Publik Enemy dalam Legal Autokrasi Hukum Dipandang dari Sudut  Perspektif Indonesia Negara Hukum  

by Nano Bethan
44 views
Opini

Oleh: Agus Widjajanto*

 Publik Enemy atau musuh publik pada setiap jaman dan setiap rezim kekuasaan selalu berubah, sesuai perubahan dinamika masyarakat dan fenomena jaman yang dihadapi penguasa dalam hal ini pemerintahan yang sah dalam sebuah negara yang berdaulat .

Pada saat jaman Pemerintahan Bung Karno yang disebut Publik Enemy atau musuh masyarakat adalah warga negara yang berkiblat dan meniru budaya asing, dan para sparatis dalam gerakan pemberontakan bersenjata yang ingin memisahkan diri dari negara kesatuan Republik Indonesia, hingga jaman itu selalu digelorakan semangat revolusi dan cinta tanah air dengan membangun karakter bangsa lewat jiwa ( Spirit ) pada setiap anak bangsa agar selalu ditanamkan tanah cinta tanah air.

Demikian juga saat pemerintahan berganti pasca peristiwa G 30 September 1965, yang disebut Publik Enemy atau musuh rakyat  adalah Penganut Partai Komunis Indonesia ( PKI ) hingga dilakukan gerakan untuk pengamalan sila – sila Pancasila lewat Eka Prasetya Panca Karsa, dimana yang berbau komunis selalu dijadikan sasaran musuh masyarakat.

Ketika Orde Reformasi yang mana dianggap pemerintahan sebelumnya adalah sebuah pemerintahan yang penuh KKN dan Korup yang harus diberantas, hingga pada jaman Reformasi yang merupakan jaman edan yang ora edan ora keduman ( Jaman penuh ketidak pastian jadi harus berlaku gila kalau tidak maka tidak dapat berkuasa ), yang disebut Publik Enemy atau musuh masyarakat adalah Korupsi.

Apapun dianggap korupsi, baik kerugian lost bisnis karena kondisi ekonomi dunia maupun adanya kesengajaan terjadi Mismanagement dianggap sebuah korupsi jadi apapun bentuknya yang merugikan distikma korupsi hingga perlu dibentuk Lembaga antirasuah dan berdiri berpuluh puluh LSM anti korupsi  yang kadang latah dan kebablasan dalam menerjemahkan korupsi hingga menabrak Hak Asasi Manusia itu sendiri terhadap warga negara.

Bahwa sedari awal negara ini dibentuk oleh para pendiri bangsa (Founding Fathers) kita, didesain sebagai sebuah negara yang berdasarkan atas hukum (Recht Staat), bukan berdasarkan atas kekuasaan (Macht staat). Hal itu tertuang dalam pembukaan Undang Undang Dasar Negara, serta kekuasaan kehakiman yang diatur dalam pasal khusus di dalam Kontitusi tertulis.

Ciri dari negara hukum adalah negara yang penyelenggaraannya didasarkan atas hukum. Dalam negara hukum segala tindakan penyelenggara negara harus didasarkan pada hukum yang berlaku, termasuk dalam kaitan penegakan hukumnya oleh aparat penegak hukum, yang berciri menjamin keadilan kepada warga negaranya, menghormati dan melindungi hak hak kemanusiaan, memiliki sistem hukum yang jelas, dan kekuasaan kehakiman yang bebas, hal ini termaktum dalam pasal 1 ayat ( 3 ) UUD 1945 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”, dengan konsep Rule of Law.

Sedangkan Negara Kekuasaan (Macht Staat) adalah sistem negara yang menjadikan kekuasaan individu, atau kelompok tertentu sebagai dasar rujukan negara, dimana kehendak penguasa lebih diutamakan  dari pada hukum itu sendiri, yang mengabaikan prinsip prinsip demokrasi dan keadilan sosial.

Melihat fenomena saat ini dalam berbangsa dan bernegara, dimana korupsi sudah terjadi secara masif, dan terstruktur, dan kita semua sepakat bahwa korupsi harus diberantas dan yang terbukti harus dihukum seberat beratnya jika perlu disita seluruh asetnya, sebagai syok terapi agar tidak terjadi korupsi. Namun pemberantasan korupsi juga harus menggunakan koridor aturan hukum yang ada yang sudah menjadi aturan hukum formil dan materiil, mengingat bahwa negara ini adalah negara hukum yang sudah disepakati bersama.

Prof. Romli Atmasasmita, dalam kolom opini nya di harian Sindo , tertanggal 10 Maret 2025,  tentang Keberadaan holding korporasi BUMN dalam bidang Industri jasa dan keuangan yang bernama “Danantara” dalam ulasannya, Beliau   menyoroti tentang tercapainya Good Governance (GG) dalam kaitan berdirinya Danantara, karena telah mengesampingkan ketentuan UU nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan negara yang merupakan payung hukum ketentuan peraturan perundang undangan di bidang keuangan, Undang Undang nomor 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara, dan UUD nomor 15 tahun 2006 tentang pengelolaan tanggung jawab keuangan negara.

