Oleh: Agus Widjajanto*
Tabloid Dictum.com – Sistem pendidikan di Swedia yang saat ini menggunakan perangkat teknologi seperti komputer dan tablet dikhabarkan akan dikembalikan dengan menggunakan buku-buku cetak sebagai media pembelajaran. Pertimbangannya, penggunaan teknologi digital dinilai justru menghilangkan kemampuan siswa dalam membaca.
Tidak tanggung-tanggung, perubahan sistem dengan harapan, siswa mempunyai kemampuan dalam mendalami materi pembelajaran ini, pemerintah setempat menganggarkan Rp 1,7 Triliun. Perangkat digital berdampak pada fokus siswa terhadap proses pembelajaran.
Data Literasi Membaca Internasional (PIRLS) menunjukkan keterampilan siswa di Swedia terus menurun pada 2016-2021. Tercatat pada tahun 2021, siswa kelas empat di Swedia rata-rata memperoleh 544 poin. Angka ini turun dari sebelumnya rata-rata 555 di tahun 2016.
Seperti yang ditulis dalam berita Kompas .com beberapa waktu lalu diberitakan bahwa Penelitian Dewan Riset Swedia mengungkap, pembelajaran menggunakan teknologi digital dengan menatap layar berjam-jam dapat menghambat kemampuan siswa untuk lebih fokus dalam memproses informasi yang kompleks.
Baca juga: Inter Independensi, Saling Ketergantungan secara sosial
Di sisi lain, siswa sering kali menggunakan perangkat teknologi untuk bermain game atau menjelajahi internet selama berjam-jam di sekolah. Akibat kebiasaan itu secara langsung mengurangi keterlibatan siswa di kelas.
Keputusan yang diambil Pemerintah Swedia ini bisa menjadi refleksi bahwa teknologi digital memang memiliki kelebihan, tetapi metode pengajaran tradisional juga penting untuk menumbuhkan keterampilan berpikir kritis dan pemahaman.
Dengan kembali menggunakan buku cetak dalam sistem pendidikan, Pemerintah Swedia berharap dapat membangun kembali keterampilan belajar dasar sambil terus menggunakan alat digital sebagai nilai tambah siswa.
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya, kenapa sistem pendidikan di Indonesia tetap getol memanfaatkan teknologi digital pada semua strata pendidikan sementara Swedia yang dikenal sebagai negara produsen mobil berteknologi tinggi yakni Volvo, justru mengambil sikap sebaliknya.
Baca juga: Restorasi Meiji, Pembelajaran Sejarah Bagi Bangsa Untuk Indonesia Emas
Perlu diingat bahwa salah satu tiang utama dari pendidikan adalah guru. Guru adalah sebuah jabatan yang sangat mulia, hingga dinobatkan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Kemajuan sebuah bangsa dan begitu juga sebaliknya kehancuran sebuah peradaban pada suatu bangsa, salah satunya ditentukan oleh guru.
Profesinya begitu mulia, bahkan dalam sejarah, pada masa kejayaan kerajaan – kerajaan di Nusantara, guru mempunyai derajat yang sangat tinggi dengan Kasta Brahmana. Pendidikan adalah sebuah usaha kebudayaan yang bertujuan untuk menuntun pertumbuhan jiwa dan raga anak. Pendidikan juga merupakan media untuk mewujudkan manusia yang merdeka secara lahir maupun batin.
Guru berperan sebagai pamong atau pembimbing yang mendidik murid dengan kasih sayang dan kesadaran personal. Guru berpegang pada kemampuan dasar siswa dengan mendorong untuk mengungkapkan kemampuan berpikir tapi tetap berbudi luhur.
Menurut penulis, seorang guru atau pendidik pada semua level pendidikan harus berpikir, berperasaan dan bersikap seperti juru tani. Dimana dalam menggarap tanah disesuaikan dengan karakteristik tanah tersebut untuk ditanami. Demikian juga terhadap siswa, guru tidak bisa merubah karakter dari siswa, akan tetapi hanya bisa memperbaiki dan memperindah harmoninya.
Baca juga: Teori Quantum Entanglemen dan Interkoneksi dalam Hukum Alam
Jiwa guru adalah jiwa pendidik , pendidik sejati adalah jiwa yang mendarmabaktikan seluruh nya kepada anak didik, untuk kemajuan bangsa, kemajuan peradaban karena majunya sebuah pendidikan menentukan peradaban kedepan sebuah bangsa.
