Oleh. : Agus Widjajanto
TABLOIDDICTUM.COM – Konflik di Papua sampai saat ini belum berakhir dan terus memanas sejak akhir 2018 ketika serangan di Nduga dan unjuk rasa di Papua tahun 2019. Pemerintah melalui pendekatan berbasis keamanan dengan meningkatkan personel TNI dan Polri untuk melawan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), hanya menambah jumlah korban, tidak hanya dari KKB tetapi juga dari TNI – Polri dan warga sipil. Tahun 2023 lalu, tercatat 79 orang menjadi korban tewas yakni, 37 warga sipil, 23 TNI – Polri dan 19 orang KKB.
Harus diakui, pendekatan keamanan yang dilakukan pemerintah belum mampu menyelesaikan konflik di Papua yang terjadi akibat sengketa historis terkait integrasi Irian Barat ke Indonesia, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan meningkatnya marginalisasi dan diskriminasi terhadap orang Papua.
Sementara itu, Panglima TNI, Jenderal Agus Subiyanto menegaskan, pihaknya menyebut kelompok bersenjata di Papua dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Alasannya mengganti istilah ini karena tidak boleh ada negara didalam suatu negara. Selain itu, untuk mengikuti keinginan kelompok bersenjata di Papua yang menamai, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat atau TPNPB.
Mengganti istilah KKB menjadi OPM oleh Panglima TNI ini kemudian tanggapi oleh Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro yang menyatakan, Komnas HAM perlu mempelajari implikasi dari kebijakan pemerintah dengan perubahan penyebutan tersebut dari KKB menjadi OPM dari sisi peraturan perundang – undangan.
Baca juga: Mental Para Elit dan Penegak Hukum Bobrok, Berakibat Krisis Multidimensi Tiada Ujung
Menurut Atnike Nova, Komnas HAM tetap meminta pemerintah untuk mengedepankan penegakan hukum pada setiap pelaku kekerasan di Papua, termasuk yang dilakukan oleh KKB. Komnas HAM berharap pemerintah tetap menggunakan pendekatan yang terukur, untuk menghindari terjadinya pelanggaran HAM.
Pernyataan dari Komnas HAM, seringkali menjadi sorotan masyarakat karena terkesan seolah – olah penerapan Hak Asasi Manusia hanya pada KKB. Sedangkan institusi keamanan baik Polri maupun TNI, dituntut agar tetap menjaga jangan sampai terjadi pelanggaran HAM.
Hal ini dikarenakan tidak memahami situasi dan kondisi dari sisi keamanan dan situasi di lapangan. Penilaian hanya didasarkan pada kepedulian pada korban dan hak dari masyarakat tentang HAM. Apabila memahami konteks situasi di lapangan, Geo Politik dan Geo strategis dan inteljen dapat disimpulkan, betapa rumitnya masalah di Papua. Aparat keamanan tidak diberikan keleluasaan untuk bertindak karena dibatasi aturan dengan status menjaga keamanan padahal situasi dan kondisinya berada di pedalaman Papua bukan dikota kota besar seperti Jayapura.
Dalam Sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) masalah HAM menjadi topik yang diperdebatkan. Mr. Soepomo dalam pidatonya didepan sidang BPUPKI, mengemukakan bahwa hak asasi manusia berasal dari cara berpikir yang liberal dan individualistik, yang menempatkan warga negara berhadapan dengan negara. Oleh karena itu paham hak asasi manusia tidak sesuai dengan ” Ide Integraliatik.
Baca juga: Pancasila Sumber dari Segala Sumber Hukum Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan
Demikian juga pada bulan juli 1945 Soekarno dengan tajam mengemukakan bahwa keadilan yang diperjuangkan bagi Indonesia bukan keadilan individualistik, melainkan keadilan sosial dan oleh karena itu hak asasi manusia tidak pada tempatnya dimasukan dalam Undang Undang Dasar Republik Indonesia. Keberatan atas dimasukan nya hak asasi manusia dalam hukum dasar kita, karena dikawatirkan dapat menghilangkan kapasitas negara sebagai pengatur dari masyarakat.
