Putusan MK Menyangkut Ambang Batas  dalam Pengajuan Calon Presiden dan Wakil Presiden Akan Timbulkan Kekacauan

by Nano Bethan
306 views
Opini

Oleh: Agus Widjajanto*

Tabloid Dictum – Seperti kita ketahui, Mahkamah Kontitusi (MK) telah mengabulkan permohonan atas Persyaratan ambang batas dalam pengajuan Calon  Presiden dan Wakil Presiden  (Presidential  Treashold) dari yang sudah ditetapkan sebelumnya yakni 20 Persen , menjadi 0 persen.

Mahkamah Konstitusi menganggap persyaratan Ambang Batas telah bertentangan dengan UUD 1945 dan menyatakan bahwa norma pada pasal 222 UU nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tidak lagi mempunyai  kekuatan hukum mengikat. Dalam putusan perkara Nomor 62/ PUU- XXI/ 2023, bahwa  sesuai pasal 24 C, putusan  Mahkamah Kontitusi  bersifat final dan binding (terahir dan mengikat).

Bisa dibayangkan, dengan sistem Multi Partai dengan lebih dari 15 Partai Politik (Parpol), baik dari Parpol besar maupun kecil, yang tidak pernah mendapat suara kursi di DPR, bisa mengajukan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Pertimbangannya,  sesuai kontitusi seluruh warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan.

Betapa ribet dan kacaunya pada saat Pemilihan Presiden setiap Parpol bisa mengajukan jagonya yang dianggap layak sebagai Calon Presiden tanpa harus berkoalisi dengan Parpolmanapun dan rakyat disuruh memilih. Hal ini nantinya menimbulkan dampak masyarakat dan mungkin para bandar politik akan berbondong-bondong membentuk Parpol baru. Hal ini belum pernah terjadi di dunia maupun dalam sejarah sejak Republik ini berdiri.

Ambang batas dalam pencalonan Presiden dengan O persen hanya ideal didalam sistem dwi Partai seperti halnya di Amerika serikat, tidak cocok untuk sistem demokrasi dengan Multi Partai yang jumlahnya puluhan Parpol. Untuk itu kita harus belajar dari sejarah terbentuknya Negara Kesatuan RI, agar bisa memahami sistem ketata negaraan secara baik.

Dalam sejarah secara teoritis, kita memang telah mengalami perubahan dalam konstitusi tertulis yakni UUD 1945. Dari Sejak kita merdeka dan disahkan UUD 1945 tersebut, adalah yang pertama saat terjadi perubahan dari UUD 1945 ke UUD RIS (Republik Indonesia Serikat) kemudian kembali ke UUD 1945 sesuai Dekrit Presiden 5 juli 1959.

Saat Orde Reformasi, dimana UUD 1945  telah diamandemen hingga empat kali perubahan (Prof. Dr. Satya Arinanto) demikian juga dalam sistem pemerintahan kita. Awal saat dibentuk memang para Founding Father kita mendesain sistem pemerintahan dengan sistem Presidensial, bulan sistem Parlementer. Saat itu memang dalam pembentukannya sebagai negara yang baru berdiri,  berkiblat pada pembentukan sistem pemerintahan di Amerika Serikat dan praktek di Eropa Barat.

Sejarah mencatat bahwa saat Orde Reformasi  UUD 1945 sudah mengalami perubahan melalui proses, yang menurut para elit politik saat itu bertujuan untuk menyempurnakan aturan-aturan dasar negara seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, hak asasi manusia, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, yang harus sesuai dengan sebuah negara demokrasi modern ala Eropa dan Amerika Serikat.

Para elit politik lupa bahwa sejak Indonesia berdiri dan didirikan oleh para bapak pendiri bangsa, walaupun ide terbentuknya sistem Presidential meniru sistem Presidential Amerika Serikat saat itu, akan tetapi para pendiri bangsa membangun sistem ketatanegaraan tetap berdasar pada nilai-nilai luhur sesuai adat dan tata kehidupan Bangsa Indonesia.

Menurut  Mr. Soepomo dibentuk seperti sebuah pemerintahan desa adat dalam lingkup Nasional / Negara, mengambil keputusan berdasarkan musyawarah mufakat, saat itu dibentuklah Panitia 9 dalam PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ) yang diketuai oleh Ir. Soekarno.

Sebagai syarat adanya sebuah negara setelah diproklamirkan merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, yakni adanya suatu wilayah,  yang saat itu jelas bekas jajahan Hindia Belanda, adanya penduduk, yang saat itu pada tahun 1945 berjumlah hampir 35 juta rakyat  dan adanya Dasar Negara dan Hukum Dasar (Kontitusi tertulis) untuk mengatur tata kehidupan dalam bernegara.

