Oleh: Agus Widjajanto*
Tabloid Dictum.com – Tokoh Politik, Amien Rais setahun lalu, seperti yang diberitakan media nasional, datang ke gedung MPR bertemu dengan pimpinan MPR. Ternyata, Amien Rais mengakui secara terbuka bahwa dirinya sangat naif saat mendorong Reformasi tahun 1998 hingga dilakukan amandemen terhadap UUD 1945 hingga ke empat kali.
Bagi penulis, tidak heran dan bukan hal yang mengangetkan seorang tokoh sekaliber Prof. Amien Rais , mengaku telah naif dan kilaf saat mendorong reformasi yang berujung pada keputusan mengamandemen kontitusi kita sebagai Hukum Dasar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, yakni UUD 1945.
Amandemen UUD 1945 sampai empat kali harus diakui bahwa telah merubah Sistem Ketatanegaraan kita yang awalnya di desain dengan sistem Kerakyatan. Manifestasi dari suara rakyat yang merupakan Suara Tuhan lewat sebuah Majelis yang bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), diganti dan diubah menjadi Sistem Pemilihan Langsung dalam Pemilihan Umum Kepala Negara dan sekaligus Kepala Pemerintahan. Presiden dipilih langsung oleh Rakyat, sebagai mandataris Rakyat melalui Pemilihan Umum yang diusung dan diajukan oleh Partai Politik dan atau gabungan dari beberapa Partai Politik.
Belum lagi keluarnya putusan Mahkamah Kontitusi menyangkut Presidential Treshold yang membatalkan aturan sebelumnya dari 20 persen perolehan suara secara Nasional menjadi 0 persen untuk bisa mengajukan Calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik.
Sangat menarik untuk dicermati karena pasti akan terjadi kegaduhan dimana dengan sistem Multy Partai, lebih dari 20 Partai Politik, setiap partai politik bisa mengajukan Calon Presiden tanpa harus berkoalisi dengan partai politik lain.
Pada Era Reformasi sekarang, dimana kebebasan berpendapat dan berbicara diberikan keleluasaan dan berlakunya sistem pemilihan langsung dalam Pemilihan Umum dimana kontek Vox Populy vox Dey (Suara Rakyat adalah suara Tuhan) seolab bergema diseluruh negeri. Termasuk Jabatan Presiden dan Wakil Presiden bukan lagi sebagai Mandataris MPR akan tetapi sebagai mandataris Rakyat dari seluruh rakyat Indonesia.
Namun setelah terpilih dan berkuasa ternyata suara rakyat dianggap alunan musik yang kadang tidak lagi perlu didengarkan, dengan segala kebijakan yang diambil secara tehnis tidak perlu dikonsultasikan dengan pemberi mandat yang jumlah nya mencapai 270 juta jiwa. Tentu tidak semudah yang dibayangkan, bagaimana pengaturan dalam pertanggung jawaban dan konsultasinya secara tekhnis.
Baca juga: Peperangan di Padang Kurusetra dalam Epos Mahabharata dan Relevansi dari Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Inilah yang tidak pernah dipikirkan saat Reformasi dengan mengamandemen UUD 1945 hingga empat kali. Bukan saja telah meluluh lantakan sistem dan desain awal dari Sistem Ketatanegaraan yang dirancang para pendiri bangsa, akan tetapi juga membuka peluang terjadinya Sistem Feodal dalam jabatan Kepala Daerah melalui pemilihan langsung. Akhirnya, dengan terpilihnya kepala daerah, membuka peluang melakukan Nepotisme dan Korupsi yang berjalan masif dalam alam demokrasi pada Jaman Reformasi yang dulu diharapkan membawa perubahan besar dari sistem Orde Baru yang dianggap otoriter kepada Demokrasi.