Tetapi oleh Moh. Hatta dan Moh. Yamin, pendapat itu ditentang. Dikatakan, sebuah negara kedepan bisa saja kalau hak asasi manusia tidak dimasukan bisa menjadi negara kekuasaan, karena itu hak – hak dasar warga negara yang perlu dijamin, harus bisa melindungi dan menghormati hak privat bagi seluruh rakyat. Akhirnya terjadi kompromi dicantumkan sesuai pasal 28 UUD 1945, yang telah diamandemen pada pasal 28 i ayat (4) yang berbunyi: Perlindungan, Pemajuan, Penegakan dan Pemenuhan Hak Asasi Manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama Pemerintah.
Selain itu, ada Undang – Undang yang menjadi landasan perlindungan dan penegakan hukum di Indonesia, yaitu UU no 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang peradilan HAM , Pasal 5 ayat (1) “Setiap orang yang mengalami pelanggaran HAM berhak, untuk menuntut secara hukum dan memperoleh perlindungan hukum yang sama sesuai martabat kemanusiaan”.
Dalam menjalankan penegakan hukum menyangkut keamanan di Papua melawan KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata), aparat keamanan yang bertugas di Papua, TNI dan Polri banyak yang tewas karena menjalankan tugas negara. Apakah keluarga korban bisa menuntut KKB ke peradilan HAM ? Secara kemanusiaan tidak bisa dibedakan antara manusia sipil, pejabat, TNI – Polri, semua sama dimata hokum, mempunyai Hak yang paling asasi yang diatur oleh Undang – Undang yaitu hak hidup.
Baca juga: Merajut Falsafah Kepemimpinan, Harapan Untuk Presiden Terpilih
Sementara KKB menganggap bahwa mereka berjuang demi kemerdekaan Papua, bukan kriminal bersenjata, yang punya hak untuk menyerang aparat keamanan. Bagaimana para korban sipil seperti para guru, perawat atau petugas kesehatan yang dibunuh, dibantai, diperkosa dan dimutilasi ? Apakah mereka juga punya hak menuntut KKB di peradilan HAM ?
Ini pertanyaan dasar yang harus dipikirkan, sementara sejarah terbentuk nya Komisi HAM dari PBB pada tanggal 10 Desember 1948 dilatar belakangi dari kekejaman Perang Dunia ke – II ( 1939- 1945) yang memberikan pelajaran penting bagi para ahli dan masyarakat umum didunia agar tidak terjadi hal serupa.
Sejak awal, KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) di Papua memang memproklamirkan dan mengaku sebagai kelompok separatis Papua merdeka. Oleh karena itu, yang berlaku adalah Undang – undang subversif dan menjadi domain militer sebagai alat pertahanan dan keamanan negara untuk menjaga keutuhan wilayah NKRI.
Pencetus pertama kali soal HAM adalah pemikir dan filsuf dari Inggris, John Locke, yang merumuskan adanya hak alamiah (Natural Right) yang melekat pada setiap manusia yaitu hak atas hidup, hak kebebasan dan hak milik. Dimana dilatar belakangi terjadi nya peristiwa besar di dunia yaitu , Piagam Magna Charta, Revolusi Amerika dan Revolusi Perancis.
Dalam kontek wawasan kebangsaan dan penegakan hukum serta keutuhan NKRI, Hak Asasi Manusia harus dipandang dari sudut berbeda, sesuai situasi dan kondisi wilayah. Khusus Papua, dimana Psikologis dari masyarakat Papua lebih mendengar suara dari pendeta dan para misionaris untuk melakukan pendekatan, untuk bisa meredam konflik bersenjata, menyangkut KKB atau OPM. Korban dari konflik ini bukan hanya aparat keamanan tapi juga orang sipil yang ingin membangun rakyat Papua.
Baca juga: Sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi, Akal Sehat dan Watak Kenegarawan
Bahkan, tidak hanya warga sipil tetapi juga aparat keamanan asli Papua kerap menjadi korban. Terbaru, terbunuhnya Komandan Rayon militer (Danramil), putra Papua, Letda. Inf. Oktovianus Sokolray, Kamis, 11 April 2024 yang ditembak dan diparang saat melintasi Pasir Putih Distrik Aradile, Kabupaten Paniai, Papua Tengah. Banyak tokoh telah berupaya untuk melakukan tugas kemanusiaan, untuk menyelesaikan konflik di Papua, tetapi harus diakui, belum menghasilkan seperti yang diharapkan.