Tut Wuri Handayani bahwa guru memberikan dorongan dan semangat kepada siswa. Ing Ngarso Sung Tulada bahwa guru dan di depan siswa harus memberikan contoh teladan yang baik. Ing Madya Mangun Karsa bahwa guru harus membangun motivasi, memberikan semangat kepada siswa agar menjadi lebih baik untuk nanti mendarmabaktikan kepada keluarga dan bangsanya.
Yang terjadi saat ini sistem belajar mengajar sudah terjebak pada dogma, aturan baku standarisasi , dimana siswa maupun mahasiswa harus digiring pada teori – teori tertentu dalam penelitian nya, dimana betakibat kebebasan berpikir berekpresi lewat tulisan yang merupakan bagian dari seni terpasung.
Kasus riil dalam dunia nyata yang terjadi di masyarakat, sangat sulit sebenarnya untuk diaktualisasikan lewar teori tertentu, mengapa tidak diberikan kebebasan berpikir agar siswa maupun mahasiswa mampu melakukan penjelajahan pola pikir secara bebas untuk menemukan ide dan hal – hal baru dalam dunia akademik dan pendidikan nya, ini yang harus dipikirkan bersama.
Baca juga: Merefleksi Kembali Ajaran Taman Siswa dalam Sistem Pendidikan Kita
Selain penggunaan teknologi digital, kita tentu miris dengan ‘perubahan’ sistem pendidikan yang dalam prakteknya menjejali siswa dengan pelajaran matematika, logaritma hingga bahasa asing. Pelajaran yang merupakan porsi bagi siswa jenjang menengah atas dan level lebih tinggi.
Sementara sistem pendidikan kita dalam proses belajar mengajar mengadopsi sistem pendidikan di Eropa, anak usia dini sudah dijejali matematika, logaritma, bahasa asing, yang merupakan pelajaran berat, porsi pendidikan menengah atas dan pada level yang lebih tinggi.
Sementara beberapa mata pelajaran budi pekerti, cinta tanah air, penghormatan terhadap guru, sopan santun, bahasa daerah serta sejarah bangsa justru dihapus. Mata pelajaran ini seharusnya tetap melekat pada usia dini karena dasar dari pada membentuk karakter anak dan manusia seutuhnya dikemudian hari.
Di Jepang yang merupakan negara maju dan negara industri, sistem pendidikannya, di usia dini, kelas I – kelas III sekolah dasar, hanya diajarkan ekstra Kulikuler bidang olahraga untuk membentuk tubuh yang sehat, serta diajarkan khusus pendidikan budi pekerti, sopan santun, sosialisasi sesama teman dan bersih terhadap lingkungan serta menghormati guru, orang tua, dan cinta budaya tanah air.
Baca juga: Menggugat Paradigma Belanda Menjajah Indonesia 350 Tahun
Proses belajar tingkat dasar pada kelas I hingga kelas IV, tidak ada ujian seperti di negara kita, akan tetapi guru memantau karakter dan cara bersosialisasi dalam pergaulan, sopan santunnya terhadap orang yang lebih tua, dan guru. Dengan sistem pendidikan tersebut apakah Jepang menjadi negara terbelakang? Oh tidak, Jepang tetap sebagai negara industri maju, negara kampiun industri mobil, digital, elektronik, dan sumber keuangan dunia.
Berikan kepada siswa di semua strata Pendidikan, kebebasan untuk berekpresi dalam berpikir agar menemukan ide – ide baru, terobosan baru, tanpa dikukung oleh aturan dogma, tata cara dan juklak. Peran guru dan Dosen hanya sebatas juru tani, yakni mengolah memilih tanaman sesuai tekstur kondisi tanah. Memberikan bimbingan, memberi contoh, memberi semangat dan memberi dorongan. Itulah sebenarnya arti semboyan “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso dan Tut Wuri Handayani.
Penulis ingat saat kecil di tahun 70-an, dengan sistem pendidikan lama, diajarkan tata cara menulis huruf latin halus, menulis huruf honocoroko yang merupakan bagian dari sejarah bangsa ini, diajarkan sopan santun, unggah ungguh, hormat terhadap guru serta orang yang lebih tua dan orang tua.
