JAKARTA, TABLOIDDICTUM.COM – Reformasi birokrasi dalam rangka good governance merupakan jalan dan upaya mencapai negara dalam kondisi stabil, tranparance, untuk mencapai cita-cita nasional sesuai amanat konstitusi dalam UUD 1945, 18 Agustus 1945.
Menurut praktisi hukum senior Agus Widjajanto, gerakan reformasi yang dilakukan oleh para elit politik dan mahasiswa yang bertujuan menumbangkan Pemerintahan Orde Baru menurutnya telah gagal mengemban dan melaksanakan amanah Rakyat. “Setelah Pemerintah Orde Baru tumbang, ternyata hingga hari ini arah dan tujuan reformasi itu sendiri masih kabur, bahkan telah kehilangan momentum,” tegas Agus Widjajanto kepada wartawan, Senin, 30 Oktober 2023.
Menurut pengacara yang juga penulis sosial politik budaya ini, kekacauan di berbagai bidang, baik politik, hukum, ekonomi, dan sosial budaya selalu terjadi berulang. Momentum atau kesempatan emas untuk memperbaiki sistem ketatanegaraan, maupun secara administrasi negara guna menghindari terjadinya kekacauan agar tidak terus berulang justru tidak bisa berbuat banyak.
Dicontohkan, krisis kepercayaan terhadap lembaga penegak hukum karena putusan pengadilan yang dianggap aneh, penyidikan yang sebetulnya masuk ranah keperdataan, bebasnya hakim agung dalam kasus KPK. Putusan tingkat kasasi hukuman mati menjadi seumur hidup terhadap Ferdy Sambo dan pengurangan setengah hukuman terhadap istrinya, Putri Candrawati. Begitu juga Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dinilai pihak-pihak tertentu hanya pencitraan lembaga Rasuah pemberantasan korupsi hingga puluhan kasus-kasus lainnya.
Putusan Mahkamah Kontitusi (MK) sebagai lembaga tinggi peradilan yang seharusnya menjaga demokrasi dan menjaga kontitusi, justru melakukan putusan yang menjebak dirinya sendiri. Putusan MK yang mengabulkan permohonan batas usia Capres dan Cawapres yang diajukan oleh mahasiswa di Solo, dengan mengabulkan permohonan batas usia minimum dibawah 40 tahun dengan frasa pernah menduduki jabatan, Walikota, Bupati dan Gubernur.
“Mahkamah kontitusi telah melampaui wewenang yang sebenarnya merupakan wewenang badan legislasi. Menentukan open legal police dalam batas usia capres cawapres, istilah hukumnya, Ultra Vires. Masuk dalam pusaran politik praktis, menjadi preseden buruk bagi Mahkalah Kontitusi kedepan,” tegas Agus Widjajanto.
Menurutnya, putusan tersebut mencederai keadilan masyarakat, dalam kaitan kedudukan seluruh warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum. Dikatakan, kondisi penegakan hukum, baik pidana, perdata, tata usaha negara pada semua strata peradilan maupun di MK dalam Judicial Revieu, sudah lampu merah. “Perlu adanya terobosan mengembalikan jati diri penegakan hukum sebagaimana diamanatkan oleh kontitusi dalam kekuasaan kehakiman dan keadilan bagi seluruh rakyat, sesuai sila Kelima Pancasila,” katanya.
Agus Widjajanto menegaskan bahwa, hampir semua lini penegakan hukum berubah menjadi Firma bisnis, memperjual belikan keadilan. “Sepertinya, sebagai wakil, negara dan wakil Tuhan untuk menegakan kebenaran dan keadilan, pemidanaan saja belum cukup, harus ada perubahan mental spiritual dan kesadaran bahwa para penegak hukum sejatinya melayani bukan dilayani,” lanjutnya.
Sistem yang dibangun dan yang ada saat ini menurut nya , memberi ruang atau peluang terjadinya korupsi. “Dibutuhkan dana karena cost atau pengeluaran sangat tinggi, baik di politik maupun dalam mencari keadilan,” ungkapnya.