Ketentuan yang dikesampingkan terdapat pula pada ketentuan pasal 4B yang menyatakan bahwa keuntungan dan kerugian BUMN bukan keuntungan dan kerugian Keuangan negara, sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1 bahwa kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah adalah keuangan negara. Begitu pula menyangkut tanggung jawab direksi, Komisaris dan pegawai BUMN yang telah dibahas diatas, telah dilakukan imunitas sesuai UU nomor 1 tahun 2025.

Bahwa penulis disini tidak akan masuk ranah pembahasan Danantara, akan tetapi implikasi dari direvis nya UU BUMN menyangkut hak imunitas dan kedudukan hukum anak usaha dan cucu usaha yang berbentuk perseroan terbatas, yang memang harus tunduk pada ketentuan UU perseroan terbatas, bukan merupakan kerugian keuangan negara.

Kondisi penegakan hukum oleh aparat penegak hukum dalam kaitannya menyangkut BUMN, anak usaha dan cucu usaha BUMN dalam kaitan Imunitas tanggung jawab direksi, Komisaris, dan pegawai BUMN agar bisa melaksanakan tugas dan tanggung jawab, dengan tenang tidak dihantui oleh terjeratnya hukum dalam tindak pidana korupsi. Banyak kasus telah ditangani oleh aparat penegak hukum, menyangkut BUMN baik anak usaha maupun cucu usaha, dimana Direksi dan komisaris serta pegawai BUMN telah diproses hukum, baik sebelum terjadinya revisi UU nomor 1 tahun 2025, maupun setelah disyahkan nya UU Nomor 1 tahun 2025.

Yang terjadi saat ini dalam praktek peradilan pidana khususnya tindak pidana korupsi telah menyimpang dari batas yang telah ditegaskan dalam ketentuan pasal 14 UU Tipikor yang menyatakan bahwa ketentuan UU Tipikor tidak dapat diberlakukan sepanjang pelanggaran pidana di dalam UU lain selain UU Tipikor tidak dinyatakan secara tegas bahwa pelanggaran pidana tersebut adalah tindak pidana korupsi,  kata Prof Romli.

Demikian juga telah ditegaskan didalam pasal 6 huruf C UU nomor 46  tahun 2009  tentang peradilan Tipikor yang intinya identik dengan ketentuan pasal 14 UU Tipikor. Penyimpangan penerapan UU Tipikor terjadi saat ini terhadap UU lain selain UU Tipikor, dan dinyatakan sebagai Tindak Pidana korups.

Seperti misalnya pelanggaran pidana umum dalam UU BUMN, UU pasar modal, UU lingkungan hidup, dan UUD Perbankan merupakan langkah yang gegabah dan keliru bahkan bisa dikatakan sebagai “Miscarriage of Justice” sehingga berdampak pada keamanan dan kenyamanan para pelaku bisnis khususnya penyelenggara negara. Kekeliruan ini akibat salah dalam penafsiran oleh Aparat Penegak Hukum, di negeri ini, yang hanya fokus pada temuan kerugian negara. Sesuai pasal 2 dan 3 dari UUD Tipikor, akan tetapi mengabaikan ketentuan pasal 14 UU Tipikor dan pasal 6 huruf C dari UUD pengadilan Tipikor, yang ditafsirkan perbuatan pelanggaran yang dapat dipidana sebagai Tindak pidana Korupsi, bukan pada ada tidak nya akibat kerugian keuangan  negara.

Lebih lanjut Prof Romly menyatakan bahwa Pembentuk UU Tipikor telah menyiapkan Escape Clause yaitu pasal 32 ayat ( 1 ) UU Tipikor .disitu dinyatakan jika penyidik tindak pidana khusus tidak menemukan bukti permulaan yang cukup adanya perbuatan pidana korupsi, sedangkan telah ditemukan kerugian keuangan negara, maka penyidik pidana khusus baik dari kepolisian maupun kejaksaan dan KPK, maka penyidik harus melimpahkan berkas perkara dan tersangka kepada jaksa pengacara negara untuk dilakukan upaya hukum gugatan Perdata.

Bahwa akibat dari salah tafsir dan kewenangan yang begitu besar diberikan kepada Aparat Penegak Hukum, yang banyak sekali kasus Yang sebenarnya dalam ranah keperdataan, dipaksa untuk diteruskan dalam Pidana Korupsi, masyarakat menilai bahwa ini sudah bukan lagi Negara Hukum yang mengacu pada aturan hukum, baik formil maupun materiil, akan tetapi merupakan negara yang berdasarkan kekuasaan lewat aparat penegak hukum.

