Ipung Tegaskan Kejahatan Seksual Anak Di Bawah Umur Tidak Bisa Dianggap Suka sama Suka

by Igo Kleden
436 views

DENPASAR, DICTUM – Tim kuasa hukum pelaku kejahatan seksual berinisial FS yang  merupakan seorang WN Jepang yang saat ini masih berstatus pelajar di sebuah sekolah internasional di Bali mengatakan persetubuhan anak di bawah umur atas dasar suka sama suka mendapat sorotan dari aktivis perempuan dan anak Bali, Siti Sapurah.

Siti Sapurah yang akrab disapa Ipung ini  mengatakan jika pernyataan pengacara tersangka yang mengatakan bahwa persetubuhan anak di bawah umur atas dasar suka sama suka adalah sangat tidak benar dan cenderung membodohi dan menyesatkan masyarakat.

“Saya ingin menanggapi apa yang dikatakan atau statement dari kuasa hukum terdakwa asal Jepang. Ini sangat disayangkan bahwa persetubuhan anak di bawah umur atau kejahatan seksual anak di bawa umur disebut suka sama suka. Saya sangat menyayangkan hal tersebut. Kita ini sama-sama belajar hukum, punya latar belakang yang sama seorang sarjana hukum, tentu kitab sucinya pun kita sama yakni UU Perlindungan Anak, KUHP. Kenapa pengacara terdakwa asal Jepang berbeda. Apa apa? Jangan karena dia orang Jepang lalu bisa menindas atau seenaknya berbuat kejahatan seksual di Indonesia, korbannya anak Indonesia, lalu dibilang suka sama suka,” tegas Ipung, Minggu (4/12/2022).

Ia meminta agar kuasa hukum terdakwa kembali melihat isi UU di Indonesia. Dalam kasus kejahatan seksual terhadap anak dan apa yang tercantum di dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016, perubahan kedua dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 berangkat dari Perpu Nomor 1 Tahun 2016 yaitu penetapan perubahan pengganti undang-undang yang khusus mengatur tentang apa yang terdapat atau yang diatur di dalam pasal 81 dan 82. Pasal 81 tentang persetubuhan anak di bawah umur. Pasal 82 tentang perbuatan pencabulan terhadap anak dibawah umur yang tergolong kasus kejahatan seksual.

“Dan kasus kejahatan seksual terhadap anak tahun 2016 dicetuskan oleh Bapak Presiden Joko Widodo yang mengatakan kejahatan seksual terhadap anak adalah perbuatan kejahatan yang luar biasa yang harus diselesaikan dengan cara-cara luar biasa. Artinya, dalam kasus-kasus kejahatan seksual terhadap anak tidak ada istilah suka sama suka. Barang siapa (pelaku) mengajak, membiarkan orang yang diajak untuk melakukan perbuatan persetubuhan dengan tipu muslihat, dengan bujuk rayuan. Inilah unsurnya,” ujarnya.

Ipung menjelaskan, dalam kasus kejahatan seksual yang dilakukan FS asal Jepang tersebut, semua unsur itu ada. Pertama, dia mengajak korban ke sebuah tempat, kemudian mencekoki korban dengan minuman beralkohol sampai korban mabuk. Setelah korban yang masih di bawah umur ini mabuk, kemudian diajak ke toilet wanita untuk dilakukan hubungan seksual.

“Bahkan terdakwa sudah menyiapkan kondom yang akan dipakai untuk berhubungan seks dengan korban yang masih di bawah umur. Korban dalam kondisi mabuk dipaksa ke toilet wanita. Apakah ini yang disebut suka sama suka,” ujarnya.

Seharusnya sebagai penegak hukum, harus mengetahui juga rekam jejak terdakwa asal Jepang tersebut. Sebab sebelumnya, terdakwa melakukan hal yang sama di sebuah sekolah internasional di wilayah Denpasar Selatan. Kemudian terdakwa dikeluarkan dari sekolah. Setelah terdakwa bersekolah di sekolah yang baru saat ini, perbuatan yang sama juga dilakukan. Bahkan dengan enteng terdakwa menjelaskan bahwa perbuatan itu sudah biasa dilakukan dan tidak ada masalah dengan hukum di Indonesia.

“Mungkin di Jepang hal seperti ini sudah biasa. Tetapi tidak di Indonesia. Terdakwa mengaku sudah sering melakukan dan tidak ditangkap polisi. Saya minta kuasa hukum terdakwa agar belahlah warga Indonesia dengan benar, pakailah hukum di Indonesia,” ujarnya.

Seharusnya dalam kasus ini, polisi atau jaksa harus paham bahwa kejahatan seksual oleh terdakwa bukan yang pertama, tetapi sudah berulangkali. Pasal yang dipasang oleh polisi atau jaksa adalah pasal 76 d, Jo pasal 81 ayat 5. Sebab korbannya lebih dari satu dan semuanya anak dibawah umur karena para korban adalah teman kelasnya atau adik kelasnya. Itu pun yang diketahui. Ancamannya adalah minimal 10 tahun dan maksimal 20 tahun. Itulah sebabnya kasus ini tidak bisa dilakukan perdamaian atau diversi. Diversi bisa dilakukan jika ancaman hukuman 7 tahun atau di bawah 7 tahun dan terdakwa masih di bawah umur. Terdakwa harus ditahan karena merujuk pada UU No 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan anak. Disana dikatakan bahwa jika anak atau terdakwa sudah berusia 14 tahun plus satu hari sampai 18 tahun maka harus dilakukan penahanan badan. Artinya penjara fisik.

“Tidak ada bahasa mengajukan penangguhan penahanan sebab tidak ada yang bisa menjamin bahwa terdakwa tidak melakukan perbuatan yang sama,” ujarnya. Soal pendidikan, tidak ada masalah. Terdakwa tetap menyelesaikan pendidikan. Ini sudah diatur Lapas dimana dia dipenjara.***

Berita Terkait