L I D A H, Ibarat Mata Uang Koin yang Mempunyai Dua Sisi

by Nano Bethan
119 views
Opini

Oleh: Agus Widjajanto *

DICTUM.COM – Maraknya konten di media sosial dan tulisan serta ungguhan dimedia online dan cetak, yang akhir-akhir ini sudah menjurus pada ujaran kebencian atas sesama anak bangsa, dan juga ada konten dan tulisan yang telah merendahkan lambang negara, baik terhadap Presiden, terhadap Lembaga  DPR, Lembaga Mahkamah Kontitusi, antarulama yang menyerang golongan ulama lain, yang dianggap penampilannya tidak menunjukan seorang ulama karena berambut gondrong dan tidak tahu aturan tata krama.

Hal ini menunjukan bahwa bangsa ini belum memahami dan belum dewasa dalam kontek berdemokrasi dalam kaitan menyampaikan pendapat di muka umum. Ini dimulai sejak masa reformasi. Dimana kebebasan berpendapat ditafsirkan seenak jidat oleh masyarakat dan para pemangku kepentingan, tidak memberikan contoh konkrit tindakan tegas, justru terkesan adanya pembiaran yang berakibat lambat laun seolah adanya pembenaran atas penyampaian kebebasan berpendapat dan berekpresi di depan publik melalui media sosial.

Bahwa alat atau organ dari pada sarana menyampaikan pendapat adalah dari mulut dan lidah kita, yang berupa ucapan, yang sebenarnya ibarat mata uang koin yang mempunyai dua sisi, bisa membumikan demokrasi menjadi baik apabila yang keluar adalah kata-kata bijak penuh kelembutan dalam membangun kerukunan, tapi bisa juga menjadi penghancur demokrasi apabila yang keluar adalah ujaran kebencian dan mengajak orang untuk melakukan sesuatu yang dilarang oleh aturan hukum, baik dari hukum negara maupun hukum agama.

Baca juga: Berantas Mafia Peradilan dan Mafia Tanah, Perlu Punakawan Petinggi Hukum Indonesia

Di dalam rongga mulut kita sebagai manusia, ada indera perasa yang namanya lidah. Dikatakan sebagai indera perasa, karena organ inilah kita bisa merasakan makanan atau minuman itu enak atau tidak enak, lezat atau tidak lezat, manis, pahit, asin, asam, dan seterusnya. Karena Lidah pula kita bisa memberikan stigma dan atau predikat pintar “bersilat lidah” kepada orang yang pintar omong, berdiskusi, ataupun berdebat; atau ungkapan “memang Lidah tak bertulang, tak terbatas kata-kata” yang ditujukan kepada orang yang suka ingkar janji, suka ngeles, tidak jujur atau tipikal orang yang suka menggunakan jurus “pokrol bambu”.

Adalah karena Lidah (baca : ucapan) pula, orang lain bisa tersenyum, tersanjung, malu, marah, tersinggung, menangis, sakit hati, tertawa, bahagia, sedih, berduka, dan seterusnya. Demikian pula karena Lidah jualah bisa menimbulkan huru hara, malapetaka, persahabatan, perdamaian, perang, permusuhan, baku hantam, fitnah, kebencian, amarah, kerukunan, persaudaraan, cinta kasih, dan lain sebagainya.

Singkatnya, yang namanya Lidah (sebagai organ tubuh yg bentuknya kecil) itu bisa membawa dampak yang berantai, positif – negatif, hitam – putih, beraneka warna ataupun pelangi dalam kehidupan. Walaupun bentuknya kecil, namun seringkali kita tidak mampu mengendalikan lidah, sehingga dari padanya muncul ungkapan “Mulutmu harimaumu”.

Baca juga: Sejarah Kelam Sistem Khilafah dan Latar Belakang Berdirinya NKRI dari Perspektif Sejarah

Dalam konteks itulah menarik untuk merespon dan mengomentari  orang – orang yang mengusung kemerdekaan atau kebebasan menyatakan pikiran dengan tulisan ataupun lisan – atas nama HAM dan Demokrasi – lebih cenderung menekankan kebebasan untuk kebebasan, seakan kebebasan itu tanpa restriksi atau pembatasan.

Dalam kerangka “Democratische-RechtStaat” (Negara Hukum Demokratis), kebebasan yang ditenggang oleh demokrasi dibatasi oleh hukum. Bahwa perlu disampaikan disini  Filosofinya sangat  jelas, bahwa Demokrasi dan  Hukum dalam sebuah negara adalah dua sisi dalam satu mata uang (both side of one coint).

Hukum dan demokrasi saling membutuhkan satu sama lain.  Hukum tanpa Demokrasi akan melahirkan Tirani. Sedangkan Demokrasi tanpa hukum akan menciptakan anarki . Untuk mewujudkan masyarakat yang demokratis butuh suatu pemahaman dari seluruh warga negara secara universal dan utuh sehingga tidak salah tafsir dalam kebebasan menyampaikan pendapat baik secara lisan maupun tulisan dalam sebuah negara Demokrasi sekaligus negara hukum ( Recht Staat )

Hukum dan demokrasi adalah hal yang saling berkaitan pada sebuah negara yang menganut sistem demokrasi , bahwa hukum itu sendiri adalah merupakan aturan yang diterapkan oleh negara dalam hal ini pemerintah yang Syah atau otoritas yang Syah untuk mengatur perilaku masyarakat dan mengatur hubungan antara individu dengan individu serta individu dengan negara.

