Teosofi, Sudut Pandang Ronggo Warsito, Syech Siti Jenar dan RM Sosro Kartono tentang Tuhan

by Nano Bethan
139 views
opini

Oleh.  : Agus Widjajanto

TABLOIDDICTUM.COM – Teosofi adalah paham yang dianut oleh kepercayaan Jawa dalam konsep spiritual, dimana  Teo berarti Tuhan dan Sofia berarti cinta. Sehingga bila diterjemahkan secara terminology, Teosofi adalah ilmu Ketuhanan untuk mencapai kesempurnaan (cinta kebijaksanaan).

Teosofi Jawa lebih mengedepankan pencarian kesempurnaan hidup yang didasarkan pada paham Monistik dan Panteistik. Monistik adalah pandangan bahwa Tuhan yang Esa itu berada, yang memancarkan dalam diri manusia dan beserta seluruh alam semesta ( Sunatullah ).

Sedangkan Panteistik adalah alam semesta jagad raya menyatu dengan Tuhan. Antara Monistik dan Panteistik selalu berjalan seiring dalam konsep spiritual Jawa. Keduanya diyakini selalu ada yang tidak dapat dipisahkan alias manunggal .

Berpijak dari pemikiran Keeler  (Stange 1998: 253-254) Teosofi itu bercirikan pada rasa, dalam spiritual Jawa adalah paham yang memanfaatkan rasa (olah  batin) dalam proses pencarian Tuhan. Kedepan, Teosofi Jawa menjadi sebuah paham yang memanfaatkan rasa dan laku, dimana ketika orang Jawa berpikir tentang semesta, menggunankan konsep symbol.

Baca juga: Mental Para Elit dan Penegak Hukum Bobrok, Berakibat Krisis Multidimensi Tiada Ujung

Diantaranya, dengan konsep wayang yang bersifat simbolik, dimana hal itu adalah akar dari Teosofi Jawa. Bahkan kalau mau jujur hidup keagamaan spiritual Jawa juga tergambar dalam kisah pewayangan. Dalam kisah pewayangan, ada penguasa tertinggi yaitu Dewa, yang bisa menjelma pada diri manusia setelah melalui laku tirakat, yang bisa merembes sebagai suprahuman kepada diri manusia.

Itulah sebabnya dapat dikatakan Teosofi adalah pandangan yang selalu memuja Tuhan berada dalam diri manusia, yang keberadaanNya lebih dekat dari urat nadi kita sendiri. Tuhan sebagai Dzat tunggal diindentifikasi sebagai kekuatan Imanen dan Transenden.

Dalam hidup manusia teremanasi dari Dzat yang sempurna, menguasai seluruh alam semesta. Keyakinan spiritual Jawa, Dzat itu dalam keadaan kosong (suwung) yang tidak dapat ditangkap, adalah ide sinkretis dari Hindu dan Bhudisme. Dzat Tuhan itu halus merasuk dalam diri manusia bagi keyakinan Jawa, dimana secara terus menerus akan selalu berupaya menemukan kesejatian Dzat jati itu sendiri.

Baca juga: Sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi, Akal Sehat dan Watak Kenegarawan

Bahwa dalam paham mistik kejawen berawal dari emanasi kekuatan sentral, dimana mahluk secara fisik dari unsur kosmik yang membentuk alam Makrocosmos dan Mikrokosmos (Prof. Suwardi Endraswara, Agama Jawa Ajaran, Amalan  dan Asal Usul Kejawen).

Raden Ngabehi Ronggo Warsito sebagai pujangga penutup paling ternama dalam kesusastraan Jawa, dalam beberapa tulisannya menjelaskan tentang persoalan keberadaan Allah sebagai Tuhan penguasa semesta dengan menyatakan Allah merupakan Dzat yang maha suci, yang Qadim Azali abadi. Dikatakan, sebelum Allah menciptakan sesuatu dia tegak sendiri di alam yang masih kosong  dan ketika telah menciptakan makhluk maka makhluk tersebut merupakan tajalli nya Dzat Yang Maha Suci.

Menurut Ronggo Warsito, kekuasaan dan keberadaan Tuhan berdiri sendiri sebagai Dzat yang suci.  Diibaratkan Tuhan sebagai halnya huruf “Alif” yang disifati dengan wujud, dimana keberadaannya ada dari Dzat itu sendiri tanpa ada yang menciptakan. Keberadaannya merupakan suatu yang wajib dan mustahil jikalau keberadaanya  tidak ada.

Dikatakan Ronggo Warsito, sesungguhnya tidak ada apa – apa, segala sesuatu yang tersebut tadi bukan merupakan Tajjali Dzat Tuhan. Artinya, bukan manifestasi Tuhan yang Maha Suci, dimana yang Maha Suci Maha Mulia, Maha Kuasa hanyalah aku (Tuhan). Sebelum ada barang sesuatupun di alam raya yang ada hanyalah Dzat yang Maha Suci yang bersifat Esa, dinamakan Dzat yang mutlak yang Kadim Azali Abadi.

Baca juga: Apakah Hukum Berkaitan dengan Norma dan Etika ? Ini Pendapat Praktisi Hukum Agus Widjajanto

Lebih lanjut dikatakan, terdapat keterkaitan yang sangat erat antara Dzat, Sifat dan Af’ Al atau perbuatan (Prof. Simuh 1988: 285). Dalam disertasinya,  Prof. Simuh memberikan penjelasan mengenai gagasan Ronggo Warsito dengan mengatakan bahwa hubungan antara Dzat dan sifat ditamsilkan laksana hubungan antara madu dan rasa manisnya. Ada madu pasti ada rasa manisnya, yang tidak bisa dipisahkan.

