Falsafah Jawa Suro Diro Joyoningrat Lebur Dening Pangastuti dalam Perspektif Politik Nasional

by Nano Bethan
216 views
Opini Agus Widjajanto

Oleh.  : Agus Widjajanto

Dengan sifat angkuh, sombong  dan angkara murka  maka bisa dipastikan hidup tidak dalam keberkahan  tapi dalam kegelapan.  Sebaliknya, dengan sifat kelembutan, penuh bijak dan kasih terhadap sesama maka tidak hanya memahami makna dogma dalam ajaran agama tapi sekaligus memahami atas hakekat kita sebagai manusia yang diturunkan dan dilahirkan  di dunia ini

TABLOIDDICTUM.COM – Berdasarkan catatan sejarah dan kepustakaan sastrawi Jawa, falsafah Jawa “Suro Diro Joyoningrat Lebur  Dening Pangastuti” merupakan inspirasi dan motivasi untuk mencapai keberhasilan melalui serat “Pupuh Kinanthi” dalam serat Witaradnya.

Falsafah ini ditulis pujangga penutup Keraton Kasunan Surakarta, Raden Ngabehi Ronggo Warsito yang hidup pada tahun 1802 hingga 1873 Masehi. Raden Ngabehi Ronggo Warsito adalah penganut manunggaling kawulo gusti (Serat Wirid hadayat jati).

Isi dari Pupuh Kinanthi, mengisahkan tentang Raden Citrasoma, putra mahkota Negara Witaradya yaitu anak dari Prabu Aji Pasoma. Inti dari dari Pupuh Kinanthi tersebut adalah: Jagra angkara Winangan, Sudiro Marjayeng Westhi, Puwara kasub Kawasan, Sastraning Jro Wedha Muni, Suro Diro joyoningrat, Lebur Dening Pangastuti.

Terjemahannya kurang lebih, kalimat pertama sampai ke tiga mengisahkan tentang seseorang yang karena keberanian serta kesaktiannya yang tidak terkalahkan, sehingga didalam hatinya muncul sifat sombong (Syrikofi), angkuh, keras hati, angkara murka.

Sementara kalimat  ke empat hingga ke enam menjelaskan, berdasarkan kitab – kitab yang berisi ilmu pengetahuan  dalam dimensi Jawa kitab Sastro Jendro Hayuningrat, mengajarkan tentang kesempurnaan hidup dan ajaran luhur para leluhur bangsa,  ajaran dogma dari  agama apapun, sifat sombong angkuh, congkak, karena merasa sakti tidak terkalahkan, dapat hancur lebur jika dilawan atau menghadapi seseorang dalam situasi dan kondisi dengan sifat lembut, kasih, kebijaksanaan  dan kesabaran. Dalam Alquranul Kharim sesuai surah Albaqoroh ayat 45, menyatakan jadikanlah sabar dan sholat (doa) sebagai penolongmu.

Baca juga: Sejarah Mataram Kuno, Perang Saudara Menyangkut Agama, Renungan dan Refleksi Indonesia ke Depan

Makna falsafah Jawa yang diambil dari ajaran kisah pewayangan yang ditulis pujangga penutup tersebut, mengajak setiap orang untuk menyadari bahwa segala bentuk sikap sombong, angkara murka, dan kezaliman manusia terhadap manusia maupun alam semesta, merupakan bagian dari Sunatullah (hukum alam), Memayu Hayuning Bawono (menciptakan keselarasan Dunia dimana kita tinggal) akan musnah oleh sifat kebenaran dan kebijaksanaan dengan kelembutan penuh kasih.

Falsafah Jawa ini mengajarkan manusia untuk mengendalikan diri agar tidak reaktif terhadap provokasi pada masa Reformasi saat ini yang mana kebebasan berbicara dan menyampaikan pendapat diatur oleh Undang undang, yang merupakan bagian dari hak asasi manusia.

Hidup ini sesungguhnya tidak hanya punya hak tetapi juga punya kewajiban, yaitu Dharma. Kewajiban sebagai anak bangsa, hamba Tuhan dan kewajiban untuk menyelaraskan kehidupan sekitar, baik lingkup kecil dalam rumah tangga, lingkungan RT dan RW, hingga lingkup luas dalam tatanan berbangsa dan bernegara dalam lingkup Nasional.

Falsafah Suro Diro Joyoningrat Lebur Dening Pangastuti  sebagai motivasi kehidupan agar hidup bisa stabil dan sukses,  yakni mencapai  keberhasilan yang penuh berkat, bukan keberhasilan yang angkara. Secara harfiah  bermakna sangat dalam , bukan hanya untuk hubungan Hablu Minanas (antar manusia) tapi juga sebagai Hablu Minallah (hubungan antar mahluk dengan Tuhan).

Dengan sifat angkuh, sombong  dan angkara murka  maka bisa dipastikan hidup tidak dalam keberkahan  tapi dalam kegelapan.  Sebaliknya, dengan sifat kelembutan, penuh bijak dan kasih terhadap sesama maka tidak hanya memahami makna dogma dalam ajaran agama tapi sekaligus memahami atas hakekat kita sebagai manusia yang diturunkan dan dilahirkan  di dunia ini. Untuk mencapai makrifatullah mengenal diri yang sekenal – kenalnya, hanya bisa dicapai dengan sifat adab asor dan penuh kasih, jauh dari angkara dan kesombongan.