Dikatakan, Menkopolhukam Mahfud MD dalam acara ILC pada 11 februari 2020 mengatakan, sistem peradilan ditengarai oleh sudah menjadi industri hukum yang mengejar profit. Disamping karena faktor pola hidup konsumtif dan rendahnya moral, juga aturan perundangan yang kebetulan sangat mendukung untuk celah tersebut .
Dikatakan Agus Widjajanto, dalam perundang – undangan yang berlaku, Pasal 4 Undang – Undang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi menyatakan, pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud pasal 2 dan 3.
“Konsekwensi hukum kausalitas dari pasal diatas, para pelaku tindak kejahatan korupsi , lebih baik menjalani hukuman dalam peradilan pidana dari pada melakukan pengembalian kerugian negara, sesuai unsur delik dalam tindak pidana korupsi”, bebernya.
Dengan demikian, penindakan dan pencegahan tindak pidana korupsi tetap menjadi slogan lembaga anti korupsi karena aturan mainya juga ambifalent. “Justru sering disalah gunakan oleh para penegak hukum untuk melakukan pemerasan terselubung terhadap para koruptor, yang tidak lagi berorientasi pengembalian kerugian negara yang harus diterima negara,” lanjut Agus Widjajanto.
Ditegaskan, reformasi seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki diri bukan terus berulang terjadi kesalahan, yang menunjukan kebrobrokan mental aparat hukum itu sendiri. “Belum pernah terjadi krisis multidimensi seperti saat ini saat Orde Baru berkuasa,” katanya.
Krisis multidemensi yang berlarut-larut menurutnya, menyerupai lingkaran setan atau vicious crises. Krisis yang berlangsung dalam kurun waktu begitu panjang dan dimensinya saling berkaitan ini tidak mudah ditentukan ujung pangkalnya. Lingkaran setan ini mencakup hampir seluruh dimensi kehidupan bangsa, bahkan mencapai tingkat yang paling mengerikan yakni terjadinya krisis kemanusiaan.
Dirinci Agus Widjajanto, ada beberapa krisis antara lain, krisis moral dan etika atau etichal crisis, yang terjadi di lingkungan para elit politik, pejabat, maupun informal dimana para ilmuwan, budayawan tidak berani menyuarakan kebenaran justru melakukan pembenaran atas krisis tersebut sehingga berakibat terjadinya krisis hukum. Melahirkan para penegak hukum yang hanya berorientasi bisnis, dimana law enforcement tidak jalan yang menimbulkan efek serius bagi bangsa.
Kondisi negeri ini yang sangat lemah fondasi ekonomi yang ditopang dengan hutang luar negeri yang merupakan dampak dari krisis moral dan etika serta krisis hukum maka berakibat terjadi krisis moneter an berujung pada krisis ekonomi.
“Tidak ada rasa percaya antar elite, paling parah sasarannya adalah pemerintah, menimbulkan krisis kepercayaan antar elite dan juga antar masyarakat yang akan berdampak terjadinya krisis politik,” lanjutnya. Krisis multidimensi tersebut maka akan berakibat terjadinya krisis Kemanusiaan, Dimana bisa terjadi bentrokan fisik akibat krisis politik dan krisis lainnya.
Agus Widjajanto menilai, krisis-krisis tersebut terjadi akibat negara terlampau terburu-buru dalam menyikapi masalah dan juga korban permainan antar elit bangsa didukung kontra inteljen asing yang tidak ingin Bangsa ini maju. Reformasi dianggap bisa merubah keadaan lebih baik seperti membalik telapak tangan. Ekspektasi yang terlampau tinggi seolah setelah tumbangnya Orde Baru semuanya akan lebih baik.
Mengubah dan melakukan amandemen UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945 hingga beberapa kali yang berakibat berubahnya sistem ketatanegaraan yang justru menimbulkan krisis baru berupa krisis multi dimensi. “Ibarat tertidur panjang, maka mari bangunlah dari mimpi, kita kembalikan pada sistem demokrasi dan moral bangsa kita sendiri agar tidak lagi kehilangan Ruh jati diri bangsa Indonesia,” pungkas Agus Widjajanto. NAN