Tetapi yang terjadi, degradasi moral dan sistem yang memberikan ruang kepada Nepotisme dan Korupsi yang sangat masif di Negara ini, dengan biaya atau cost yang ditimbulkan sangat besar dalam setiap hajatan Demokrasi. Bahkan sebuah bangunan Istana Negara yang dulu ditinggali oleh Bung Karno, baik Istana Bogor maupun Istana Merdeka di jalan Medan merdeka Utara dianggap sebagai sesuatu yang berbau kolonialisme.
Padahal saat Bung Karno mencanangkan Gerakan Non Blok dan menggelorakan revolusi bagi bangsanya, menginspirasi bangsa – bangsa dunia ketiga di Asia dan Afrika, beliau juga bertempat tinggal di istana dan gedung yang sama. Pikiran seharusnya memunculkan ide yang bisa membuahkan suatu fenomena perubahan bukannya justru menghasilkan kesesatan. Semua itu tergantung dari kita untuk mengendalikan dalam kontek tujuan.
Berbicara MPR, tidak bisa dipisahkan dengan sejarah terbentuknya Negara ini, dari lahirnya Pancasila sebagai Dasar Negara dan desain awal menyangkut dibentuknya Hukum Dasar tertulis oleh panitia kecil yakni Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Antara Dasar Negara dan UUD 1945 sebagai Kontitusi Tertulis, merupakan satu kesatuan yang punya hubungan integral, ibarat suami istri dalam sebuah Rumah Tangga yang saling mengisi satu sama lain dan tidak bisa dipisahkan.
Baca juga: Inter Independensi, Saling Ketergantungan secara sosial
Seperti yang tertulis dalam sejarah Bangsa, saat Bung Karno menggali nilai – nilai luhur dari berbagai adat istiadat dan kebiasaan yang telah hidup dan tumbuh di Bumi Nusantara ini, dalam pidatonya menyatakan: “Alam itu aku menggali didalam ingatanku, menggali dalam ciptaku, menggali didalam khayalku, apa yang terpendam didalam Bumi Indonesia ini, agar supaya dari hasil dari penggalian itu dapat dipakai sebagai Dasar Negara bagi negara yang akan datang”.
Kakawin Nagara Kertagama yang ditulis dalam bahasa Jawa kuno oleh Mpu Prapantja, ditemukan pertama kali di pulau Lombok, Nusantara Tenggara Barat , pada tahun 1894, pertama – tama disebutkan Kakawin Desa Warnana, yang melukiskan tentang pemerintahan saat itu dalam wilayah kerajaan Majapahit, termuat dalam bait (Ngk.pupuh 94:4 ).
Naskah Kakawin Nagara Kertagama ini menjadi sangat menarik dan istimewa lantaran memberikan keterangan langsung mengenai kondisi dan adat istiadat serta sistem pemerintahan baik lokal (Daerah dalam lingkup kadipaten), Desa, maupun Pusat Kerajaan mengenai masyarakat Jawa kuno pada suatu masa tertentu, dilihat dari sudut tertentu. Inilah sebenarnya yang menginspirasi para pendiri bangsa kita (Founding Father) dalam membentuk sebuah konsep berdirinya Negara Kesatuan yang kemudian dikenal dengan nama Indonesia.
Baca juga: Falsafah Kepemimpinan Jawa dalam Perspektif Kepemimpinan Indonesia ke Depan
Nagara Kertagama merupakan Kitab sumber nilai – nilai Pancasila yang kemudian menginspirasi Bung Karno dalam menyusun Dasar Negara Republik Indonesia, termasuk, Mr. Moh. Yamin dan Mr. Soepomo, dalam memberikan masukan konsep tentang Dasar Negara dan Sistem Ketatanegaraan saat sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
Bung Karno sendiri dalam Auto Biografinya “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat” pada halaman 240 menulis: “Aku tidak mengatakan , bahwa aku menciptakan Pancasila, apa yang aku kerjakan hanyalah menggali jauh kedalam bumi kami, tradisi – tradisi kami sendiri, dan aku telah menemukan lima butir mutiara yang indah”. Naskah Nagara Kertagama juga telah diakui oleh kalangan International dan secara resmi masuk dalam daftar Memory Of The World UNESCO .
