Sejarah Mencatat, Thomas Stanford Raffles Membentuk Resident Court dalam Sistem Juri di Pemerintahan Hindia Belanda

by Nano Bethan
207 views
Opini

Oleh.   : Agus Widjajanto

TABLOIDDICTUM  – Sangat disayangkan, Pendidikan Sejarah bangsa sangat minim disosialisasikan dan diajarkan kepada generasi muda bangsa saat ini. Seharusnya Pendidikan Sejarah Bangsa ini lebih dimaksimalkan agar generasi muda bangsa  bisa memahami, mengetahui dan nantinya bisa belajar dari sejarah masa lalu, sehingga tidak terulang peristiwa sejarah kelam, pada bangsa ini kedepan.

Bangsa ini dalam kurun waktu dari tahun 1800-an hingga 1942 sebelum mendaratnya Jepang ke Indonesia, tidak seluruhnya dijajah dan dikuasai oleh pemerintahan bangsa Belanda. Ada kurun waktu tertentu, dikuasai oleh pemerintah Perancis, dimana semangat Revolusi Perancis berimbas pada wilayah Hindia Belanda (Indonesia) saat itu, lalu beralih tangan kepada penguasa inggris dan kembali lagi diarahkan kepada pemerintahan Hindia Belanda.

Banyak yang kurang paham bahwa, Herman Williem Daendels adalah kepanjangan dari Napoleon Bonaparte Perancis. Daendels memang orang Beland , akan tetapi sejak muda beralih ke Perancis dan menyandang pangkat kemiliteran di bawah Napoleon Bonaparte dengan pangkat Kolonel. Berambisi saat itu untuk menerapkan Revolusi Perancis pada Kerajaan Belanda dan mengganti sistem Monarci Raja dengan sistem Sesuai Refikusi Perancis.

Ketika Perancis mengalahkan Inggris dan Belanda, maka secara otomatis daerah teritorial Hindia Belanda (Indonesia) beralih menjadi jajahan kekuasaan Napoleon Bonaparte. Adik Napoleon Bonaparte menunjuk Herman Williem Daendels untuk menempati pos sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda  dan menaikan pangkat dari kolonel menjadi Mayor jenderal setingkat bintang dua dalam kemiliteran Perancis.

Sejarah historis perjalannya Daendels dari Perancis naik kapal  dari New York,  dimana saat itu di Amerika pun terjadi perang saudara antara utara dan selatan dalam  revolusi. Amerika Serikat dibantu Perancis untuk merdeka  dari pemerintahan Inggris. Dari New York menuju Hindia Belanda, dengan menghindari patroli angkatan laut Belanda dan Inggris dan mendarat di Pantai Anyer Banten , dan melanjutkan perjalanan darat dari Anyer ke Batavia selama tiga hari tiga malam  sampai  tiba di Batavia.

Pada saat Daendels menjabat Gubernur Jendral, kesulitan perjalanan daratnya menjadi insipirasi  untuk memerintahkan  dibuat jalan pos militer dan pengiriman logistik lewat darat dengan cara kerja rodi lewat pembuatan jalan dari Anyer hingga Panarukan, dilanjutkan dari Batavia hingga Bandung  dan Sukabumi.

Saat itu memakan banyak korban, hingga terjadi perubahan politik dimana Inggris telah memenangkan beberapa fron dalam peperangan, sehingga Gubernur jendral Herman Williem Daendels digantikan oleh Thomas Stanford Raffles pada tahun 1811 hingga Tahun 1816.  Ketika itu, Rafles membagi pulau Jawa ini yang tadinya hanya terdiri dari dua wilayah jawa, menjadi 18 karesidenan.

Setiap karesidenan terdiri dari 5 hingga 6 kabupaten, dan membangun pusat pemerintahan di Istana Bogor, mengangkat bupati dan pejabat pribumi menjadi pegawai negeri. Sistem  karesidenan ini tetap diberlakukan pada saat Indonesia merdeka pada pemerintahan Orde lama hingga tahun 1980-an pada pemerintahan Orde Baru,   dimana hingga di tingkat Kecamatan dibawahi oleh Kawedanan yang membawahi tiga kecamatan pada setiap kabupaten.

Pada pemerintahan Raffles pula dalam bidang hukum  memberlakukan Resident Court untuk mengadili perkara pidana dan perdata berat dengan menerapkan sistem hukum secara Juri, sesuai hukum Inggris yang beraliran Anglow Saxon.

Perlu ditegaskan disini, sejarah bangsa ini pernah menggunakan sistem Juri dalam proses peradilan pidana dan perdata berat dengan menggunakan sistem Hukum Inggris,  dengan menekankan pada mencari keadilan yang Obyektif dalam suatu perkara.

Jadi, apabila melihat carut marutnya penindakan hukum di Indonesia saat ini, dimana penulis memberikan masukan mengapa tidak dicoba melakukan transplantasi hukum dengan sistem Juri. Berdasarkan sejarah bangsa ini pada masa kolonial pernah menerapkan sistem tersebut.

