Oleh. : Agus Widjajanto
TABLOIDDICTUM.COM – Ketika Pemerintahan Orde Baru yang bertahan selama 32 tahun, harus jujur dikatakan, Indonesia mencapai jaman keemasan, sebagai Negara Macan Asia dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi dengan stabilitas politik yang stabil serta mampu berswasembada pangan dan menjadi tuan dinegeri sendiri dalam bidang seni budaya, musik serta papan dan sandang .
Semasa Presiden Soeharto berkuasa, falsafah kepemimpinan Jawa cenderung dijadikan inspirasi untuk memaknai kemerdekaan dengan membangun perekonomian dan stabilitas politik Nasional dengan menerapkan dan berpedoman pada falsafah Tri Darma, diambil dari Pangeran Samber Nyawa Raden Mas Said (Mangkunegoro I), falsafah yang mengajarkan manusia harus senantiasa merasa turut memiliki dan melindungi negara.
Falsafah Tri Darma diterapkan oleh pemimpin Orde Baru saat itu dalam upaya menjaga stabilitas politik, hingga terciptanya perdamaian dan sejalan dengan falsafah dari Sri Sultan Hamengkubuwono ke IX yakni: Hamengku, Hamangku dan Hamengkoni.
Baca juga: Menguji Jiwa Kenegarawan Hakim MK dalam Menangani Sengketa Pemilukada Serentak Tahun 2024
Hamengku: artinya seorang pemimpin senantiasa harus melindungi seluruh rakyat secara adil tanpa membedakan golongan , ras, agama , strata sosial ,
Hamangku: yang artinya pemimpin senantiasa memberikan darma bakti pada seluruh rakyat dimana lebih banyak memberi dari pada menerima .
Hamengkoni: artinya seorang pemimpin harus bisa memberikan teladan bagi seluruh rakyat dan harus berani memikul tanggung jawab beserta segala resiko .
Dalam buku Butir-Butir Budaya Jawa yang ditulis oleh almarhum Presiden Soeharto, mengulas bagaimana sejatinya hidup dan kehidupan dalam masyarakat berbangsa dan bernegara, baik secara pribadi, warga negara maupun dalam kaitan tanggungjawab sebagai masyarakat.
Baca juga: Menggugat Paradigma Belanda Menjajah Indonesia 350 Tahun
Untuk mencapai kesempurnaan hidup (Hangayuh Kasemournaning Urip), Ngudi Sejatining Becik (Apa yang kita tanam maka kita akan ngunduh tuwai sesuai amal kebaikan kita), budaya gotong royong dimana merupakan implementasi dari nilai nilai Pancasila. Kita harus memberikan bantuan, sokongan, cinta kasih kepada sesama yang membutuhkan, sebagai bagian dari hidup.
ugas kita sebagai Hamba Tuhan pada alam semesta dan harus membuat kebajikan (Memayu Hayuning Bawono) yang bisa kita pelajari dari makna yang terkandung dalam huruf Honocoroko, yang pada setiap huruf dan katanya mempunyai makna falsafah spiritualistis, dari mana kita berasal, setelah lahir didunia untuk apa, dan setelah mati kita kemana.
Namun sayang, seiring perkembangan waktu dan jaman, ajaran-ajaran kepemimpinan dalam falsafah leluhur Jawa tersebut dilupakan dan generasi muda lebih tertarik pada falsafah kepemimpinan demokrasi ala Barat, yang sebenarnya bukan budaya dan tata cara dari demokrasi kita sebagai Bangsa Indonesia.
Dalam memasuki era globalisasi menuju dan menyongsong Indonesia kedepan yang oleh Presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Raka Buming Raka, dikatakan “Menyongsong Indonesia Emas” tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, untuk tercapai harapan Indonesia Emas.
Baca juga: Mencapai Indonesia Merdeka Sesuai Cita – cita Pendiri Bangsa
Perlu kerja keras dan partisipasi seluruh elemen bangsa, baik pejabat, dunia usaha dari swasta, para pendidik baik ditingkat sekolah menengah maupun para Dosen pada Universitas Negeri maupun Swasta, para pemuka semua Agama, para Budayawan (Penulis) dan anak anak muda milenial yang kerap membuat kreator di media sosial dan tentu dari TNI dan Polri sebagai penyangga pertahanan dan keamanan.