Sudah saatnya belajar cara pendekatan dari pemerintahan Orde Baru, dimana negara harus hadir untuk melindungi kepentingan yang lebih besar, demi masyarakat luas. Pendekatan keamanan dan penegakan hukum hanya bisa diterapkan pada masyarakat perkotaan dengan sistem pertahanan rakyat semesta dimana semua pihak turut andil, di mana hal ini tidak mungkin bisa diterapkan didalam kondisi di wilayah hutan belantara dan sering anggota KKB atau OPM menyamar sebagai masyarakat biasa dengan sistem peperangan gerilya.
Bahwa sudut pandang kita sangat ditentukan oleh kebijakan dalam menilai soal Hak Asasi Manusia, karena hak itu juga melekat pada rakyat sipil, seperti petani, pegawai negeri dan swasta, buruh dan juga aparat keamanan Polri – TNI. Negara wajib hadir untuk memberikan perlindungan demi kepentingan yang lebih besar yakni persatuan dan kedatuan NKRI.
Kecuali sudut pandang kita berdasarkan kepentingan yang menilai dari hanya satu sudut, dipengaruhi oleh kepentingan seperti kepentingan kelompok atau mungkin politik hukum. Sebagaimana pendapat Prof. Dr. Muladi , Guru Besar Hukum Pidana dan Hak Asasi Manusia yang menyatakan, selain seseorang terlahir dengan hak dasarnya sebagai manusia, sebagai warga negara juga punya kewajiban dasar yang juga mengikuti orang tersebut sebagai bagian dari komunitas masyarakat dalam berbangsa dan bernegara .
Baca juga: Agama dan Budaya Jawa Dalam Konsep Mamunggaling Kawulo Gusti
Kita bersama mengetahui bahwa isu Demokrasi, HAM dan Terorisme menjadi isu politik dari negara negara besar/adidaya dalam melakukan turut campur dalam politik dan penjajahan secara ekonomi yang dikenal dengan Neo Imperialisme Modern yang merupakan bagian dari perang Proxi dan Asimetris.
Mengingat, betapa kaya dan melimpahnya sumber daya alam Papua untuk dijadikan obyek kepentingan. Inilah yang menjadikan konflik Papua semakin rumit, tidak sesederhana dengan label penegakan HAM seperti yang dikatakan Soepomo dan Soekarno dalam sidang BPUPKI. Sesungguhnya yang kita raih adalah keadilan sosial seluruh bangsa bukan keadilan individualisme.
Tetapi tetap saja masyarakat yang tidak berdosa selalu jadi korban politik, yang mengarah pada tindak kekerasan yang berujung pada pelanggaran HAM. Negara harus hadir untuk memberi jaminan keamanan dan perlindungan hukum dan mengakhiri konflik di Papua demi keutuhan NKRI dengan mengubah pendekatan berbasis keamanan dengan pendekatan yang humanis yang menyentuh akar penyebab konflik.
Harus disadari, pendekatan berbasis keamanan yang selama ini diterapkan, bukannya menyelesaikan konflik tetapi konflik semakin berlarut – larut dan korban semakin banyak. Tidak hanya itu, melibatkan apparat keamanan yang berlebihan justru cendrerung kontraproduktif karena selain korban sipil juga menurunkan legitimasi pemerintah.
Akar dari konflik yang terjadi di Papua bukan semata disebabkan wilayah teritorial atau keinginan untuk merdeka tetapi bisa juga disebabkan terjadi karena kondisi represi ideologi, agama, etnis, budaya dan ekonomi. Meredam dan mengakhiri konflik di Papua, negara harus penggunakan program dan strategi pendekatan yang merebut dukungan masyarakat agar dapat mengalahkan KKB atau OPM. Melegitimasi kehadiran negara di Papua salah satu cara adalah melakukan pendekatan yang lebih humanis salah satunya adalah dengan fokus melakukan pembangunan ekonomi dan infrastruktur ****
Penulis adalah Praktisi Hukum, Pemerhati Politik, Sosial Budaya dan Sejarah Bangsanya