Dimasa Gubernur Thomas Stanford Raffles inilah pernah terjadi perang yang disebut geger sepei (Perang Sepoy)  dimana tentara Sepoy adalah orang-orang dari Bangsa  India yang tergabung dalam tentara Inggris ketika merebut Jawa dari Belanda dan Perancis pada tahun 1811. Tentara Sepoy ini telah menyerbu Keraton Ngajogjokarto Hadiningrat   dengan dibantu Tentara Khusus dari Keraton Mangkunegaran yang disebut tentara Mangkunegaran yang sangat terkenal disiplin saat itu.

Keraton Ngajogjokarto  pada saat Raja Hamengkubuwono II mengalami  kerusakan dan ratusan tentara  tewas dari tentara Keraton Jogja. Keraton Jogja diduduki tentara Inggris  saat itu, diantaranya adalah panglima perangnya, KRT Soemodiningrat, dan tercatat dalam sejarah , yang dinamakan geger Sepoy.

Hal ini terjadi karena perebutan kekuasaan yang dipengaruh politik dimana pihak kolonial Inggris menerapkan politik Devide Et Impera, dengan memecah antar keraton sendiri untuk diadu domba. Disinalah kita harus belajar sejarah dari  sulit nya bangsa ini merdeka sejak awal karena rasa kesatuan dan persatuan senasib sepenanggungan masih lemah saat itu. Sehingga ada kesadaran lahiriah pada tahun 1928  dengan lahirnya peristiwa Sumpah Pemuda yang sebelum nya lahir Boedi Oetomo pada tahun 1908.

Setelah Itu sejarah menulis Raffles digantikan oleh John Fendale pada 11 Maret 1816, terjadi peristiwa Geo  politik dan Geo Stategis  kawasan dimana adanya  pembagian wilayah teritorial antara Inggris dan Belanda  saat itu. Belanda tetap menguasai wilayah Hindia Belanda dan Inggris menguasai Semenanjung malaya, Singapura, Brunai, Malaysia. Perubahan politik kawasan selalu terulang dalam perjalanan sejarah karena terjadinya perubahan Geo Politik dan juga Geo Strategis Kawasan. Dalam hidup berbangsa dan bernegara, ini menjadi bahan pembelajaran kita semua.

Sampai nantinya  meletus peristiwa Perang Jawa  oleh pangeran Diponegoro, akibat ketidakadilan yang dipicu keputusan dari  Residen Kedu saat itu yang mencampuri politik hukum dari pengangkatan Sultan Jogja  yang masih berumur 7 tahun dan dibakarnya surat wasiat dari Hamengkubowo ke III oleh permaisuri yang menetapkan RM. Ontowiryo sebagai Raja Jogja,  pada tahun 1825 hingga tahun 1830 yang menimbulkan korban jiwa sebesar 20 Ribu orang.

Apabila  dikalkulasi sesuai jumlah penduduk saat itu dengan saat ini,  jumlah mencapai 20 juta orang. Membangkrutkan kas pemerintahan Hindia Belanda hingga diciptakan Politik Hukum Tanam Paksa di Jawa, Sumatera dan wilayah lainnya untuk mengembalikan kas negara.

Refleksi pada masa Demokrasi saat ini setelah Indonesia merdeka hampir satu decade, dalam bidang hukum khususnya dalam penegakan hukum, masyarakat pencari keadilan harus menebus sangat mahal untuk mendapatkan keadilan. Hukum sudah dijadikan lahan bisnis yang berorientasi pada hukum dagang. Berbagai pihak  menyatakan, Indonesia saat ini sedang mengalami darurat dalam penegakan hukum.

Untuk mengatasi mafia peradilan yang sangat sulit untuk diberantas  dan telah membelenggu para penegak hukum sendiri, mengapa dan tidak ada salahnya dicoba sistem Anglow Saxon dengan sistem juri sebagaimana dipraktekkan oleh negara negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon. Dengan menggunakan praktek sistem yang disebut sebagai Transplantasi Hukum (Law Transplant) maka suatu tatanan atau sistem hukum dari suatu negara dapat diadopsi oleh negara lain.

Secara sederhana Transplantasi Hukum diartikan sebagai sebuah proses tranfer atau peminjaman konsep hukum antar sistem hukum yang ada.  Contohnya, Indonesia yang menganut sistem Eropa Contonental  menggunakan sistem Juri dari sistem Anglo Saxon.

Atas dasar Tranplantasi hukum maka sistem juri dapat dan bisa diterapkan di Indonesia. Dengan sistem juri tersebut, hakim hanya bersifat pasif memimpin sidang , karena yang memutuskan perkara adalah para Juri (yang nota bene bisa berlatar belakang hukum bisa juga berlatar belakang non hukum) yang dipilih oleh negara dengan cara acak, karena yang diutamakan adalah dari sisi keadilan sebagai “RASA” yang dipandang mewakili perasaan keadilan masyarakat .

Dengan sistem Juri tersebut maka peluang terjadinya mafia hukum/ peradilan dan tindakan kesewenangan hakim dalam memutus perkara atas nama kemandirian/kemerdekaan atau imparsial sejauh mungkin bisa dicegah atau setidaknya ditutup. Hal ini merupakan pandangan hukum progresif, demi tegaknya hukum itu sendiri di negeri ini, yang didambakan oleh setiap insan Anak Bangsa sehingga hukum sebagai Panglima bisa diwujudkan.

 

*Penulis adalah praktisi hukum di Jakarta, pemerhati masalah sosial politik budaya dan sejarah bangsanya

Berita Terkait