Bahwa dalam pupuh 43 dalam Kitab Nagara Kertagama, Mpu Prapanca menulis, “Agar kiranya berusaha memegang teguh pada Pancasila, lima kaidah tingkah laku utama”. Disinilah sebenarnya sumber inspirasi dari para Pendiri Bangsa yang lalu digali dan dirangkum menjadi sila – sila dalam Pancasila.
Berbicara tentang sistem ketatanegaraan kita, tidak bisa dilepaskan dari sejarah terbentuknya Negara ini, dan tokoh yang dipandang sangat penting dan berpengaruh tentang konsep ketatanegaraan dari UUD 1945 adalah pendapat dari Mr. Soepomo , yang merupakan “Ikon” penting dalam dunia politik hukum di Indonesia.
Baca juga: Refleksi Sistem Pendidikan, Membentuk Karakter Anak Bangsa Berakhlak, Berbudi Luhur
Dalam pidatonya tanggal 31 Mei 1945 didepan sidang BPUPKI, Soepomo mengemukakan dan melontarkan gagasan tentang “Negara Integralistik” sebagai bentuk paling tepat bagi Indonesia suatu hari nanti saat merdeka. Gagasan ini pulalah yang dikemudian hari menjadi inspirasi pada saat disusunnya Undang – Undang Dasar 1945 (UUD 1945).
Saat itu, kontroversi yang mengemuka adalah ide model Negara Integralistik yang ditawarkan Soepomo merupakan bentuk yang dianggap fasis, yang mencontoh dari kerajaan Jepang dan Jerman saat itu, dianggap adanya persesuaian dengan watak masyarakat Indonesia yang dilandasi semangat kekeluargaan. Setelah Indonesia merdeka, banyak studi hukum Ketatanegaraan menilai Pemerintahan Orde Baru merupakan penerjemahan paling sempurna dari gagasan yang diajukan oleh Soepomo.
Soepomo seorang bangsawan Jawa keturunan darah biru dari Keraton Kasunanan Surakarta, sangat memahami kontek sistem Manunggal Kawuloning Gusti dalam suatu Pemerintahan Feodal Jawa, yang merupakan penyatuan antara Rakyat dan Pemimpin dengan membentuk suatu masyarakat yang harmonis berdasar karakteristik masyarakat Indonesia. Sebenarnya inspirasi dari Soepomo didapat dari model Pemerintahan Desa kuno di Jawa, seperti yang tertulis dalam Kitab Kakawin Nagara Kertagama.
Baca juga: Restorasi Meiji, Pembelajaran Sejarah Bagi Bangsa Untuk Indonesia Emas
Para ahli Hukum Tata Negara dalam kajian penelitiannya berpendapat bahwa Soepomo, mengambil konsep pemikiran dari tiga filsuf pada abad ke-18 dan 19, yakni Benedict Spinoza, Adam Muller, dan Georg W .F. Hegel sebagai terjemahan dari ketertarikan seorang Soepomo menyangkut sistem Pemerintahan Jepang dalam bentuk Tenno – Haika dan Jerman saat itu.
Padahal model Jepang sebagai negara feodal dengan raja sebagai poros paling atas kekuasaan dianggap oleh Soepomo, sama persis dengan sistem kepemimpinan dalam pemerintahan di Jawa yang menggunakan model Kawulo Manunggaling Gusti. Dalam praktek pemerintahan kerajaan Mataram Islam di Jawa yang mengadopsi sistem pemerintahan dari Kerajaan Majapahit, dimana Raja sebagai Gusti atau Kepala Negara, dengan perangkat wakilnya Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan.
Soepomo menolak konsep Individualisme Barat, sesuai rujukan dari filsuf Inggris, Jeremy Bentham. Menurutnya, konsep individualitas ala barat bertentangan dengan Struktur Masyarakat Desa, yang merupakan soko guru untuk cermin struktur masyarakat yang lebih luas dalam Negara. Bentuk paling ideal dan orisinil adalah dari sistem penyatuan antara Kawulo (Rakyat) dengan Pemimpin (Gusti).
