Jaksa Sayangkan, Tim PH dan Terdakwa Prof. Antara Abaikan Argumentasi Yuridis, Bangun Opini dan Tabuh Genderang Perang

by Nano Bethan
94 views

DENPASAR, TABLOIDDICTUM.COM – Sidang korupsi pungli dan penyimpangan pengelolaan dana Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) penerimaan mahasiswa baru seleksi jalur mandiri Universitas Udayana (Unud) tahun akademik 2018/2019 sampai 2022/2023 dengan terdakwa, Prof. Dr. Ir. I Nyoman Gde Antara, M.Eng. IPU kembali digelar, Kamis, 9 Nopember 2023 di Pengadilan Tipikor Denpasar.

Agenda sidang dengan ketua majelis hakim yang diketuai, Agus Akhyudi adalah tanggapan Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Bali atas eksepsi atau sanggahan terdakwa dan tim kuasa hukum atas dakwaan Penuntut Umum.

Mengawali pendapatnya, tim JPU menyentil  terdakwa Prof. Antara dan tim kuasa hukum yang dikoordinir, Hotman Paris Hutapea. “Sangat disayangkan, terdakwa dan tim penasihat hukum tidak memanfaatkan kesempatan yang diberikan dengan membuat suatu argumentasi yuridis untuk menunjukkan keberatannya terhadap dakwaan Penuntut Umum,” ungkap jaksa.

Lebih lanjut dikatakan, terdakwa justru membangun suatu opini subyektif dan meniup terompet sangkakala serta menabuh genderang perang yang ditujukan kepada sesama civitas akademika Universitas Udayana.

Baca juga: PNBP di Peroleh dari Kegiatan Legal, Hanya Berdasar  SK Rektor SPI Unud Tidak Sah

Menurut jaksa, terdakwa Prof. Antara, yang baru saja dilepas jabatannya sebagai Rektor Unud, dengan sinisme telah mensinyalemen sesama civitas akademika berambisius menjadi orang nomor satu di Unud dan telah berperan besar ikut melakukan rekayasa “kasus” dan menggiring agar dirinya ditahan dan diadili.

“Terdakwa telah menggiring perkara yang sedang didakwakan kepadanya ke ranah perebutan kekuasaan dengan mendiskreditkan koleganya sendiri yang dinilai memiliki ambisi besar untuk merebut jabatan Rektor Universitas Udayana sebelum waktunya,” lanjut Penuntut Umum.

Alasannya, apabila menunggu sampai tahun 2025 maka “para ambisius” tersebut terbentur persyaratan batas umur maksimal 60 tahun. “Sangat disayangkan, penilaian subyektif terdakwa tersebut ditujukan kepada orang-orang yang seharusnya menjadi harapan dan tumpuan untuk memberikan dukungan positif dalam menghadapi perkara yang menimpanya,” sentil jaksa.

Jaksa menilai, terdakwa dan Tim Penasihat Hukum, Hotman Paris Hutapea, Erwin Siregar, dkk telah membangun suatu opini sesat yang didasarkan atas penilaian subyektif terdakwa. “Berupaya untuk membangun dukungan masyarakat umum bahwa terdakwa adalah korban dari tekanan dan perebutan kekuasaan,” tegas jaksa.

Baca juga : Tersangka Lain, Menunggu “Nyanyian” Prof. Antara di Persidangan

Dikatakan, opini yang tidak mendasar tersebut tidak hanya dituangkan dan disampaikan diruang persidangan tetapi juga di dunia maya. “Menimbulkan kegaduhan dan biasnya substansi permasalahan yang dihadapi terdakwa Prof. Gde Antara,” lanjut jaksa.

Pendapat jaksa menohok dengan mengatakan, perbedaan sudut pandang yang terjadi antara Penuntut Umum dengan terdakwa maupun tim penasihat hukum, seharusnya dikemukakan dalam forum persidangan bukan membentuk opini tak berkesudahan di media sosial.

“Untuk meluruskan opini yang sedang dibangun tim penasihat hukum terdakwa, maka sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk mengungkap, bertindak dan menyuarakan kebenaran demi memperoleh kebenaran materiil dalam perkara ini,” papar Penuntut Umum.

Jaksa mengutip ungkapan mantan Kaisar Etiopia Haile Selassie, “Sepanjang sejarah, yang membuat kejahatan bisa menang adalah karena orang yang bisa bertindak tak mau bertindak, orang yang tahu masalah berdiam diri dan orang yang bisa menyuarakan keadilan tak mau bersuara”.

Dalam eksepsi, terdakwa dan tim penasihat hukum mengatakan, surat dakwaan yang disusun oleh JPU tidak jelas, tidak cermat dan tidak lengkap serta tidak menguraikan dalam kapasitas terdakwa. Terdakwa juga mengatakan tidak melakukan tindak pidana korupsi.

Jaksa Dr. Dino Kriesmiardi  membantah dengan merujuk konsideran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas.

“Tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa dan harus dilakukan dengan cara yang khusus,” tegas jaksa  Dino Kriesmiardi.

Baca juga : Agus Widjajanto : Putusan Ambivalen, MK Tak Konsisten Jaga Konstitusi dan Demokrasi

Dikatakan, perkara SPI adalah suatu perbuatan yang sistematis, terorganisir, merugikan keuangan negara dan telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas.  Penyelesaian perkara SPI   sudah tepat dilakukan melalui instrument pengadilan tindak pidana korupsi.

Terkait tidak adanya keuntungan yang dinikmati oleh terdakwa dan kerugian negara, jaksa berpendapat  tidak tepat dijadikan alasan dalam eksepsi tim penasihat hukum.  “Menurut pendapat kami hal tersebut telah masuk dalam ranah pembuktian materi pokok perkara,” katanya.

Tim Penuntut Umum meminta hakim untuk menolak dan menyatakan tidak dapat diterima keberatan terdakwa dan  tim penasihat hukum dan  menyatakan surat dakwaan JPU No. Reg. Perkara : PDS-04/N.1.18/FT.1/10/2023  tanggal 12 Oktober 2023 adalah sah dan telah disusun secara cermat, jelas dan lengkap serta memenuhi syarat formil dan materiil dan melanjutkan pemeriksaan perkara terdakwa Prof. Antara.

“Menyatakan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Denpasar berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi atas nama Terdakwa  Prof.Dr. Ir. I Nyoman Gde Antara, M.Eng, IPU,” pungkas Dino Kriesmiardi.  NAN

Berita Terkait