Begitu kerasnya seorang guru mengajarkan disiplin terhadap muridnya agar menjadi manusia yang berakhlak, bertanggung jawab serta berbudi luhur. Jaman itu guru sangat dihormati, bandingkan jaman reformasi sekarang, guru dianggap teman. Apabila ada guru menghukum muridnya disekolah, yang ada guru dilaporkan polisi oleh orang tua murid karena semena – mena.
Baca juga: Sistem Pemerintahan Presidensial sesuai UUD 1945 Apakah Bisa Diubah?
Disinilah telah tejadi pergeseran nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta bermasyarakat yang menafsirkan sesuai nilai nilai Pancasila dan ajaran bapak taman siswa. Tut Wuri Handayani, ing Karso sun tulodo, tidak lagi terdengar diajarkan di bangku sekolah oleh guru – guru kita, bahkan lebih berorientasi pada pendidikan yang menguntungkan secara finalcial (Education Bisnis) sehingga jangan kaget begitu mahal biaya pendidikan saat ini yang harus ditanggung masyarakat.
Dengan pembelajaran sopan santun, tata krama, sosialisasi cara bergaul yang dilakukan sejak usia dini tentu setidaknya akan melekat pola pikir anak sejak usia dini, sehingga menjadi pribadi yang luhur, jujur dan penuh toleransi terhadap sesama.
Bahkan sekarang kabarnya ditingkat perguruan tinggi, rencananya akan menghilangkan mata kuliah Pancasila di semester pertama pada beberapa universitas baik negeri maupun swasta. Hal ini berbanding terbalik dengan masa pemerintahan Orde Baru yang mengajarkan nilai nilai Pancasila lewat program Eka Prasetya Panca Karsa, untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat, pejabat, kaum pendidik agar bisa memberikan suri tauladan kepada masyarakat yang dipimpinnya dan diajarnya tentang apa itu makna dan nilai – nilai dari Pancasila.
Saat ini, eranya digitalisasi menggunakan teknologi, seolah – olah tidak ada lagi batas negara. Hampir semua anak bangsa menggunakan internet, listrik, bahkan masa pandemi covid, dilakukan lockdown, dirumahkan. Memaksa masyarakat dan sistem belajar mengajar menggunakan Zoom di internet.
Baca juga: Menguji Jiwa Kenegarawan Hakim MK dalam Menangani Sengketa Pemilukada Serentak Tahun 2024
Belum lagi sistem perbankan, bahkan mobil juga bertenaga listrik, yang tentu itu semua bermuara pada sistem kontrol, bermuara pada Cip yang diciptakan berdasarkan teknologi canggih. Tidak semua negara mampu menguasai dan membuatnya, jadi seolah olah kita digiring pada suatu kondisi tertentu secara bersamaan dan merata.
Apakah kita pernah membayangkan secara imajinatif saja, pada suatu ketiga terjadi Shotdwon (Mati seluruh sistem dan komputerisasi) sedang sistem yang dibangun menggunakan teknologi yang belum sepenuhnya kita kuasai ? Harus belajar dari kasus negara Estonia, saat Shootdwon seluruh operasi perbankan dan operasional internet mati, yang berakibat seluruh jaringan mati, sehingga Estonia saat itu mengalami kelumpuhan total.
Teknologi seolah membuat kita bangga dan hebat, padahal sebetulnya membuat diri kita semakin bodoh karena dikuasai oleh sistem teknologi tersebut. Kita tidak bisa berbuat banyak kecuali ikut arus sistem tersebut. Contohnya, internet pakai pulsa, token listrik, tarik tunai uang dalam perbankan, tranfer, telpon dan sebagainya. Mau tidak mau kita dipaksa untuk ikuti sistem dunia tersebut, yang pada titik tertentu bukan tidak mungkin jikalau terjadi turbulensi dalam sistem, berakibat mati total dan lumpuh pada semua sektor.
Bahwa suatu sistem yang dirancang dan diciptakan salah akan membuat orang baik akan terseret dalam turbulensi lingkungan menjadi orang jelek dalam kapasitasnya sebagai warga negara. Tapi dengan sistem yang baik, orang yang jelek secara mens rea (niat jahat) akan terkikis dan ikut terseret menjadi baik karena sistem yang bagus.