Baca juga: Menggugat Paradigma Belanda Menjajah Indonesia 350 Tahun
Masyarakat Desa Adat merupakan referensi paling sempurna dan orisinil bagi Soepomo dalam sistem pemerintahan kita dari sudut sistem Ketatanegaraan, dimana dalam negara integralistis ala Pemerintahan Desa tidak ada pertentangan dan selalu ada Harmonisasi kepentingan yang diambil secara musyawarah mufakat seperti layaknya dalam Lembaga Rembuk Desa dalam pemerintahan Desa, Negara dikelola secara kekeluargaan layaknya sebuah keluarga harmonis.
Negara Integralistik dalam perspektif Soepomo berakar dari struktur sosial masyarakat desa, dimana setiap orang dan golongan memiliki tempat dan kewajiban sendiri – sendiri sesuai kodratnya. Itulah sebenarnya Sistem Pemerintahan dalam perspektif Keindonesiaan, yang mempunyai ciri khas tersendiri, lain dari pada Demokrasi dari negara – negara di belahan dunia lain yang berkonsep Liberal dan Sosialis.
Marsilam Simanjuntak dalam studi yang sangat impresif soal konsep Negara Integralistik, menguraikan dalam bukunya bagaimana Soepomo “membayangkan” dalam hal sistem dan ketatanegaraan. Marsilam fokus pada kohesitas gagasan Soepomo dengan pemikiran Hegel.
Menurut penulis, aliran dan pendapat dari Benedict Spinoza, Adam Muller serta Georg W.F. Hegel, bukan merupakan rujukan dan pengaruh terhadap Soepomo dalam mengusulkan ide Negara Integralistik. Sebagai seorang bangsawan Keraton Kasunanan Surakarta, Soepomo mengambil contoh dari kehidupan Sistem Pemerintahan Kerajaan Mataram Islam dan Majapahit dalam pemerintah Desa Desa adat, di komseptualkan dalam sistem terbentuknya sebuah negara baru yang bernama Indonesia. Kebetulan karena lulusan Pendidikan Hukum di Belanda, referensi para filsuf Eropa pada abad ke-18 dan 19 hanya sebagai perbandingan pandangan.
Baca juga: Menguji Jiwa Kenegarawan Hakim MK dalam Menangani Sengketa Pemilukada Serentak Tahun 2024
Pada Era Reformasi saat ini, ide terbentuknya Negara Integralistik dari Soepomo dan tulisan dari Mpu Tantular dalam Kakawin Nagara Kertagama yang menggambarkan situasi dan sistem kekuasaan saat itu, dan terbentuk nya Kontitusi dan Dasar Negara Pancasila saat Indonesia Merdeka pada masa reformasi, dirombak total melalui amandemen sampai empat kali.
Pada masa Orde Baru memang tidak selalu sempurna, wajar ada kekurangan dalam doktrinisasi politik contohnya, institusi TNI saat itu menjadi Dwi fungsi ABRI. Bukan lagi hanya sebagai alat pertahanan dan keamanan tapi juga sekaligus alat politik. Ini yang harus diperbaiki, bukan seperti mengejar tikus dalam lumbung padi bukan tikusnya yang di bunuh tapi justru lumbung nya yang dibakar, ini kan aneh.
Sebagai penjelmaan suara bagi seluruh rakyat , ada lembaga tertinggi yang namanya MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) yang dulu merupakan Dewan Rembuk Desa Adat, yang memberikan keputusan yang diambil secara musyawarah mufakat, terdiri dari wakil tetua adat, tetua agama, wakil pemuda, wakil perangkat pemerintahan desa, disebut Rembuk Desa.
Demikian juga MPR yang anggotanya terdiri dari Seluruh anggota DPR RI, wakil golongan, agama, organisasi kemasyarakatan, organisasi pemuda, dan wakil daerah yang mewakili daerah Masing – masing, ada Gubernur, Bupati , Walikota, yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat melalui Perwakilan.