Demikian juga sifat dan  asma Tuhan laksana hubungan matahari pasti ada sinarnya. Sedangan antara asma dan Af’ Al (perbuatan) ditamsilkan seperti hubungan benda dimuka cermin dengan bayang – bayang yang terlihat dicermin. Gagasan Ronggo Warsito soal Dzat ,Sifat , Asma ,dan Af’ Al agak mirip dengan gagasan Syech Abdul Karim Al- Jilli yang tertuang dalam buku insan Kamil.

Sedang pandangan Syeh Abdul Jalil atau Syech Siti Jenar, mengajarkan Sasagidan serta ilmu ma’ Rifat dan hakekat dalam bentuk sufisme wujudiyah, atau wahdatul wujud.  Wujud  Tuhan tidak kasat mata itu, dapat bersatu dengan dirinya pribadi, yang merubah bahasa wahdatul wujud menjadi Manunggaling Kawulo lan Gusti.

Dikenal dikalangan masyarakat Jawa, ajaran atau kepercayaan dalam kejawen yang bermakna menyatunya mahluk, orang (Kawulo) dengan Raja (Tuhan). Gagasan spiritualnya adalah manusia dan alam semesta berada dalam kesatuan illahi  yang dalam bahasa syariat disebuat Sunatullah (hukum alam).

Bahwa wahdatul wujud adalah suatu ajaran yang membicarakan tentang wujud atau keberadaan Tuhan yang dikaitkan dengan alam sebagai ciptaannya. Ajaran ini pada awalnya dibawa oleh Ibnu Arabi dan kemudian dikembangkan oleh Hamzah Fansuri yang menuai pro dan kontra hingga saat ini. Di Jawa dikonsep ulang oleh syech Abdul Jalil atau Syech Siti Jenar, Syech Lemah Abang di Jepara,  yang ada di desa Keling kabupaten Jepara saat ini.

Baca juga: Agama dan  Budaya Jawa Dalam Konsep Mamunggaling Kawulo Gusti

RM Sosro Kartono seorang ahli kebatinan Jawa, mengajarkan falsafah Jawa, yang hingga kini menjadi pedoman dalam masyarakat Jawa untuk  pengajaran budi pekerti terhadap anak – anak oleh para orang tua. Ajarannya, Sugih Tanpo Bondo (Kekayaan yang utama itu kaya hati, bukan mesti harta benda. Itu lebih bisa bermanfaat), Digdoyo Tanpo aji ( Tak terkalahkan tanpa kesaktian ), Ngluruk Tanpo Bolo (Menyerbu musuh tanpa pasukan  atau prajurit), Menang Tanpo Ngasorake (Menang tanpa merendahkan lawan yang dikalahkan).

Selama menjalani sisa hidupnya di Bandung, RM Sosro Kartono, mengajar di Yayasan Taman Siswa dan melakukan pengobatan, kepada masyarakat melalui kekuatan olah batin, dengan  menggunakan media kertas untuk pengobatan bertuliskan huruf “Alif”. Arti dan maknanya oleh Sosro Kartono, Dzat yang Suci yang berdiri sendiri.

Segala sesuatu tergantung padaNya, sebagai penguasa alam semesta  yang keberadaanNya sangat dekat dengan diri kita lebih dekat dari urat nadi kita, yang menyatu pada diri Insan Kamil. Intinya, orientasi pandangan spiritualnya juga menganut paham Spiritual Jawa, Manunggaling Kawulo lan Gusti dalam pencapaian secara Ma’krifatullah, dalam keadaan Kasaf , dimana diri kita hanya sarana, mahluk yang tiada daya apapun yang digerakan dengan gerakan illahi.

Baca juga: Tiga Kali Diadili Dalam Kasus Aborsi, Dokter Gigi Arik Wiantara  Divonis Ringan, 4,5 Tahun Penjara

Menurut pendapat penulis  dalam konsep Spiritualisme Jawa yang berkaitan dengan  Teosofi, dimana Dzat adalah Yang Maha Suci dan maha agung,  sifat yaitu yang mempunyai sifat – sifat Allah sesuai Asmaul Al Husna yang berjumlah 99. Diantaranya, Ar Rahman, Ar Rahim, Al Malik, Al Quddus , As Salam , Al Mu’min dan seterusnya.

Sedang wujud adalah sesuai Sunatullah, bahwa keberadaan Tuhan adalah bersemayam  dalam nukat Ghaib yang  tidak berwujud dan perwujudannya sesuai mahluk yang dipilihnya dalam semesta, tidak sama dengan alam kosong (suwung), selalu  menyinari seluruh mahluk dengan cahayaNya yang ada alam raya dan muka bumi.

Pantulan cahaya Illahi itulah sesungguh nya, dalam Olah Rasa, bagaikan menyatunya antara Kawulo lan Gusti. Padahal, sejatinya adalah dua hal yang berbeda tapi menyatu dalam Insan Kamil yang keduanya tidak bisa dipisahkan  (Roro Ning tunggal), tetap dalam kondisi Transenden bukan Imanen.

Sedang Makrifat adalah suatu kondisi dimana dalam spiritual Jawa, manusia sudah mencapai tingkatan mengenal dirinya sekenal – kenalnya hingga bisa memahami dan mengerti siapa dan apa serta dimana Tuhan yang Esa, hidayahNya  diberikan kepada Mahluk yang dicintai  dan ingin menyatu denganNya.

Secara Transenden melalui Roro Ning Tunggal secara harfiah.  Itulah konsep   manunggaling Kawulo yang terdiri dari empat pilar, Dzat, Sifat, Wujud dan  Makrifat ****

Penulis:  Pemerhati Budaya, Sosial Politik dan Sejarah Bangsa

Berita Terkait

1 comment

Comments are closed.