Meletusnya Perang Paragreg, Refleksi Sejarah Bangsa Kedepan

by Nano Bethan
402 views

Oleh Agus Widjajanto

 

Kita harus Belajar dari sejarah atas perang Paregrek, dimana menjadi pembelajaran kita dalam mengambil kebijakan dalam politik hukum, agar peristiwa tersebut tidak terulang lagi dimasa kini.

Situasi Geo Politik dan Geo Strategis asia tenggara saat ini, diantaranya terjadi klaim tumpang tindih (nine dase line)  atas Zona Ekonomi Exlusif di laut Natuna atau Laut China Selatan, adu pengaruh antara China dan Amerika beserta Aukus nya, memanasnya Pulau Taiwan, sangat relevan dan menarik untuk belajar sejarah dari meletusnya perang Paragreg sebagai pemicu runtuhnya Imperium Majapahit pada medio tahun 1400 Masehi. Apalagi kondisi wilayah  kita yang sebenarnya telah dikepung oleh pangkalan pangkalan militer dari Negara  Adidaya.

Tertulis dalam sejarah,  Raja terbesar dari kerajaan Majapahit,  Hayam Wuruk membawa Majapahit mencapai masa kejayaan  dengan menguasai Nusantara yang mana mencapai sebagian wilayah Asiat Tenggara.

Saat itu Maha Patih Gajah Mada Atau Perdana Menteri dari Raja  Hayam Wuruk dengan Sumpah Amukti Palapa  dengan armada Angkatan Laut di terbesar dan terkuat di Asia Tenggara mampu mempersatukan seluruh Nusantara dalam kekuasaan Kerajaan Majapahit. Setelah kekuasaan Hayam Wuruk, Majapahit mengalami perpecahan akibat terjadinya perebutan kekuasaan di lingkungan kerajaan saat itu, yang dikenal dalam sejarah dengan Perang Paragreg .

Perpecahan Majapahit , setelah wafatnya Hayam Wuruk, ditulis dalam kitab Pararaton, Majapahit terbelah menjadi dua yakni wilayah Barat dan wilayah Timur.  Bre Wirabumi  memimpin Majapahit di sisi Timur, seusai perang Paragreg. Dikutip dari ” Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Leluhur Majapahit ”  Raja Hayam Wuruk mempunyai dua orang saudara perempuan yakni, Bre Lasem yang kawin dengan Raden Larang dari Metahun, dan Bre Panjang yang kemudian kawin dengan Raden Sumana yang bergelar Bre Paguhan. Perkawinan Bre Lasem dengan Bre pajang tidak melahirkan keturunan .

Kakawin Negara Kertagama juga menyinggung dua adik perempuan Dyah Hayam Wuruk tersebut yakni Bre Lasem dan Bre Pajang, dimana dalam kakawin Negara Kertagama mencatat lebih jelas, bahwa Bre Lasem sebenarnya adalah anak putri Daha. Lahir dari perkawinan Bre Daha Dyah Wiyat Sri Rahadewi Maharajasa  dengan Bre Wengker Hyang Parameswara yang bergelar WijayaRajasa.

Jadi sebenarnya,  Bre Lasem adalah saudara sepupu dari Raja Dyah Hayam Wuruk. Bre Lasem bernama Rajasa duhitendu Dewi dia adalah putri tunggal Bre Daha yang berhak menggantikan ibunya Dyah Wiyat Sri Rahadewi   sebagai Bre Daha. Sedang kan  Bre Pajang kawin dengan Sri Singawardana dari Paguhan .

Uraian  Empu Prapanca, pengarang kitab Nagara Kertagama yang hidup pada saat zaman Raja Dyah Hayam Wuruk lebih bisa diterima dan dipercaya dari pada uraian Pararaton. Namun pada hakekatnya, uraian Nagara Kertagama dan Pararaton banyak hal saling melengkapi satu dengan yang lain.

Menurut catatan dalam Pararaton dari perkawinan Bre Pajang dan Singawardana dari Paguhan lahir Raden Gagak Sali alias Aji Wikrama atau Wikrama Wardhana yang bergelar Bre Mataram . Sementara dalam Negara Kertagama, Bre Lasem kawin dengan Bre Wrabhumi  putra dari Dyah Hayam Wuruk dari selir ( Binihaji ) , sedang kan Bre Kahuripan yang kemudian kawin dengan Raden Sumirat alias Bre pandan alas .

Pararaton menyatakan bahwa Bre Wirabumi diakui putra oleh Bre Daha. Yang dimaksud  dengan Bre Daha bukan Dyah Wiyat Sri Rahadewi bibik Dari Dyah Hayam Wuruk. Dyah Wiyat hidup dua generasi lebih tua. Akan tetapi Rajasa Duhitandu Dewi, perkawinannya dengan Bre Matahun tidak membuahkan keturunan. Dyah Wiyat Sri Rahadewi wafat pada tahun 1371 dan dibuatkan candi di Adilangu. Nama candinya Bukit purwawisesa. Sepeninggal Bre Daha Dyah Wiyat Sri Rahadewi tersebut,  Rajasa Duhitendu Dewi berpindah dari Lasem ke Daha. Perpindahan tersebut ia bergelar Bre Daha. Rajasa Duhitundudewi ialah putri tunggal yang berhak menguasai tahta kerajaan Daha .