Antar Dasar Negara dengan Hukum Dasar, Preambule maupun isi harus sejalan dengan Dasar negara yang merupakan Dwi tunggal (Dua tapi sejatinya satu yang tidak bisa dipisahkan sesuai pendapat dari Prof Satya. Dimulainya sistem Presidensial tidak lagi murni, sudah terjadi semi sistem Parlementer pada saat Pemerintahan Presiden Abdul Rachman Wahid (Gus Dur) dengan membangun kekuatan politik dengan sistem 4 kaki dimana kekuatan politiknya menggandeng 4 kekuatan PArpol.

Menurut penulis, ini sebenarnya awal mula terjadi nya pergeseran peran dari Legislatif yang mulai mencengkeram pada sistem pemerintahan, dimana telah terjadi politik transaksional lewat suara-suara di DPR  dalam menggolkan kebijakan. Terlebih dalam pembentukan Undang-Undang, pemerintah yakni Eksekutif harus mendapat persetujuan dari DPR.

Ini saling sandera, saling kunci kekuatan politik, yang berakibat pemerintahan harus melakukan koalisi dengan menggandeng Parpol lain, sehingga berdirilah Parpol baru, yang jumlahnya hingga lebih dari 20 sebagaimana dulu pernah terjadi saat pemerintahan Orde Lama dengan 100 Partai dan pada saat awal Orde Baru dalam Pemilu 1971 yang mencapai puluhan Parpol.

Parpol ini  kemudian dilebur dalam tiga Parpol dimana dalam Orde Lama bernama NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis) saat Orde Baru menjadi Nasionalis, Agama dan Golongan Karya.

Menurut penulis sistem pemerintahan yang paling ideal dan sudah terbukti dalam stabilitas politik dan terjaminnya keamanan dan pembangunan adalah sistem Pemerintahan Presidential dengan sistem Tri Partai atau Dwi Partai yang memang sejak awal diciptakan dan didesain oleh para Founding Father kita. Hanya saja persoalannya bagaimana untuk memenuhi tuntutan jaman sesuai perkataan Mas Bambang Soesatyo, apakah perlu dilakukan amandemen?

Penulis berpendapat, sepanjang tidak merubah dan menghilangkan pasal-pasal Soko Guru (Pondasi, Tiang Utama) dari pada terbentuknya negara,  maka sesuai jaman dan Geo Politik dan strategis kedepan bisa dilakukan perubahan, penambahan, sesuai Kontitusi Amerika Serikat. Pasal Soko Guru  dari UUD 1945 tersebut,

  1. Kedudukan sebuah Lembaga Tertinggi sebagai manifestasi dari sebuah perwakilan Rakyat yakni (MPR)
  2. Pasal Presiden harus orang Indonesia asli
  3. Pembukaan UUD 1945
  4. Pasal 1 ayat 1 dari UUD 1945.

Konsensus  dari pasal-pasal diatas adalah Soko Guru, atau pondasi dari Tiang utama dari berdirinya negara. Ini bisa dilihat dari Sila ke-empat dari Pancasila, sebagai hukum Dasar negara yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin Oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan perwalian”.

Sila ke-empat dari Pancasila ini konekting atau berkaitan langsung dengan Pasal 1 ayat (2) dari UU 1945 yang berbunyi “Kedaulatan adalah ditangan rakyat  dan sepenuhnya dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR ).

Oleh karena saking dipengaruhi semangat meniru atau terbius oleh euforia  untuk melakukan reformasi dan mengakhiri kekuasaan dari Orde Baru saat itu, yang dianggap KKN dengan memanfaatkan situasi terjadinya Resesi Ekonomi atas permainan Negara Adi Daya dan Eropa untuk menguasai dan mengendalikan ekonomi negara dunia ketiga.

Para elit politik lupa bahwa antara Pancasila dan UUD 1945 tidak bisa dipisahkan dan merupakan satu kesatuan (Dwi Tunggal). Melakukan amandemen UUD 1945  sampai 4 kali seharusnya tidak merubah bunyi dari Dasar Negara Pancasila. Alhasil, seperti yang kita lihat dan rasakan saat ini, terjadi kepincangan dalam sistem Ketatanegaraan kita sejak reformasi bergulir hingga saat ini.

Saat  ini yang  paling utama dan paling  krusial  yang harus diambil keputusan dalam membangun kembali ketatanegaraan negara kita  adalah segera melakukan Amandemen terbatas yang ke lima untuk mengembalikan Marwah dan ruhnya Keindonesiaan, baik terhadap UUD 1945 maupun Pancasila sebagai sumber dari segala sumber  Hukum. Ada beberapa pasal krusial yang sepatutnya untuk dikembalikan pada kedudukan semula sesuai format dari UUD 1945 yang lama sebagai berikut:

  1. Kembalikan lagi rumusan Pasal 1 ayat (2) lama “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
  2. ⁠Kembalikan lagi rumusan pasal tentang MPR dengan kewenangannya.
  3. ⁠Bubarkan DPD (Dalam pasal lama tentang MPR, sudah disebut “Utusan Daerah”), UUD 1945 menganut sistem Perwakilan Unicameral (Satu badan perwakilan yang disebut dengan MPR)
  4. ⁠Bangun sistem kepartaian Dwi Partai (Be Party System) yang digolongkan dalam partai Nasionalis dan Partai Agama. Semua Parpol melakukan fusi melebur sesuai dengan latar belakang dari AD/ART Parpol tersebut
  5.  Bangun Sistem Pemilu dengan Sistem Distrik
  6.  Kembalikan aturan presiden harus orang Indonesia Asli. Kita harus belajar dari latar belakang emosional dari para Pendiri Bangsa, bahwa saat pemerintahan Hindia Belanda masyarakat dibagi dalam kasta-kasta dan justru Orang Asli Indonesia disebut Bumi Putera

7  ⁠Pertegas kembali sistem Pemerintahan Presidentil dengan mengembalikan lagi kewenangan Presiden yang di koptasi oleh DPR, seperti original power. Pembentukan Undang-undang kekuasaan ada pada  Presiden dan DPR hanya menyetujui atau menolak. Hak prerogatif Presiden dalam pengangkatan pejabat setingkat menteri, seperti Kapolri, Jaksa Agung dan pimpinan lembaga non kementerian. Rekruitment Hakim Agung, Komisi Yudisial, Anggota BPK dan lainnya tidak lagi melibatkan DPR melalui mekanisme ‘Fit n Proper Test’.

Hal itu sangat urgen untuk dilakukan dan sangat  penting, serta  mendesak dilakukan oleh pemerintahan yang baru  dengan tujuan:

  1. Mewujudkan stabilitas pemerintahan
  2. ⁠Menjamin kelangsungan Demokrasi Pancasila
  3. ⁠Menjaga keutuhan Bangsa dan NKRI
  4. ⁠Mengurangi beban negara buat cost Parpol yang justru menimbulkan kegaduhan
  5. ⁠Mencegah praktek-praktek korupsi dengan transaksional para partai politik dengan pejabat publik.

Presiden Soekarno punya obsesi untuk  mengelompokkan 2 kelompok masyarakat secara sosiologis, yaitu Nasionalis dan Agama (Islam,khususnya). Hanya memang saat itu Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah eksis dan punya basis massa yang kuat dan besar yakni petani dan Kaum buruh, jadilah kemudian  3 kekuatan besar itu disatukan menjadi yang dikenal dengan NASAKOM untuk  menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Presiden Soekarno ditopang oleh 3  kekuatan besar itu.

Hanya sayangnya, Presiden  Soekarno tidak mudah memainkan irama politik  agar ada harmonisasi di antara 3  kekuatan besar itu, jadilah sejarah berkata dan berkehendak lain. Kini, komunis sudah dead ( Tamat bahkan  diseluruh dunia),  tinggal 2  kekuatan besar yang masih eksis. Mengapa dan kenapa  mereka tidak mengorganisasikan dirinya menjadi 2  partai besar sesuai dengan idiologinya dengan menegaskan Asasnya, Pancasila.

Perlu juga dipikirkan, diatur dalam konvensi Ketatanegaraan agar pemilihan langsung Presiden oleh rakyat, mengingat cost yang begitu tinggi dikembalikan lagi pemilihan kepada Parpol, dimana Parpol pemenang itulah yang berhak mengajukan Calon Presiden terpilih dan  MPR sebagai mandataris Presiden tinggal ketok palu mengesahkan.

Atas permintaan dan masukan berbagai pihak agar mengembalikan UUD 1945 secara murni dan konsekuen secara total, sangat sulit dilakukan setelah bergulir sekian puluh tahun dan harus menyesuaikan kondisi Geo Politik Dunia dalam menghormati Hak asasi Manusia.

Sudah banyak sekali lembaga baru seperti Mahkamah Kontitusi, maka yang paling rasional, yang terbaik dilakukan adalah dengan Amandemen Terbatas melalui amandemen ke lima, terhadap UU 1945, agar bisa konek dan singkron dengan sila-sila dari Pancasila khususnya Sila ke-IV menyangkut sistem aturan kerakyatan dalam perwakilan.

Tampaknya sifat putusan Mahkamah Kontitusi yang bersifat Final dan Binding,  yang tidak lagi ada upaya hukum dan  berlaku, harus ditinjau ulang, mengingat hakim- hakim MK juga manusia biasa yang tentu bukan Tuhan, bukan Malaikat, sebagai manusia tentu tempat segala kekurangan kekilafan kesalahan. Tidak ada yang bisa menjamin dan mengontrol seluruh Majelis Hakim MK telah bersemayam Jiwa Kenegarawanan untuk membangun bangsa ini kedepan****

*Penulis:  Pemerhati sosial budaya, politik, hukum dan sejarah bangsanya, tinggal di Jakarta

Berita Terkait