Baca juga: Radikalisme, Pemahaman Agama dan Terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia
MPR diberikan mandat dan wewenang menyusun GBHN (Garis Besar Haluan Negara) apa yang mau dituju, dibangun bangsa ini, dalam jangka panjang, menengah dan pendek. Pemerintah membuat Repelita, dalam pelaksanaan pembangunan. Itulah wujud dari sistem Negara Integralistik ala Kakawin Nagara Kertagama dan sistem pemerintahan Desa dalam lingkup skala Negara.
Sementara sekarang, kewenangan MPR sudah direduksi, dimana kewenangan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden sudah tidak lagi berlaku . Menetapkan GBHN juga sudah dicabut sehingga tidak ada lagi GBHN dan repelita yang berakibat bangsa ini kehilangan arah (Kompas). Petunjuk arah tidak ada lagi, dimana Pemerintah Pusat dan Daerah, dalam Otonomi Daerah bisa menerjemahkan sesuai dengan perspektif masing- masing.
Belum lagi sistem pemilihan langsung, dimana masa lalu sebelum reformasi, MPR adalah Lembaga Tertinggi yang merupakan mandataris Presiden dan Wakil Presiden, yang diubah menjadi suara rakyat langsung menjadi Presiden mandarais rakyat karena melalui pemilu langsung.
Kita sama -sama bisa lihat dan merasakan, seolah kita sudah kehilangan ruhnya sebagai sebuah bangsa , sudah bermetafora pada bangsa dengan Sistem Liberal. Dulu tidak pernah dibayangkan sekalipun oleh para pendiri bangsa dan saat ini telah terjadi.
Antara Dasar Negara yakni Pancasila sebagai Sumber dari Segala Sumber Hukum dengan Kontitusi Negara sebagai Hukum Dasar merupakan satu kesatuan tunggal, yang tidak bisa dipisahkan. Ibarat suami dan istri dalam sebuah Rumah Tangga, dimana sebagai Dasar negara telah mengatur suatu sistem Kerakyatan dengan cara Perwakilan yang merupakan manifestasi dari suara rakyat melalui wakil – wakilnya yang diatur melalui sebuah lembaga tertinggi di Negara ini yang bernama MPR.
Hal ini tertuang dalam sila ke empat dari Pancasila yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan perwakilan “, sinkronisasi dengan Pasal 1 Ayat (2) dari UUD 1945 yang lama (Masih murni sesuai dekrit presiden 5 juli 1959 yang berbunyi “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat“). Ini memang sejak awal sudah didesain sebagai Lingga dan Yoni/suami dan istri yang merupakann pasangan yang punya hubungan integral yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain.
Sedangkan setelah dilakukan amandemen Pasal 1 Ayat 2 menjadi “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang – Undang Dasar. Ini menjadi bias, sedangkan tata bahasa yang digunakan dalam konstitusi harus jelas, singkat, padat dan berisi. Jangan sampai terjadi multi tafsir yang berakibat semua orang warga negara bisa menafsirkan sesuai perspektif, sudut pandang masing – masing yang berakibat terjadi ketidakpastian dalam hukum.
Dengan dirombak dan diubahnya format dari UUD 1945 sebanyak empat kali, maka antara Sila ke-4 dari Pancasila bertabrakan/bertentangan dengan UUD 1945 hasil amandemen. Dalam sebuah rumah tangga saja jikalau hubungan antara suami istri tidak sinkron dan tidak sejalan akan menimbulkan masalah dalam kehidupan keluarga.
Demikian juga menyangkut sebuah Negara akan mengalami benturan dan ketidakstabilan dengan sistem Ketatanegaraan dikarenakan antara Dasar Negara dengan Hukum Dasar, sudah tidak lagi seirama. Kita harus akui bahwa para founding Father (Bapak pendiri bangsa) lebih matang dan cerdas serta progresif dalam menyusun suatu sistem sebuah negara dalam Hukum Ketatanegaraan***
*Praktisi hukum, pemerhati social, politik , budaya bangsanya, tinggal di Jakarta