Semuanya harus bahu membahu bersatu menuju yang dicita-citakan, Mencapai Indonesia Emas seperti yang didengungkan oleh pemerintahan Joko Widodo hingga yang terbaru masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yaitu sejahtera, adil makmur, Gemah Ripah Loh Jinawi, untuk seluruh rakyat.
Membicarakan perjalanan dan sejarah sebuah Bangsa tidak bisa dilepaskan dari sifat karakter dari para pemimpin dalam memimpin, termasuk Indonesia.
Pada masa lalu saat di Jawa dan Nusantara ini berdiri kerajaan-kerajaan besar, falsafah yang diterapkan para pemimpin masa lalu yakni raja raja besar saat itu adalah “Adil Paramarta”, baik dalam hukum negara, hukum agama, maupun hukum sosial dan politik. Antara lain yang menerapkan sifat adil Paramarta adalah Raja Ratu Shima pada abad ke 7 Masehi, Raja Samaratungga (Raja Medang tahun (812- 833 M), Rakai Pikatan/Mpu Manuku (Medang tahun 838 – 885 M), Mpu Sendok ( Raja Medang tahun 929 – 947 M), Raden Wijaya (Dyah Wijaya) Raja Majapahit 1247- 1293 Masehi dan Ratu Tribuwana Tunggal Dewi (Raja Wilwatikta Majapahit 1328 – 1350).
Baca juga: Komisi Yudisial Macan Ompong, Tak Punya Kewenangan Menindak Berujung Maraknya Mafia Peradilan
Raja-raja tersebut menerapkan prinsip dan falsafah Adil Paramarta, seperti Ratu Shima saat menjatuhkan hukuman kepada setiap orang tanpa kecuali, termasuk terhadap putra mahkotanya yang mengambil dan menggeser tempayan uang pemujaan di perempatan jalan.
Demikian juga pada Raja Samaratungga, yang menikahkan putrinya sendiri yakni Dyah Kusumawardani dengan Mpu Manuku atau yang dikenal dengan Rakai Pikatan yang berjasa membangun Bangunan Candi Jinalaya (Candi Borobudur).
Raja Samaratungga perlu memberikan apresiasi atas jasa Mpu Manuku sebagai arsitek dan kepala proyek pembangunan candi Budha terbesar. Hingga saat ini, meskipun Mpu Jinalaya ( Rakai Pikatan ) bukan beragama Budha Hinayana tapi beragama Hindu.
Disamping menerapkan falsafah Adil Paramarta, para Raja besar di Jawa dan Nusantara juga menerapkan falsafah Memayu Hayuning Bawono, yang artinya adalah menjaga kelestarian dunia (Jagad Raya), yang dalam pandangan Spiritualitas Jawa, terdiri dari jagad cilik (Mikrokosmos) dan jagad Gede (Makrocosmos).
Baca juga: Perpres nomor 122 tahun 2024, tentang Pembentukan Kortastipidkor Polri, Tumpang Tindih Penanganan Tindak Pidana Korupsi
Mikrokosmos terdiri dari seluruh alam beserta isinya seperti manusia, hewan, tumbuhan, gunung, lautan dan sungai sementara Macrokosmos berarti wilayah negara, bumi seutuhnya dan alam semesta (galaksi Bima Sakti),
Yang ketiga Para Raja terdahulu juga menerapkan falsafah Manunggaling Kawulo Gusti, yang artinya konsep falsafah kepemimpinan Jawa bukan hanya dimaknai kemanunggalan antara hamba dan Tuhan secara Jagad Cilik, akan tetapi harus dipahami sebagai hubungan antara rakyat, dengan pemimpinannya. Raja yang menerapkan falsafah kepemimpinan tersebut dianggap Raja yang merakyat.
Falsafah kepemimpinan Manunggaling Kawulo Gusti tidak hanya diterapkan pada masa Mataram Hindu hingga Medang Kediri dan Singosari sampai Majapahit, akan tetapi juga diterapkan hingga Mataram Islam, yang diterapkan oleh Hamengkubuwono ke-IX, saat pra kemerdekaan hingga setelah kemerdekaan.
Falsafah kepemimpinan Jawa senantiasa berlatar belakang pada budaya dan agama/Spiritual Jawa. Faktor inilah yang membedakan antara falsafah kepemimpinan Jawa dengan falsafah kepemimpinan dari daerah lain di Indonesia dan atau dari negara Lain di dunia.
