman konsep hukum antar sistem hukum yang ada. Contohnya, Indonesia yang menganut sistem Eropa Contonental, menggunakan sistem juri dari sistem Anglo Saxon. Atas dasar Tranplantasi Hukum maka sistem juri dapat dan bisa diterapkan di Indonesia.

Dengan sistem juri tersebut hakim hanya bersifat pasif memimpin sidang, karena yang memutuskan perkara adalah para Juri (yang nota bene bisa berlatar belakang hukum bisa juga berlatar belakang non hukum) yang dipilih oleh negara dengan cara acak, karena yang diutamakan adalah dari sisi keadilan sebagai “rasa” yang dipandang mewakili perasaan keadilan masyarakat .

Dengan sistem juri tersebut maka peluang terjadinya mafia hukum/peradilan dan tindakan kesewenangan hakim dalam memutus perkara atas nama kemandirian/kemerdekaan atau imparsial sejauh mungkin bisa dicegah atau setidaknya ditutup.

Hal ini merupakan pandangan hukum progresif, demi tegaknya hukum itu sendiri di negeri ini, yang didambakan oleh setiap insan Anak Bangsa biar hukum sebagai Panglima bisa diwujudkan.   MERDEKA !!!

*Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial, Budaya, Politik, Hukum dan Sejarah Bangsa

Berita Terkait