Sementara itu , Guru Besar Tata negara dan administrasi negara dari UNPAD Bandung, Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, berpendapat, sebetulnya, bukan hanya escape clausul Pasal 32 ayat (1) Dari Undang Undang Tipikor sebagai pintu masuk Aparat Penegak Hukum untuk  mengajukan gugatan perdata (dalam kapasitasnya sebagai Jaksa Pengacara Negara, tetapi juga dapat dilakukan Tuntutan Ganti Rugi (TGR) dengan menggunakan Pasal 59 Undang Undang  Perbendaharaan Negara berdasarkan ketentuan Pasal 35 Undang Undang  tentang Keuangan Negaral. Jelas dan tegas dalam kedua ketentuan tersebut dinyatakan Tuntutan Ganti Rugi, bukan korupsi !!!

Namun praktek penegakkan hukum pemberantasan korupsi yang selama ini terjadi lebih disebabkan oleh mindset Aparat Penegak Hukum bahwa setiap kali (baru) ada dugaan kerugian negara serta merta telah terjadi Tindak pidana korupsi  (vide Ps 2 dan Ps 3 UU Tipikor).

Penulis kuatir hal ini merupakan sebuah kebijakan Publik Enemy atau musuh masyarakat yang terlanjur dan dicanangkan pada masa reformasi. Apapun namanya telah terjadi korupsi,  yang merupakan gerakan latah untuk sebuah stikma publik Enemy tadi. Fenomena terkini yang belum ditangani secara serius dan masih menjadi publik Enemy bagi masyarakat adalah maraknya praktek premanisme.

Premanisme di Indonesia merupakan praktik kekuasaan informal yang dilakukan oleh individu atau kelompok tertentu untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, kendali sosial, atau kekuasaan teritorial. Mereka beroperasi di wilayah abu-abu antara legal dan ilegal, sering kali menggunakan ancaman, kekerasan fisik atau verbal, intimidasi psikologis, dan relasi kuasa koersif.

Dampak Negatif Premanisme:

– Meningkatkan biaya ekonomi informal dan mengurangi margin keuntungan usaha kecil

– Mengganggu mekanisme pasar bebas dan menurunkan semangat kewirausahaan yang sehat

– Menurunkan minat investasi dan menghambat masuknya investasi asing langsung

– Merusak tata kelola ekonomi dan menciptakan korupsi struktural di tingkat bawah

– Menurunkan produktivitas tenaga kerja dan meningkatkan stress kerja

Faktor Penyebab Premanisme:

– Kelemahan penegakan hukum dan keamanan

– Tingginya pengangguran dan kemiskinan

– Korupsi dan kolusi antara oknum pejabat atau aparat hukum dengan preman yang telah menjadi organisasi legal .

Masyarakat hanya menginginkan hidup nyaman tentram dan rasa aman baik di jalan maupun di tempat kerja serta dirumah sendiri. Yang saat ini sangat mahal untuk dicapai.

Fenomena penegakan hukum khususnya memerangi korupsi yang dianggap sebagai Publik Enemy dalam negara dan masyarakat harus juga mengacu pada aturan norma hukum yang berlaku, jangan sampai timbul stigma terjadi Legal Autokrasi dalam kekuasaan penegakan hukum di negara hukum.

Istilah “Legal Autokrasi Kekuasaan dalam penegakan hukum” dapat merujuk pada sistem pemerintahan atau struktur kekuasaan di mana kekuasaan dan otoritas diberikan kepada individu atau kelompok tertentu berdasarkan hukum atau norma yang berlaku akan tetapi justru  menabrak atas aturan hukum yang berlaku.

Dalam konteks ini, “Legal Autokrasi Kekuasaan hukum ” dapat diartikan sebagai berikut:

– Sistem Pemerintahan: Sistem pemerintahan di mana kekuasaan dan otoritas diberikan kepada individu atau kelompok tertentu berdasarkan hukum atau norma yang berlaku.

– Kekuasaan yang Legitim: Kekuasaan yang diberikan kepada individu atau kelompok tertentu berdasarkan hukum atau norma yang berlaku, sehingga kekuasaan tersebut dianggap legitim dan sah.

– Struktur Kekuasaan: Struktur kekuasaan yang terdiri dari individu atau kelompok tertentu yang memiliki kekuasaan dan otoritas untuk membuat keputusan dan mengatur masyarakat

Untuk itu mari kita secara bersama untuk melindungi hak asasi manusia yang telah diatur dalam kontitusi tertulis kita dimana setiap warga negara bersamaan kedudukan nya didalam hukum, harus di tegakan aturan hukum sesuai koridor hukum yang berlaku secara adil, agar negeri ini layak disebut sebagai Negara hukum , bukan negara berdasarkan kekuasaan lewat penegakan hukum.

Ciptakan kondisi aman tentram agar masyarakat merasa terlindungi dari bentuk bentuk premanisme yang sudah berurat berakar di Masa kini pasca Reformasi yang sebenarnya diharapkan lebih baik dari kondisi masa sebelum nya, kondisi  peradilan yang adil dan beradab, bukan karena kepastian hukum yang jadi tujuannya akan tetapi muara akhir dari pada proses peradilan adalah keadilan itu sendiri. Keadilan Subtansif yang benar benar adil dirasakan masyarakat**

*Praktisi hukum, pemerhati masalah hukum, politik, sosial budaya , tinggal di Jakarta 

Berita Terkait