Baca juga: Filsafat Modern dan Sindrom Hiper Intelektualisme
Pada hakekatnya falsafah tersebut dipahami sebagai pedoman untuk menjadi pemimpin berjiwa Jawi, yang artinya seorang pemimpin harus punya sikap, sifat, dan pemikiran yang mencerminkan kepribadian orang Jawa. Adapun seorang pemimpin berjiwa Jawi senantiasa harus mampu menerapkan sikap bijaksana , diantara nya yaitu:
- Adil Ambeg Paramarta: Dimana pemimpin harus bisa membedakan urusan penting dan tidak , yang harus bersikap adil. Yang harus menghilangkan urusan yang bersifat pribadi.
- Berbudi Bawa Laksana: Seorang pemimpin Harus bermurah hati serta teguh memegang janji pada rakyat sesuai kampanye nya saat pilihan umum . Dan saat sumpah janji pelantikan jabatan yang diembannya sebagai Raja.
- Wicaksana: Pemimpin harus bijaksana dalam mengambil segala keputusan kenegaraan.
- Eling lan Waspodo: Ingat sebagai pemimpin sejatinya sebagai abdi rakyat , yang harus memenuhi dan mewujudkan aspirasi rakyat.
- Panditho Ratu” Seorang pemimpin harus mempunyai sifat Sabdo Panditho Ratu, yang mempunyai makna memiliki watak Panditho sekaligus Raja, sebagai hamba Tuhan juga sebagai abdi masyarakat yang dengan demikian tugasnya sebagai Raja adalah sebagai Dharma dalam kehidupannya untuk menyejahterakan rakyat dan pengabdian pada Tuhannya.
Baca juga: Hukum Kodrat, Moral dan Pancasila sebagai Dasar Negara dalam Perspektif Keindonesiaan
Pada Era Pra Kemerdekaan dan Pasca Kemerdekaan, kearifan lokal melalui ajaran luhur tentang kepemimpinan Nasional juga di ajarkan oleh pendiri perguruan/pendidikan Taman Siswa, Ki Hajar Dewantoro, agar para pemimpin senantiasa memberikan contoh dan tindakan yang baik kepada bawahan atau masyarakat, dan guru juga memberikan contoh yang mulia disamping mengajarkan falsafah luhur, seperti: Ing Ngarso sung Tulodo, Tut Wuri Handayani.
Demikian juga saat era Mataram Islam, Raden Mas Said Pangeran Samber Nyowo Raja Pura Mangkunegoro I, juga mengajarkan falsafah hidup, Ha Ngayomi, Handarbeni, yang maknanya: Hangayomi, memberikan perlindungan kepada orang lemah, rakyat seluruhnya tidak membedakan dari kasta dan ras serta suku dan agama keyakinan apapun.
Handarbeni, ikut turut serta memiliki atas dunia ini dan lingkungan serta negara ini, agar bisa berjalan dalam keadaan baik dan stabil. Hangajeni, memberikan rasa hormat kepada siapapun tanpa memandang kasta, pangkat, golongan, suku dan agamanya.
Dimana sifat dan rasa toleransi tersebut sekarang ini dianggap telah luntur oleh jaman, orang hidup dengan sifat individualitas, rasa gotong royong telah hilang akibat gempuran dan pengaruh dari budaya asing yang telah mempengaruhi seluruh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Seolah bangsa ini, negara ini sudah menjadi Negara Liberal, sudah bercorak sebagai Negara Kapitalis, bukan lagi negara yang berbudaya Indonesia yang berdasar Pancasila sebagai dasar dan falsafah hidup bangsa. Itulah menjadi tugas dari pemimpin kedepan dari bangsa ini untuk mengembalikan lagi Ruhnya Keindonesiaan dari bangsa yang beradab dan berbudaya ketimuran ini.
Apabila pemimpin kedepan mempunyai sifat dan watak serta karakter sesuai falsafah kepemimpinan Jawa Jawi diatas maka untuk mencapai dan menuju Indonesia Emas rasanya semakin ringan dan dapat dukungan oleh seluruh rakyat serta seluruh elemen bangsa ini, menuju yang dicita-citakan sesuai UUD 1945, yang senantiasa berpedoman pada Pancasila dalam semua aspek kehidupan. Semoga, inilah harapan kami dan harapan seluruh rakyat.
*Penulis: Praktisi hukum, pemerhati sosial politik, budaya dan sejarah, tinggal di Jakarta