Baca juga: Radikalisme, Pemahaman Agama dan Terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia
Sistem Pendidikan akan berdampak di semua sendi kehidupan masyarakat. Seperti dalam kehidupan berpolitik, setiap hari dipertontonkan dengan hujatan karena pilihan berbeda. Bahkan terjadi Carok di Sampang Madura gara – gara pilihan dalam Pilkada berbeda.
Terjadi politik identitas menyangkut keagamaan dalam pilkada, yang menggiring masyarakat pada potensi perpecahan antar umat beragama. Masyarakat digiring pada opini dikaitkan dengan keagamaan, bahkan surga dan neraka.
Hal ini akibat dari adanya kebebasan yang tidak dibarengi dengan rasa tanggung jawab akibat dari pada dirubahnya sistem ketatanegaraan, dimana Hukum dasar kita yakni UUD 1945 telah diamandemen hingga empat kali. Merubah format dari sistem perwakilan menjadi sistem pemilihan langsung, menggunakan proporsional terbuka dalam sistem pemilihan dalam partai politik.
Sistem Pendidikan kita juga berdampak dalam bidang penegakan hukum, baik di tingkat penyidikan, penuntutan maupun ditingkat peradilan pada Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung. Sering dijumpai adanya peradilan yang sangat mahal yang harus ditebus oleh para pencari keadilan dan terjadi penjungkir balikkan aturan hukum positif demi kepentingan tertentu.
Baca juga: Mencapai Indonesia Merdeka Sesuai Cita – cita Pendiri Bangsa
Hal ini diakibatkan adanya degradasi moral dari anak bangsa dan sistem yang dibangun sudah salah kaprah yang telah dikoyak dan diporandakan sistem yang ada, yang dibuat dengan konsep baru yang berorientasi pada Soko guru negara liberal dengan sistem ekonomi kapitalis, tidak sesuai dengan cita – cita para Pendiri Bangsa melalui konsep Ekonomi Gotong Royong dan kerakyatan Yang telah dibangun oleh para pendahulu kita, para pemimpin – pemimpin kita masa lalu.
Kita harus belajar pada sejarah, tepatnya sejarah berdirinya bangsa ini yang dibentuk oleh para pendiri bangsa (Founding Father) bahwa negara ini dibentuk dari awal adalah sebagai negara kesatuan berbentuk Republik yang menyatukan segala perbedaan baik agama, suku, ras, budaya, adat istiadat bahasa, menjadi satu tujuan berdirinya negara Republik Indonesia yang berdasarkan sistem perwakilan sesuai sila ke empat dari Pancasila dan sistem ekonomi kerakyatan secara gotong royong, dengan dasar dan falsafah serta pandangan hidup bangsa yakni Pancasila.
Kita harus merefleksi dan mengakui bahwa kita telah gagal dalam menghantarkan para calon -calon pemimpin bangsa pada kawah Candradimuka di bidang pendidikan, yang dimulai dari pendidikan dasar, menengah atas hingga perguruan tinggi sehingga melahirkan para anak bangsa yang korupsi.
Mungkin benar oleh Pujangga Raden Ngabehi Ronggo Warsito bilang, ini jaman edan atau jaman kolo bendu, yen ora edan ora keduman (Kalau tidak ikut berbuat menyimpang tidak dapat hidup), yang digambarkan sebagai periode konflik dan permusuhan antara berbagai komponen bangsa, yang dipicu oleh manipulasi dalang (Invisible Hand) yang tidak terlihat yang mengendalikan peristiwa dibalik layar.
Maka tiada kata yang tepat, sebelum kita tersesat jauh dan terlambat dimana bangsa ini telah kehilangan jati diri dan Ruhnya ke Indonesiaan, kembalikan beberapa mata pelajaran yan ada di sistem pendidikan sebelumnya atau belajarlah dari sistem Pendidikan di Jepang. Sistem pendidikan akan membentuk karakter anak bangsa yang berakhlak, bertanggung jawab serta berbudi luhur, pemimpin – pemimpin untuk menggapai Indonesia Emas.
*Pemerhati sosial budaya politik dan hukum serta sejarah bangsanya