Pada waktu itu ayahnya Sri Wijaya Rajasa yang bergelar Bre Pamotan Hyang Parameswara masih hidup , dan menguasai Kerajaan Timur yang ber ibukota di Pamotan.  Bre Pamotan Hyang Parameswara wafat pada tahun 1338 M. Satu – satunya pewaris Kerajaan Timur ialah Bre Daha RajasaDuhitundadewi, ibu angkat dari Bre Wirabumi .

Sejak tahun 1388 M, Rajasa Duhitendu Dewi berpindah dari Daha ke Pamotan , sedangkan Bre Wirabumi secara resmi menjadi Bre Daha. Dalam berita dari Pengembara Tiongkok disebutkan Bre Wirabhumi itu disebut Put Ling Ta dari putri Daha atau Bre Daha .

Berkat pengangkatannya sebagai putra Bre Daha, Bre Wirabhumi berhak mewarisi kerajaan majapahit sebelah timur , yang sejak tahun 1388 dikuasai Bre Daha Rajasa Duhitndu Dewi .

Tidak mengherankan jika pada tahun 1403 berita China itu menyebut Bre Wirabhumi yang sejak tahun 1388 menjadi Bre Daha, penguasa kerajaan Timur . Bre Daha ( Put Ling Ta Ha ) pada tahun itu mengirim utusan ke negeri China untuk meminta pengakuan dari kaisar Yunglo. Dari situlah Bre Wirabhumi dapat menjadi penguasa Timur yang telah dirintis oleh Hyang Parameswara Wijaya Rajasa sejak tahun 1377.

Bahwa kekuasaan Majapahit mengalami kemunduran dan pecah menjadi dua wilayah disebabkan oleh tidak adanya  Raja yang disegani dan berwibawa saat itu  dan akibat Perdana Menteri sekaliber Gajah Mada untuk membantu pemerintahan yang ada. Sehingga ketika terjadi perang Paragreg atau perang saudara  yang terjadi adalah aling  mengklaim lebih berhak dan berkuasa. Ini karena tidak adanya keturunan dari Hayam Wuruk saat itu.

Sejarah mencatat, meletusnya perang Paregrek dalam kekuasaan internal Majapahit diduga kuat akibat dari pengakuan kedaulatan dari Dinasti Tiongkok saat itu pada medio tahun 1400 Masehi oleh kaisar Yung Lo dari Dinasti Ming. Dinasti dari Tiongkok itu  memberikan stempel berlapis emas sebagai pengakuan resmi kedaulatan atas Istana Majapahit Timur. Utusan Tiongkok saat itu dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho.

Saat itu dikatakan bahwa pada tahun 1405 M , Laksamana Cheng Ho berkunjung ke Bre Wirabumi di Istana Majapahit Timur. Atas atas dasar pengakuan kedaulatan sepihak itulah maka, Istana Majapahit Barat yang Rajanya Bhre Wirakrama Wardhana  tidak terima dan menyerbu satu tahun kemudian sejak Laksamana Cheng Ho berkunjung. Tarikh yang ditulis oleh utusan China Tiongkok sama dengan yang tertulis dalam pararathon. Dan peristiwa perang Saudara yang dikenal dengan perang Paregrek itulah menjadi pemicu runtuhnya kekuasaan Majapahit dikemudian hari.

Maka jangan sekali kali melupakan sejarah Bangsa, Kita harus Belajar dari sejarah atas perang Paregrek, dimana menjadi pembelajaran kita dalam mengambil kebijakan dalam politik hukum, agar peristiwa tersebut tidak terulang lagi dimasa kini.

Kebesaran suatu Bangsa akan mengalami siklus naik turunnya kekuasaan berdasarkan Tjokro manggilingan atau siklus tiga ratusan tahunan. Majapahit yang didirikan oleh Raden Wijaya Kertarajasa   juga mengalami hal sama.

Demikian kekuasaan Dari Imperium Imperium besar di belahan Bumi lainnya. Kita berdoa semoga Tuhan yang Esa  akan memberikan siklus tersebut kepada Negeri tercinta Indonesia ini  untuk melahirkan pemimpin yang besar yang akan membawa kejayaan dan dihormati dunia internasional  menuju masyarakat Adil makmur,  gemah Ripah loh jinawe, Toto tentrem Kerto Rahardjo,  Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangraw  ****

 

September 2023

Penulis adalah Praktisi Hukum dan  penulis  sejarah budaya bangsa ini

Berita Terkait