Baca juga:Sejarah Kelam Sistem Khilafah dan Latar Belakang Berdirinya NKRI dari Perspektif Sejarah

Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis mengandung arti bahwa demokrasi di Indonesia diatur oleh aturan hukum. Sedang subtansinya hukum itu sendiri dibuat dan ditentukan dengan cara yang  demokratis saat berdirinya atau terbentuknya negara ini oleh para pendiri bangsa, berdasarkan kontitusi negara sebagai aturan hukum tertinggi.

Adalah hak setiap orang untuk menyatakan pendapat (baik secara tertulis ataupun lisan) yang sepenuhnya memperoleh jaminan secara konstitusional dalam UUD 1945 yang dalam pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam berbagai Undang – Undang. Artinya ketika hak menyatakan pendapat itu diaktualisasikan, dia dibatasi oleh ruang, tempat, dan waktu yang ditentukan dalam Undang-Undang. Demikian pula, konten atau subtansi dan subyek yang dituju dari hak menyatakan pendapat itu dibatasi oleh hukum.

Dalam hal ini, UUD memberikan jaminan atas hak menyatakan pendapat secara tertulis dan lisan (vide Pasal 28) pada satu sisi, namun pada sisi lain UUD 1945 pun menegaskan bahwa, pertama, setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kedua, dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang – Undang dengan maksud semata-mata untuk  menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan unt memenuhi tuntutan yg adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis (Vide Pasal 28 J UUD 1945).

Dengan demikian, hak atau kebebasan menyatakan pendapat secara tertulis dan lisan (Lidah manusia) tidak bisa diaktualisasikan sebebas-bebasnya, namun dibatasi oleh Hukum, moral (kemanusiaan), dan nilai-nilai agama yang diyakininya.

Baca juga: Pergeseran Nilai Menyangkut Kehidupan Berbagai Aspek dan Pendidikan di Negeri Ini  

Bila itu semua dipahami dan disadari oleh kita semua, maka adalah uneducated bagi orang – orang yang merasa dirinya pintar, hebat, atau super namun tdk bisa mengendalikan lidahnya dengan mengumbar ucapan yang bernada kebencian, fitnah, hoax, permusuhan, provokatif, dan merendahkan harkat, martabat, kehormatan diri orang lain. Terlebih ditujukan terhadap Simbol-simbol kenegaraan kita, apakah itu Presiden, DPR, dan MK sebagaimana dilansir dalam pemberitaan di media masa cetak, elektronik, dan online beberapa waktu belakangan ini.

Kasus konten yang sedang viral di media sosial adalah soal selegram Teyeng Wakatobi dari Pati, yang melakukan konten pada mobil yang dibakar masa dan pemilik dari mobil tersebut merupakan pemilik rental mobil dari Jakarta , yang diamuk masa dan diteriaki maling di Sukolilo Pati. Teyeng  Wakatobi dalam konten tersebut menyatakan, “Kita kasih paham bagi orang yang kurang paham, kita hajar bagi orang yang kurang ajar, Sukolilo bos jangan main main, sambil tangan nya diarahkan ke leher dalam gerakan menggorok leher.”

Ini kan jelas provokasi yang mengarah kepada  pembenaran pada main hakim sendiri, dan membanggakan kedaerahan  dan tanpa mempertimbangkan adanya  asas praduga tak bersalah, yang justru belakangan terbongkar dari hasil penyelidikan dan penyidikan dari pihak kepolisian ternyata yang diteriaki. Maling justru pemilik mobil yang digelapkan oleh penyewa rental yang mobilnya ada di Sukolilo Pati.

Ada lagi tayangan melakui media sosial seorang yang mengaku Ulama keturunan Ba’ alawi Yaman yang secara langsung menyerang Gus Muwafik dikarenakan berambut gondrong yang dikatakan perbaiki dulu penampilan dan  jangan sembarang menyebut seseorang ulama, padahal seorang Gus Muwafik adalah punya jabatan Suriyah di Organisasi umat islam terbesar yaitu Nahdatul Ulama dan punya basis masa serta santri yang tidak sedikit.

Baca juga:Ana Al Haqq dalam Perspektif Jalaluddin Rumi, Syech Siti Jenar dan Ronggo Warsito

Menyerang kehormatan orang lain hanya karena ketidaksukaan merupakan benih benih provoksi umat, yang bisa menimbulkan masalah serius sebagai negara Moeslim secara mayoritas. Ini adalah contoh kongkret di masyarakat saat ini, pada sebuah negara demokrasi dan negara hukum.

Bahwa negeri ini dimerdekakan oleh founding fathers kita dengan tujuan untuk  mewujudkan masyarakat yang adil – makmur dan damai, sebagai bangsa yang berbudaya ketimuran, sesuai nilai nilai luhur yang diwariskan oleh para pendiri bangsa ini, bukan untuk dirusak atau dihancurkan oleh orang-orang yang tidak mampu bertanggungjawab mengendalikan Lidahnya dan amarahnya tanpa berpikir terlebih dahulu ****

 

* Penulis adalah seorang Praktisi hukum, pemerhati sosial politik dan budaya tinggal di Jakarta.

Berita Terkait