Baca juga: Refleksi Sejarah Bangsa, Hindari Politik Identitas untuk Mencederai Demokrasi

Dikaitkan dengan dunia politik secara nasional dan global saat ini, dimana ada adagium,  politik adalah kejam,  tidak mengenal kawan dan lawan yang ada adalah kepentingan. Belajar dari debat Pasangan Capres dan cara – cara kampanye hitam dengan menyudutkan dan menjatuhkan lawan politik, maka sesungguhnya  merupakan sifat  angkuh, sombong, jauh dari bijak dan tidak ada rasa kasih terhadap sesama . Dapat dipastikan, akan dikalahkan dan  ditumbangkan oleh sifat lembut, penuh kebijakan dan kasih yang semata mata untuk kepentingan Bangsa dan negara bukan kepentingan diri dan golongannya.

Yang jadi pertanyaan kita bersama adakah sifat Suro Diro joyoningrat Lebur Dening pangestuti, yang bisa di manifestasikan dalam kasanah perpolitikan saat ini, yang orientasinya adalah mengadopsi sistem Liberal, apakah sistem Demokrasi nya pun Liberal ?

Sudah tidak ada tanda – tanda sistem politik Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa. Yang ada, menghalalkan segala cara, yang menggunakan kekuatan ekonomi untuk mencapai tujuan, secara tega menggunakan politik identitas keagamaan, yang memberikan janji – janji yang tidak mungkin bisa ditepati sesuai kampanye.

Ada ajaran luhur dari para leluhur dalam falsafah Jawa, “Ojo Gumunan” jangan suka terkesima lihat sesuatu hal baru, “Ojo Kagetan” jangan suka kaget melihat situasi dan kondisi menyangkut perubahan dunia, “Ojo Dumeh” jangan mentang mentang kaya, pangkat, ganteng atau cantik karena semua hanya titipan belaka, “Ojo Lali” jangan lupa dari mana kita berasal dan jangan lupa ajaran orang tua guru dan aturan hukum yang ada.

Ajaran Jawa ini maknanya sangat dalam, yang sebetulnya intisari atau dagingnya ajaran agama, yang dikemas secara sederhana tapi sangat sarat makna yang dalam. Dalam Alquranul Karim, ditulis dalam surah Ali Imron ayat 159, menganjurkan bersifat lemah lembut. Demikian juga dalam Al Kitab  atau Injil, tertulis dalam Matius 5:5  “Yang lemah lembut adalah mereka yang rendah hati, dan patuh kepada Allah, mereka berlindung pada dalam kehidupan mereka diserahkan padanya”.

Baca juga: Sejak Reformasi, Bangsa Kehilangan Petunjuk Jalan Arah Tujuan Negara

Dalam agama hindu, disebut Sabda Idep, yang mana baru bisa dikatakan sempurna jika memiliki Bayu, (kemampuan bergerak), Sabda (kemampuan bersuara) dan Idep  (kemampuan berpikir). Semuanya  bermuara pada susila dan Tattwa, yaitu pengetahuan tentang sopan santun, tata krama dan pengetahuan tentang filsafat agama. Intinya, semua ajaran agama mengajarkan atas kerendahan hati sifat lembut dan penuh  kasih.

Pancasila sendiri diilhami dan digali oleh Bung Karno dari Kitab Kakawin Negara Kertagama, Sutasoma, serta ajarab luhur setelah abad ke-15 yaitu dari ajaran Wulang Reh dan penjabaran Huruf Honocoroko yang diciptakan pada tahun satu saka. Terurai dalam intisari kitab Sastra Sastro Jendro Hayuningrat, yang menekankan sifat lemah lembut, sifat kejujuran  dan sifat welas asih terhadap sesama sebagai perwujudan dari Manusia yang berjiwa kesatria sejati, yang bisa diterapkan dalam dunia  politik dan ketatanegaraan kita dalam berbangsa dan bernegara.

Untuk itu marilah kita  kembali membumi pada ajaran asli bumi Pertiwi kita sendiri, sebagai bangsa yang berbudaya tinggi dan  berkarakter ke-Indonesiaan, berjiwa nasionalis sejati  serta punya sifat tenggang rasa  dan toleransi atas segala perbedaan sesuai falsafah Pancasila dan falsafah Jawa yang terurai dalam Ajaran Suro Diro joyoningrat Lebur Dening Pangastuti. Apapun agama dan keyakinan kita, karena kita hidup dan mati dibumi Pertiwi.

Buminya para pujangga besar, para leluhur bangsa Indonesia. Tempat bersemayamnya raja – raja besar dari Mataram hindu, Singosari, Majapahit, Tarumanegara, Siliwangi  hingga para kusuma bangsa, Pahlawan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia  *****

Penulis adalah Praktisi hukum di jakarta, Penulis dan Pemerhati sosial budaya sejarah dan hukum

Berita Terkait